Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pendahuluan

Dalam kajian Islam kontemporer, konsep ummatan wasatho (أُمَّةً وَسَطًا) atau “umat pertengahan” menjadi salah satu prinsip fundamental yang semakin relevan di tengah kompleksitas persoalan global. Terminologi ini bersumber dari Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Ayat ini menyiratkan posisi strategis umat Islam sebagai ummatan wasatho—komunitas yang mengedepankan keseimbangan, moderasi, dan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini bukan sekadar teori normatif yang terkurung dalam teks suci, melainkan sebuah paradigma yang memiliki dimensi praktis dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Di era modern yang ditandai dengan polarisasi ideologi, ekstremisme, dan berbagai bentuk ketidakseimbangan global, pemahaman mendalam tentang ummatan wasatho menjadi sangat krusial sebagai landasan untuk membangun peradaban yang berkeadilan dan harmonis.

Kajian terhadap konsep ummatan wasatho tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-historis baik pada masa turunnya wahyu maupun perkembangan pemikiran Islam sepanjang sejarah. Interpretasi terhadap konsep ini telah mengalami dinamika yang signifikan, mulai dari perspektif klasik hingga pembacaan kontemporer yang berupaya menjawab tantangan zaman. Keragaman interpretasi tersebut mencerminkan kekayaan intelektual Islam sekaligus menunjukkan fleksibilitas konsep wasatiyyah (moderasi) dalam merespons perubahan sosial.

Dalam bab ini, penulis berupaya mengeksplorasi secara mendalam konsep ummatan wasatho dari berbagai dimensi: linguistik, teologis, historis, sosiologis, dan aplikatif. Penelusuran ini tidak hanya bertujuan untuk memahami makna tekstual dan kontekstual dari konsep tersebut, tetapi juga mengidentifikasi relevansinya dalam menjawab problematika kontemporer. Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam diskursus akademik tentang Islam dan modernitas, sekaligus menawarkan perspektif alternatif dalam membangun dialog antarperadaban yang konstruktif.

Dimensi Semantik dan Etimologi Konsep Wasatiyyah

Pemahaman mendalam terhadap konsep ummatan wasatho tidak dapat dilepaskan dari eksplorasi semantik dan etimologis terhadap kata wasat (وسط) yang menjadi kata kunci dalam konsep tersebut. Dalam leksikografi Arab klasik, kata wasat memiliki spektrum makna yang beragam. Ibn Manzur (2003) dalam Lisan al-Arab menyebutkan bahwa wasat memiliki konotasi “sesuatu yang berada di tengah atau di antara dua ujung” (ما بين طرفين). Elaborasi lebih lanjut menunjukkan bahwa kata ini juga bermakna “yang terbaik” (الخيار), “yang paling adil” (الأعدل), dan “yang paling utama” (الأفضل).

Al-Fairuzabadi (2005) dalam Al-Qamus Al-Muhit mengartikan wasat sebagai “yang adil” (العدل) dan “yang terpilih” (المختار). Semantik ini diperkuat oleh Al-Raghib al-Isfahani (2009) dalam Mufradat Alfaz Al-Quran yang menjelaskan:

الوسط ما له طرفان متساويان، وهو في الأصل اسم للمكان الذي يتساوى إليه المساحة من الجوانب

Wasat adalah sesuatu yang memiliki dua ujung yang seimbang, dan pada dasarnya merupakan nama untuk tempat yang memiliki jarak yang sama dari berbagai sisi.”

Analisis linguistik terhadap kata wasat dalam Al-Quran menunjukkan penggunaan yang konsisten dengan makna keseimbangan dan keadilan. Selain dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, kata dengan akar yang sama juga muncul dalam konteks lain seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 238 (الصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ) yang mengacu pada “shalat pertengahan” dan Surah Al-‘Adiyat ayat 5 (فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا) yang bermakna “menerobos ke tengah-tengah kumpulan musuh”.

Al-Zamakhsyari (2009) dalam Al-Kasysyaf menginterpretasikan ummatan wasatan sebagai:

الأمة العادلة الخيارة، لأن الوسط في الأشياء أعدلها وخيارها

“Umat yang adil dan terpilih, karena posisi tengah dalam segala hal adalah yang paling adil dan terbaik.”

Perspektif semantik ini diperkuat oleh Fakhr al-Din al-Razi (2000) dalam Mafatih al-Ghaib yang menghubungkan konsep wasat dengan keseimbangan moral dan intelektual. Menurutnya, wasat merefleksikan sikap yang tidak berlebihan (ifrat) dan tidak terlalu kurang (tafrit) dalam berbagai aspek kehidupan.

Tabel 1. Variasi Makna Kata Wasat dalam Leksikografi Arab Klasik

Sumber LeksikografiDefinisi WasatKonotasi Utama
Lisan al-Arab (Ibn Manzur)Yang berada di tengah atau di antara dua ujungPosisional, keseimbangan
Al-Qamus Al-Muhit (Al-Fairuzabadi)Yang adil dan terpilihKeadilan, keunggulan
Mufradat Alfaz Al-Quran (Al-Isfahani)Yang memiliki jarak sama dari berbagai sisiKeseimbangan, proporsionalitas
Asas al-Balaghah (Al-Zamakhsyari)Yang moderat dan terbaikModerasi, keunggulan
Tahdhib al-Lughah (Al-Azhari)Yang berada di antara baik dan burukPosisi tengah, moderasi

Sementara dalam studi linguistik modern, Toshihiko Izutsu (1964) dalam karyanya The Structure of the Ethical Terms in the Koran menganalisis bahwa konsep wasat dalam Al-Quran memiliki keterkaitan dengan jaringan semantik yang lebih luas meliputi konsep keadilan (‘adl), keseimbangan (mizan), dan kesederhanaan (qawam). Izutsu menyimpulkan bahwa wasat dalam Al-Quran bukan sekadar posisi tengah secara matematis, tetapi merefleksikan kualitas moral yang mencakup keadilan, keseimbangan, dan proporsionalitas.

Wahbah al-Zuhaili (1998) dalam Al-Tafsir Al-Munir menegaskan bahwa makna wasat dalam Al-Quran mengacu pada “yang terbaik” berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan:

خير الأمور أوسطها

“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, konsep wasatiyyah juga terejawantahkan dalam metodologi hukum Islam yang menekankan prinsip keseimbangan antara teks dan konteks, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara stabilitas dan perubahan. Ibn Taymiyyah (1999) dalam Al-Istiqamah menyebutkan bahwa pendekatan wasat merupakan ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah yang mengambil jalan tengah di antara berbagai kelompok ekstrem dalam teologi Islam.

Dengan demikian, eksplorasi semantik dan etimologis terhadap konsep wasat mengungkapkan bahwa terminologi ini tidak sekadar mengacu pada posisi tengah secara fisik, tetapi juga mengandung dimensi aksiologis yang menggambarkan kualitas terbaik, paling adil, dan paling seimbang. Pemahaman ini menjadi fondasi penting dalam mengonstruksi makna ummatan wasatho secara komprehensif.

Penafsiran Klasik tentang Ummatan Wasatho

Tradisi tafsir klasik telah memberikan kontribusi signifikan dalam mengkonstruksi pemahaman tentang ummatan wasatho. Para mufassir dari berbagai periode dan aliran pemikiran telah menawarkan interpretasi yang kaya dan beragam, meskipun tetap memiliki benang merah yang konsisten. Eksplorasi terhadap karya-karya tafsir klasik menjadi penting untuk memahami evolusi konsep ini dalam pemikiran Islam.

Ibn Jarir al-Tabari (839-923 M), yang dikenal sebagai bapak ilmu tafsir, dalam magnum opus-nya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, menafsirkan ummatan wasatan sebagai “umat yang adil dan moderat” (الأمة العادلة المعتدلة). Al-Tabari (2000) memperkuat penafsirannya dengan merujuk pada perkataan sejumlah sahabat dan tabi’in. Dalam pandangannya, posisi tengah (wasat) melambangkan keadilan dan keseimbangan yang menjadi karakteristik umat Islam. Ia menulis:

وإنما وصفهم بأنهم وسط، لتوسطهم في الدين، فلا هم أهل غلو فيه، كغلو النصارى الذين غلوا بالترهب، وقولهم في عيسى ما قالوا فيه، ولا هم أهل تقصير فيه، كتقصير اليهود الذين بدلوا كتاب الله وقتلوا أنبياءهم، وكذبوا على ربهم، وكفروا به، ولكنهم أهل توسط واعتدال فيه

“Mereka (umat Islam) disifati sebagai ‘wasath’ karena posisi mereka yang moderat dalam agama. Mereka tidak berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani yang berlebihan dalam kerahiban dan perkataan mereka tentang Isa, dan tidak pula lalai seperti orang-orang Yahudi yang mengubah kitab Allah, membunuh nabi-nabi mereka, berdusta atas nama Tuhan mereka, dan mengingkari-Nya. Tetapi mereka adalah orang-orang yang moderat dan seimbang dalam agama.”

Abu Abdullah al-Qurtubi (1214-1273 M) dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran mengembangkan penafsiran ini dengan menghubungkan konsep wasat dengan keadilan. Al-Qurtubi (1964) menulis:

الوسط العدل، وأصله أن أحمد الأشياء أوسطها، لأن طرفي الإفراط والتفريط مذمومان، فخيار الأمور أوسطها

Wasat adalah keadilan, dan asalnya bahwa yang terpuji dari segala sesuatu adalah yang tengah-tengahnya, karena kedua ujung yang berlebihan dan yang kurang adalah tercela. Maka sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”

Al-Qurtubi lebih jauh menekankan bahwa status sebagai ummatan wasatan merupakan kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada umat Islam, yang mengimplikasikan tanggung jawab untuk menjadi saksi kebenaran bagi umat manusia lainnya.

Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209 M) dalam Mafatih al-Ghaib menawarkan analisis yang lebih filosofis. Al-Razi (2000) menginterpretasikan ummatan wasatan dalam kerangka epistemologis, dengan menghubungkannya pada keseimbangan antara rasio dan wahyu. Menurutnya, posisi moderat umat Islam terletak pada pengakuan mereka terhadap otoritas akal sekaligus ketundukan pada wahyu. Al-Razi menulis:

إن اليهود غلبوا جانب التشبيه والتجسيم، والنصارى غلبوا جانب التنزيه حتى وصلوا إلى التعطيل، والمسلمون اعتدلوا فلم يميلوا إلى هذا ولا ذاك، بل أثبتوا ذاتاً موصوفة بصفات التنزيه، فكانوا وسطاً بين الطرفين

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi lebih condong pada aspek penyerupaan dan penjasmanian (Tuhan), sementara orang-orang Nasrani lebih condong pada aspek pensucian hingga mencapai pengosongan (sifat Tuhan), sedangkan kaum Muslim bersikap moderat dengan tidak condong ke salah satu dari keduanya. Mereka menetapkan zat (Tuhan) yang disifati dengan sifat-sifat kesucian, sehingga mereka berada di tengah-tengah di antara kedua ekstremitas.”

Ibn Kathir (1301-1373 M), murid Ibn Taymiyyah yang terkenal dengan pendekatan tafsir bi al-ma’thur, dalam Tafsir al-Quran al-‘Azim menekankan dimensi historis dari konsep ummatan wasatan. Ibn Kathir (1999) mengaitkan konsep ini dengan posisi umat Islam sebagai pewaris ajaran para nabi terdahulu. Ia menulis:

وكذلك جعلنا هذه الأمة وسطاً، أي: خياراً عدولاً، كما قال الإمام أحمد: حدثنا سفيان، عن أبي سعيد، عن قتادة، عن أبي العالية، عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يدعى نوح يوم القيامة فيقال له: هل بلغت؟ فيقول: نعم. فيدعى قومه فيقال لهم: هل بلغكم؟ فيقولون: ما جاءنا من نذير، وما جاءنا من أحد. فيقال لنوح: من يشهد لك؟ فيقول: محمد وأمته. فيجاء بكم فتشهدون أنه قد بلغ، وهو قوله: {وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس}”

“Dan demikianlah Kami jadikan umat ini sebagai umat pertengahan, yakni: terpilih dan adil, sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Sa’id, dari Qatadah, dari Abu al-‘Aliyah, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Nuh akan dipanggil pada hari kiamat dan ditanya: ‘Apakah engkau telah menyampaikan (risalah)?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Kemudian kaumnya dipanggil dan ditanya: ‘Apakah ia telah menyampaikan kepada kalian?’ Mereka menjawab: ‘Tidak ada pemberi peringatan yang datang kepada kami, dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami.’ Lalu dikatakan kepada Nuh: ‘Siapa yang bersaksi untukmu?’ Ia menjawab: ‘Muhammad dan umatnya.’ Maka kalian akan didatangkan dan kalian akan bersaksi bahwa ia telah menyampaikan, dan itulah firman-Nya: ‘Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia.’”

Abu Hayyan al-Andalusi (1256-1344 M) dalam Al-Bahr al-Muhit menawarkan pendekatan linguistik yang lebih mendalam. Abu Hayyan (2010) mengeksplorasi berbagai makna wasat dalam bahasa Arab dan menganalisis implikasinya dalam konteks Surah Al-Baqarah ayat 143. Ia menyimpulkan bahwa wasat dalam konteks ini bermakna “yang terbaik” (الخيار) dan “yang paling adil” (الأعدل), sebagaimana dalam ungkapan Arab “فلان من واسطة قومه” (Fulan berasal dari kalangan terbaik kaumnya).

Jalaluddin al-Suyuti (1445-1505 M) dalam Al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur mengumpulkan berbagai riwayat yang menjelaskan makna ummatan wasatan. Al-Suyuti (2003) menukil riwayat dari Ibn Abbas yang menafsirkan ummatan wasatan sebagai “umat yang adil” (عدلا). Ia juga menukil riwayat dari Mujahid yang menafsirkannya sebagai “yang terbaik” (خيارا).

Tabel 2. Interpretasi Ummatan Wasatan dalam Tafsir Klasik

MufassirKaryaInterpretasi Utama
Al-TabariJami’ al-BayanUmat yang adil dan moderat, tidak ekstrem seperti Yahudi dan Nasrani
Al-QurtubiAl-Jami’ li Ahkam al-QuranWasat sebagai keadilan dan keseimbangan dalam semua aspek
Fakhr al-Din al-RaziMafatih al-GhaibKeseimbangan epistemologis antara rasio dan wahyu
Ibn KathirTafsir al-Quran al-‘AzimUmat pilihan yang menjadi saksi kebenaran bagi umat lain
Abu HayyanAl-Bahr al-MuhitYang terbaik dan paling adil dari semua umat
Al-SuyutiAl-Durr al-ManthurUmat yang adil dan terpilih berdasarkan riwayat sahabat

Melalui eksplorasi terhadap karya-karya tafsir klasik, terlihat bahwa konsep ummatan wasatan telah diinterpretasikan dalam spektrum makna yang beragam namun saling melengkapi. Para mufassir klasik menekankan dimensi keadilan, keseimbangan, moderasi, dan keunggulan sebagai karakteristik esensial dari ummatan wasatan. Interpretasi-interpretasi ini menjadi fondasi penting dalam mengkonstruksi pemahaman kontemporer tentang konsep tersebut.

Perspektif Hadis tentang Moderasi dan Wasatiyyah

Hadis Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber otoritatif kedua dalam Islam setelah Al-Quran, memberikan elaborasi penting tentang konsep wasatiyyah. Meskipun terminologi ummatan wasatan secara eksplisit berasal dari Al-Quran, prinsip-prinsip moderasi dan keseimbangan tercermin dalam berbagai hadis yang membentuk fondasi etis dan praktis bagi implementasi konsep tersebut.

Salah satu hadis yang secara langsung berkaitan dengan konsep wasat adalah riwayat Imam Ahmad dan al-Tirmidhi dari Abu Sa’id al-Khudri, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَطُهَا

“Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” (Al-Tirmidhi, 2000)

Hadis ini menjadi prinsip dasar dalam etika Islam yang menekankan pentingnya moderasi dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Mubarakfuri (1984) dalam Tuhfat al-Ahwadhi menjelaskan bahwa hadis ini mengajarkan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan (ghuluww) dan sikap meremehkan (taqsir) dalam menjalankan ajaran agama.

Prinsip moderasi juga tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari ‘Aisyah RA, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan. Maka berlakulah lurus, moderatlah, dan bergembiralah.” (Al-Bukhari, 2001)

Ibn Hajar al-‘Asqalani (2000) dalam Fath al-Bari menginterpretasikan hadis ini sebagai dorongan untuk mengambil jalan tengah dalam beragama, menghindari sikap ekstrem yang memberatkan diri sendiri hingga melampaui batas kemampuan.

Dalam konteks moderasi beribadah, hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik RA menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW menegur tiga sahabat yang berniat melakukan ibadah secara berlebihan:

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Tiga orang datang ke rumah istri-istri Nabi SAW untuk menanyakan tentang ibadah Nabi SAW. Ketika mereka diberitahu, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit. Mereka berkata: ‘Dimana posisi kita dibanding Nabi SAW? Beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.’ Salah seorang dari mereka berkata: ‘Adapun saya, saya akan shalat sepanjang malam selama-lamanya.’ Yang lain berkata: ‘Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka.’ Yang ketiga berkata: ‘Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.’ Kemudian Rasulullah SAW datang dan bersabda: ‘Kalian yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.’” (Al-Bukhari, 2001)

Al-Nawawi (1972) dalam Syarh Sahih Muslim mengomentari hadis ini dengan menekankan bahwa jalan terbaik dalam beragama adalah mengikuti sunnah Nabi yang mencerminkan keseimbangan antara hak Allah, hak diri sendiri, dan hak orang lain.

Dalam dimensi sosial, prinsip wasatiyyah tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidhi dari Abdullah bin ‘Amr, dimana Nabi SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (Al-Tirmidhi, 2000)

Hadis ini menekankan keseimbangan dalam interaksi sosial, dimana seorang Muslim tidak menyebabkan kerugian atau gangguan bagi orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Prinsip keseimbangan dalam berpegang pada nilai-nilai agama dan menghadapi realitas dunia tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Anas bin Malik RA, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuan utamanya, Allah akan memberikan kekayaan dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dengan tunduk. Dan barangsiapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan menjadikan kemiskinan di depan matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan tidak akan datang kepadanya dari dunia kecuali apa yang telah ditakdirkan baginya.” (Ibn Majah, 2009)

Al-Mubarakfuri (1984) menjelaskan bahwa hadis ini tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia secara total, tetapi menekankan keseimbangan dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama sambil tetap menjalani kehidupan dunia dengan baik.

Dalam konteks interaksi antarumat beragama, prinsip moderasi tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah RA, dimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ، فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

“Janganlah kalian mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam, dan jika kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah ia ke tempat yang sempit.” (Abu Dawud, 2009)

Ibn Qayyim al-Jawziyya (1973) dalam Zad al-Ma’ad menjelaskan bahwa hadis ini harus dipahami dalam konteks historis tertentu, yaitu ketika terjadi ketegangan hubungan antara kaum Muslim dengan kelompok Yahudi di Madinah. Sikap moderat dalam memahami hadis ini adalah dengan membedakan antara konteks spesifik dengan prinsip universal Islam tentang hubungan antarumat beragama yang didasarkan pada keadilan dan penghormatan timbal balik.

Secara keseluruhan, analisis terhadap perspektif hadis menunjukkan bahwa konsep wasatiyyah tercermin dalam berbagai dimensi ajaran Nabi Muhammad SAW, baik dalam aspek ibadah, muamalah, maupun akhlak. Prinsip-prinsip ini membentuk landasan normatif bagi implementasi konsep ummatan wasatan dalam berbagai konteks kehidupan Muslim.

Perspektif Ulama Kontemporer tentang Wasatiyyah

Diskursus tentang wasatiyyah mengalami perkembangan signifikan dalam pemikiran Islam kontemporer. Para ulama dan intelektual Muslim modern telah memberikan kontribusi penting dalam mengkontekstualisasikan konsep ini untuk menjawab berbagai tantangan zaman. Berbeda dengan pendekatan tafsir klasik yang lebih berfokus pada aspek linguistik dan normatif, perspektif kontemporer cenderung mengembangkan dimensi sosio-historis dan aplikatif dari konsep ummatan wasatan.

Muhammad Abduh (1849-1905 M), salah satu pelopor pembaruan pemikiran Islam modern, dalam Tafsir al-Manar yang disusun bersama muridnya, Muhammad Rashid Rida, menafsirkan ummatan wasatan dalam kerangka keseimbangan antara spiritualitas dan materialisme. Abduh dan Rida (1947) menulis:

الوسط هو العدل والخيار، وهو ما بين طرفي الإفراط والتفريط، وذلك أن الأمم قبل الإسلام كانت منحرفة عن الوسط إلى أحد الطرفين، فمنهم من غلب عليه الجانب الروحي كالهنود والنصارى، ومنهم من غلب عليه الجانب المادي كالفرس واليونان، وجاء الإسلام ليجمع بين الأمرين ويوازن بينهما، فهو يقر العبادات الروحية ويقر الاستمتاع بالطيبات المادية

Wasat adalah keadilan dan yang terbaik, yaitu yang berada di antara dua ekstremitas: berlebih-lebihan dan meremehkan. Hal ini karena umat-umat sebelum Islam menyimpang dari sikap tengah ke salah satu ekstrem. Di antara mereka ada yang didominasi oleh aspek spiritual seperti orang-orang India dan Kristen, dan ada pula yang didominasi oleh aspek material seperti orang-orang Persia dan Yunani. Islam datang untuk menggabungkan kedua hal ini dan menyeimbangkan keduanya, sehingga ia menetapkan ibadah-ibadah spiritual sekaligus mengakui kenikmatan hal-hal material yang baik.”

Muhammad al-Ghazali (1917-1996 M), salah satu ulama terkemuka dari Mesir, dalam karyanya Al-Islam wa al-Taqat al-Mu’attalah mengembangkan konsep wasatiyyah sebagai landasan untuk membangun kebangkitan Islam modern. Al-Ghazali (1964) berpendapat bahwa moderasi Islam tidak berarti kompromi terhadap nilai-nilai fundamental, melainkan kemampuan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip Islam secara proporsional dan kontekstual. Ia menulis:

الوسطية ليست تنازلا عن المبادئ، وليست هروبا من المواجهة، ولكنها فهم لطبيعة الإسلام ومقاصده، وتطبيق لأحكامه على الواقع بحكمة وبصيرة

“Moderasi bukanlah kompromi terhadap prinsip-prinsip, dan bukan pula pelarian dari konfrontasi, tetapi pemahaman terhadap hakikat Islam dan tujuan-tujuannya, serta penerapan hukum-hukumnya pada realitas dengan kebijaksanaan dan wawasan.”

Yusuf al-Qaradawi (lahir 1926), salah satu ulama kontemporer yang paling berpengaruh, telah menjadikan konsep wasatiyyah sebagai landasan utama dalam pemikirannya. Dalam karyanya Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam, al-Qaradawi (1977) menggambarkan wasatiyyah sebagai salah satu karakteristik fundamental Islam yang tercermin dalam berbagai aspek ajarannya: akidah, ibadah, akhlak, dan syariat. Ia mendefinisikan wasatiyyah sebagai:

التوازن والاعتدال في كل شيء: في التصور والاعتقاد، في العبادة والشعائر، في الأخلاق والسلوك، في المعاملة والتشريع، في الفرد والمجتمع

“Keseimbangan dan moderasi dalam segala hal: dalam pemikiran dan keyakinan, dalam ibadah dan ritual, dalam moral dan perilaku, dalam muamalah dan legislasi, dalam individu dan masyarakat.”

Al-Qaradawi (2010) dalam karya lainnya, Fiqh al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa al-Tajdid, mengembangkan kerangka metodologis untuk memahami dan mengimplementasikan wasatiyyah dalam konteks modern. Ia mengidentifikasi beberapa karakteristik utama dari pendekatan wasatiyyah:

  1. Keseimbangan antara teks dan maqasid (tujuan syariat)
  2. Kombinasi antara keaslian dan kontemporeranitas
  3. Perpaduan antara ilmu dan iman
  4. Integrasi antara materi dan ruh
  5. Keseimbangan antara hak individu dan kolektif
  6. Moderasi antara sikap terlalu keras dan terlalu lunak

Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti (1929-2013), ulama Syria terkemuka, dalam bukunya Al-Insaniyyah fi al-Mizan menekankan dimensi etis dari konsep wasatiyyah. Al-Buti (1998) berpendapat bahwa moderasi Islam merupakan jalan untuk mewujudkan kemanusiaan yang seimbang, yang tidak mengabaikan dimensi spiritual maupun material. Ia menulis:

إن الإسلام جاء ليحرر الإنسان من عبودية الإنسان ومن عبودية المادة على حد سواء، وليعيده إلى فطرته السليمة التي خلقه الله عليها، فطرة التوازن والاعتدال

“Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan manusia dari perbudakan manusia dan perbudakan materi secara bersamaan, dan untuk mengembalikannya kepada fitrahnya yang sehat yang Allah ciptakan padanya, fitrah keseimbangan dan moderasi.”

Wahbah al-Zuhaili (1932-2015), ulama kontemporer dari Syria, dalam Al-Tafsir al-Munir mengembangkan konsep wasatiyyah dalam kerangka fiqh prioritas. Al-Zuhaili (1998) menekankan bahwa moderasi Islam tercermin dalam kemampuannya untuk menetapkan prioritas dan proporsi yang tepat dalam mengimplementasikan ajaran agama sesuai dengan konteks dan kondisi. Ia menulis:

الوسطية هي منهج في فهم الدين وتطبيقه، يقوم على مراعاة الأولويات والموازنات، والتيسير ورفع الحرج، والجمع بين الثوابت والمتغيرات

Wasatiyyah adalah metodologi dalam memahami agama dan menerapkannya, yang didasarkan pada memperhatikan prioritas dan keseimbangan, kemudahan dan penghilangan kesulitan, serta pengkombinasian antara hal-hal yang tetap dan yang berubah.”

Taha Jabir al-‘Alwani (1935-2016), pemikir Muslim Amerika berkebangsaan Irak, dalam bukunya Qadaya Islamiyyah Mu’asirah: Maqasid al-Syari’ah mengkaji konsep wasatiyyah dalam kerangka pembaruan metodologi hukum Islam. Al-‘Alwani (2001) berpendapat bahwa pendekatan wasatiyyah memerlukan pergeseran paradigmatik dalam ijtihad kontemporer, dari pendekatan yang berfokus pada teks semata menuju pendekatan yang mengintegrasikan teks, konteks, dan tujuan syariat. Ia menulis:

الوسطية منهج متكامل يجمع بين النقل والعقل، ويوازن بين النص والواقع، ويراعي المقاصد والغايات، ويستوعب الثابت والمتغير

Wasatiyyah adalah metodologi komprehensif yang menggabungkan antara wahyu dan rasio, menyeimbangkan antara teks dan realitas, memperhatikan tujuan dan sasaran, serta mengakomodasi hal-hal yang tetap dan yang berubah.”

Muhammad ‘Imarah (1931-2020), intelektual Mesir terkemuka, dalam karyanya Ma’alim al-Manhaj al-Islami mengidentifikasi wasatiyyah sebagai metodologi untuk membangun peradaban Islam kontemporer. ‘Imarah (1991) berpendapat bahwa moderasi Islam bukan sekadar jalan tengah yang pasif, melainkan posisi yang dinamis dan proaktif yang memungkinkan umat Islam untuk berkontribusi pada peradaban global tanpa kehilangan identitasnya. Ia menulis:

الوسطية ليست موقفاً سلبياً يقف بين طرفين، ولكنها موقف إيجابي فاعل، يأخذ من كل طرف أحسن ما فيه، ويتجاوز سلبيات الطرفين، ليكون نموذجاً متميزاً يتجاوز النقائض والأضداد

Wasatiyyah bukanlah posisi negatif yang berdiri di antara dua ekstrem, melainkan posisi positif yang aktif, yang mengambil hal terbaik dari setiap ekstrem, melampaui negativitas keduanya, untuk menjadi model yang unggul yang melampaui kontradiksi dan oposisi.”

Tabel 3. Pendekatan Ulama Kontemporer terhadap Konsep Wasatiyyah

TokohKarya UtamaKontribusi Terhadap Konsep Wasatiyyah
Muhammad Abduh & Rashid RidaTafsir al-ManarKeseimbangan antara spiritualitas dan materialisme
Muhammad al-GhazaliAl-Islam wa al-Taqat al-Mu’attalahWasatiyyah sebagai landasan kebangkitan Islam modern
Yusuf al-QaradawiAl-Khasa’is al-‘Ammah li al-IslamKerangka metodologis wasatiyyah dalam berbagai aspek ajaran Islam
M. Said Ramadan al-ButiAl-Insaniyyah fi al-MizanDimensi etis wasatiyyah untuk kemanusiaan yang seimbang
Wahbah al-ZuhailiAl-Tafsir al-MunirWasatiyyah dalam kerangka fiqh prioritas
Taha Jabir al-‘AlwaniMaqasid al-Syari’ahIntegrasi teks, konteks, dan maqasid dalam metodologi ijtihad
Muhammad ‘ImarahMa’alim al-Manhaj al-IslamiWasatiyyah sebagai posisi dinamis untuk peradaban Islam kontemporer

Perspektif ulama kontemporer tentang wasatiyyah menunjukkan upaya serius untuk mengkontekstualisasikan konsep ini dalam menghadapi berbagai tantangan modern. Berbeda dengan pendekatan klasik yang lebih fokus pada aspek tekstual dan normatif, pendekatan kontemporer cenderung mengembangkan dimensi metodologis dan aplikatif dari konsep ummatan wasatan. Para pemikir kontemporer tidak hanya menafsirkan konsep ini sebagai prinsip etis abstrak, tetapi juga sebagai kerangka kerja operasional untuk membangun peradaban Islam yang relevan dengan tuntutan zaman.

Wasatiyyah dalam Dimensi Teologis dan Aksiologis

Konsep wasatiyyah tidak hanya memiliki dimensi praktis dan sosial, tetapi juga memiliki akar yang dalam pada dimensi teologis dan aksiologis Islam. Dalam konteks teologis, wasatiyyah merefleksikan pandangan Islam tentang hakikat Tuhan, manusia, dan semesta. Sementara dalam dimensi aksiologis, konsep ini menjadi fondasi bagi sistem nilai yang mengatur perilaku individu dan masyarakat.

Dalam dimensi teologis, konsep wasatiyyah tercermin dalam pandangan Islam tentang Tuhan yang menyeimbangkan antara transendensi (tanzih) dan imanensi (tashbih). Al-Quran menegaskan transendensi Tuhan dalam ayat “لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya) (Al-Syura: 11), sekaligus mengakui aspek imanensi dalam ayat “وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ” (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya) (Qaf: 16).

Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986), dalam karyanya Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life, mengidentifikasi dimensi teologis dari wasatiyyah dalam konsep tauhid. Al-Faruqi (1982) menulis:

التوحيد هو الذي يجعل الإسلام متوازنا بين التعالي والحلول، فلا هو يؤله الطبيعة كالوثنيات، ولا هو يفصل الله عن الكون كلياً كالعلمانية الحديثة

“Tauhid adalah yang menjadikan Islam seimbang antara transendensi dan imanensi. Ia tidak menuhankan alam seperti paganisme, dan tidak pula memisahkan Tuhan dari kosmos secara total seperti sekularisme modern.”

Dimensi teologis wasatiyyah juga tercermin dalam pandangan Islam tentang hakikat manusia yang menyeimbangkan antara unsur material (jasad) dan spiritual (ruh). Al-Quran menggambarkan penciptaan manusia dalam ayat:

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِّن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ ﴿٢٨﴾ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.’” (Al-Hijr: 28-29)

Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931), filsuf Muslim Malaysia, dalam karyanya Islam and Secularism, mengeksplorasi dimensi teologis dari wasatiyyah dalam konteks antropologi Islam. Al-Attas (1978) menjelaskan bahwa pandangan Islam tentang manusia menyeimbangkan antara dimensi individual dan sosial, antara kebebasan dan tanggung jawab, serta antara hak dan kewajiban. Ia menulis:

إن التصور الإسلامي للإنسان يجمع بين الفردية والجماعية، بين الحرية والمسؤولية، وبين الحقوق والواجبات، وهذا هو جوهر الوسطية الإسلامية

“Konsepsi Islam tentang manusia menggabungkan antara individualitas dan kolektivitas, antara kebebasan dan tanggung jawab, dan antara hak dan kewajiban. Inilah esensi dari moderasi Islam.”

Dalam dimensi kosmologis, wasatiyyah tercermin dalam pandangan Islam tentang alam semesta yang seimbang dan teratur. Al-Quran menegaskan:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Al-Mulk: 3)

Seyyed Hossein Nasr (lahir 1933), intelektual Muslim Amerika berkebangsaan Iran, dalam karyanya Religion and the Order of Nature, mengidentifikasi dimensi kosmologis dari wasatiyyah dalam pandangan Islam tentang alam. Nasr (1996) berpendapat bahwa Islam memandang alam semesta sebagai teofani (tajalli) yang mencerminkan keseimbangan dan keindahan ilahi, bukan sekadar materi yang dapat dieksploitasi.

Dalam dimensi epistemologis, wasatiyyah tercermin dalam pendekatan Islam terhadap pengetahuan yang mengintegrasikan wahyu dan akal, iman dan ilmu. Al-Quran mendorong penggunaan akal sekaligus menegaskan otoritas wahyu:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Al-Nisa’: 82)

Isma’il al-Faruqi (1982) dalam Islamization of Knowledge mengidentifikasi dimensi epistemologis dari wasatiyyah dalam integrasi pengetahuan wahyu dan rasional. Ia menulis:

المنهجية الإسلامية تجمع بين الوحي والعقل، بين النقل والفكر، وبين العلم والإيمان، وهذا هو أساس الوسطية الإسلامية في مجال المعرفة

“Metodologi Islam menggabungkan antara wahyu dan akal, antara transmisi dan pemikiran, dan antara ilmu dan iman. Inilah dasar moderasi Islam dalam bidang pengetahuan.”

Dalam dimensi aksiologis, konsep wasatiyyah menjadi landasan bagi sistem nilai Islam yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara individualitas dan sosialitas, serta antara dunia dan akhirat. Al-Quran menegaskan:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qasas: 77)

Tabel 4. Dimensi Teologis dan Aksiologis Konsep Wasatiyyah

DimensiAspek WasatiyyahReferensi Al-Quran
TeologiKeseimbangan antara transendensi dan imanensi TuhanAl-Syura: 11, Qaf: 16
AntropologiIntegrasi unsur material dan spiritual dalam manusiaAl-Hijr: 28-29, Al-Tin: 4-5
KosmologiKeseimbangan dan keteraturan dalam ciptaanAl-Mulk: 3, Al-Rahman: 7-9
EpistemologiIntegrasi wahyu dan akalAl-Nisa’: 82, Ali ‘Imran: 190-191
AksiologiKeseimbangan antara dunia dan akhiratAl-Qasas: 77, Al-Baqarah: 201
EtikaModerasi dalam perilaku dan interaksi sosialAl-Furqan: 67, Al-Isra’: 29
PolitikKeadilan dan syura (musyawarah) dalam pemerintahanAl-Nisa’: 58, Al-Syura: 38
EkonomiKeseimbangan antara hak individu dan kepentingan sosialAl-Hasyr: 7, Al-Baqarah: 275-281

Dimensi etis dari wasatiyyah tercermin dalam ajaran Islam tentang perilaku moderat dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Quran mengajarkan moderasi dalam konsumsi:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (1911-1998), ulama Mesir terkemuka, dalam Tafsir al-Sya’rawi mengidentifikasi dimensi etis dari wasatiyyah dalam keseimbangan antara kebebasan individual dan tanggung jawab sosial. Al-Sya’rawi (1991) berpendapat bahwa etika Islam tidak mengabaikan kebebasan individu, namun juga tidak memutlakkannya hingga merugikan kepentingan bersama.

Dalam dimensi politik, wasatiyyah tercermin dalam konsep pemerintahan Islam yang menyeimbangkan antara otoritas pemimpin dan partisipasi masyarakat melalui prinsip syura (musyawarah). Al-Quran menegaskan:

وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Syura: 38)

Dalam dimensi ekonomi, wasatiyyah tercermin dalam sistem ekonomi Islam yang menyeimbangkan antara hak kepemilikan pribadi dan fungsi sosial harta, antara kebebasan berusaha dan keadilan distribusi. Al-Quran menegaskan:

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ

“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Al-Hasyr: 7)

Muhammad Baqir al-Sadr (1935-1980), ulama Syiah Irak, dalam karyanya Iqtisaduna (Ekonomi Kita), mengidentifikasi dimensi ekonomi dari wasatiyyah dalam keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik, antara kebebasan ekonomi dan intervensi negara. Al-Sadr (1982) menulis:

الاقتصاد الإسلامي يجمع بين حرية التملك وحرمة المال، وبين المصلحة الفردية والمصلحة الاجتماعية، وهذا هو جوهر الوسطية الاقتصادية

“Ekonomi Islam menggabungkan antara kebebasan kepemilikan dan kesucian harta, antara kepentingan individual dan kepentingan sosial. Inilah esensi dari moderasi ekonomi.”

Eksplorasi dimensi teologis dan aksiologis dari konsep wasatiyyah menunjukkan bahwa moderasi dalam Islam bukan sekadar sikap praktis atau strategi sosial-politik, melainkan bersumber dari pandangan ontologis yang mendalam tentang Tuhan, manusia, dan semesta. Wasatiyyah merupakan manifestasi dari prinsip keseimbangan yang menjadi karakteristik fundamental ajaran Islam dalam berbagai dimensinya. Pemahaman mendalam terhadap dimensi-dimensi ini menjadi kunci untuk mengimplementasikan konsep ummatan wasatan secara komprehensif dan autentik dalam konteks modern.

Tantangan Implementasi Wasatiyyah di Era Modern

Implementasi konsep wasatiyyah dalam konteks global kontemporer dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang memerlukan respons intelektual dan praktis yang serius. Tantangan-tantangan ini muncul dari dinamika internal umat Islam maupun dari tekanan eksternal akibat proses globalisasi, modernisasi, dan transformasi sosial-politik global. Pemahaman terhadap kompleksitas tantangan ini menjadi prasyarat untuk merumuskan strategi implementasi wasatiyyah yang efektif dan berkelanjutan.

Tantangan Internal: Polarisasi Ideologis dalam Tubuh Umat Islam

Salah satu tantangan signifikan dalam implementasi wasatiyyah adalah polarisasi ideologis dalam tubuh umat Islam sendiri. Spektrum pemikiran Islam kontemporer menunjukkan kecenderungan divergensi ke arah ekstremitas yang saling bertentangan: dari ultra-konservatisme hingga liberalisme radikal. Kedua ekstremitas ini, meskipun bertolak belakang dalam manifestasinya, sebenarnya sama-sama menyimpang dari prinsip wasatiyyah.

Di satu sisi, kelompok ultra-konservatif cenderung memahami Islam secara tekstual dan rigid, menolak pembaruan pemikiran, dan sering kali mengadopsi sikap ekslusif terhadap kelompok lain. Tariq Ramadan (2004) dalam Western Muslims and the Future of Islam mengidentifikasi bahwa sikap ini tidak sejalan dengan prinsip wasatiyyah yang menekankan keseimbangan antara ketaatan pada teks dan pemahaman terhadap konteks. Ramadan menulis:

التمسك بالنص دون فهم للسياق والمقاصد هو انحراف عن الوسطية التي تميز بها الإسلام منذ بدايته، وهو يؤدي إلى تصلب وجمود يتعارضان مع روح الشريعة ومقاصدها

“Berpegang pada teks tanpa pemahaman terhadap konteks dan tujuan adalah penyimpangan dari moderasi yang telah menjadi karakteristik Islam sejak awal. Hal ini mengarah pada kekerasan dan stagnasi yang bertentangan dengan semangat syariat dan tujuannya.”

Di sisi lain, kelompok liberal cenderung mengadopsi pendekatan yang terlalu permisif terhadap interpretasi ajaran Islam, terkadang hingga mengabaikan otoritas teks suci dan konsensus ulama. Muhammad ‘Imarah (2005) dalam Al-Islam wa al-‘Urubah wa al-‘Almaniyyah mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk penyimpangan lain dari prinsip wasatiyyah. Ia menulis:

التفريط في الثوابت والأصول باسم التجديد والعصرنة هو خروج عن الوسطية الإسلامية، وانحراف نحو ذوبان الهوية وضياع الخصوصية

“Mengabaikan prinsip-prinsip dan fondasi-fondasi tetap dengan dalih pembaruan dan modernisasi adalah penyimpangan dari moderasi Islam, dan penyelewengan menuju pelarutan identitas dan hilangnya kekhasan.”

Polarisasi ideologis ini semakin diperumit oleh fragmentasi otoritas keagamaan di era modern. Berbeda dengan masa klasik ketika otoritas keagamaan terpusat pada institusi-institusi keilmuan tradisional, era digital telah melahirkan fenomena demokratisasi pengetahuan agama yang tidak selalu diimbangi dengan kualifikasi keilmuan yang memadai. Muhammad Khalid Masud (2009) dalam Islamic Legal Philosophy mengidentifikasi bahwa fragmentasi otoritas ini menimbulkan kebingungan di kalangan Muslim awam dalam mengidentifikasi sumber rujukan yang otoritatif dan moderat. Masud menulis:

إن انتشار المصادر والمراجع الدينية، وتعدد المنابر والأصوات، دون آليات واضحة للتمييز بين المؤهل وغير المؤهل، يمثل تحدياً كبيراً أمام تطبيق منهج الوسطية

“Proliferasi sumber dan referensi keagamaan, serta beragamnya mimbar dan suara, tanpa mekanisme yang jelas untuk membedakan antara yang berkualifikasi dan yang tidak berkualifikasi, merupakan tantangan besar dalam penerapan metodologi moderasi.”

Tantangan Eksternal: Globalisasi dan Hegemoni Epistemik

Tantangan eksternal dalam implementasi wasatiyyah berkaitan dengan tekanan globalisasi dan hegemoni epistemik Barat yang sering kali memaksakan dikotomi simplistik dalam memahami Islam dan Muslim. Media global dan diskursus akademik mainstream cenderung mengklasifikasikan Muslim dalam kategori biner: “moderat” versus “radikal”, dengan parameter yang sering kali bias dan problem dari perspektif epistemologi Islam.

Ibrahim M. Abu-Rabi’ (2004) dalam Contemporary Arab Thought mengidentifikasi bahwa dikotomi simplistik ini merupakan bentuk kekerasan epistemik yang memaksa Muslim untuk mendefinisikan diri mereka dalam kerangka yang dirumuskan oleh pihak eksternal. Abu-Rabi’ menulis:

إن تصنيف المسلمين إلى “معتدلين” و “متطرفين” وفقاً لمعايير خارجية، يعكس نوعاً من الهيمنة الفكرية التي تتجاهل التنوع الثري في التراث الإسلامي وتفرض فهماً مختزلاً ومشوهاً للوسطية

“Klasifikasi Muslim menjadi ‘moderat’ dan ‘ekstremis’ berdasarkan kriteria eksternal mencerminkan bentuk hegemoni intelektual yang mengabaikan keragaman kaya dalam tradisi Islam dan memaksakan pemahaman yang reduktif dan terdistorsi tentang moderasi.”

Tantangan hegemoni epistemik ini diperumit oleh fenomena Islamofobia yang meningkat di berbagai belahan dunia. Islamofobia tidak hanya bermanifestasi dalam bentuk diskriminasi dan kekerasan fisik, tetapi juga dalam bentuk kekerasan simbolik yang mendelegitimasi suara-suara Muslim moderat. Tariq Modood (2006) dalam Multicultural Politics berpendapat bahwa Islamofobia menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi berkembangnya diskursus wasatiyyah yang autentik, karena Muslim dipaksa untuk bereaksi defensif alih-alih mengembangkan wacana yang proaktif dan konstruktif.

Tantangan Struktural: Ketimpangan Global dan Krisis Multidimensi

Implementasi wasatiyyah juga dihadapkan pada tantangan struktural berupa ketimpangan global dan krisis multidimensi yang melanda dunia kontemporer. Ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial antara negara-negara mayoritas Muslim dengan negara-negara maju menciptakan kondisi yang kurang kondusif bagi berkembangnya pemikiran dan praktik moderat.

Konsep wasatiyyah mengajarkan keseimbangan dan keadilan, namun realitas global menunjukkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan struktural yang sistemik. Samir Amin (2006) dalam Beyond US Hegemony berpendapat bahwa ketimpangan global ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya ideologi ekstrem sebagai bentuk respons terhadap ketidakadilan. Amin menulis:

الظلم والاستغلال على المستوى العالمي يولدان ردود فعل متطرفة، مما يجعل تطبيق منهج الوسطية أكثر صعوبة في ظل هذه الظروف

“Ketidakadilan dan eksploitasi pada tingkat global melahirkan reaksi-reaksi ekstrem, yang membuat penerapan metodologi moderasi lebih sulit dalam kondisi seperti ini.”

Krisis lingkungan global, perubahan iklim, pandemi, dan berbagai bentuk krisis kemanusiaan lainnya juga menambah kompleksitas tantangan dalam implementasi wasatiyyah. Prinsip keseimbangan yang menjadi esensi wasatiyyah mengharuskan respons yang proporsional terhadap berbagai krisis ini, namun kapasitas negara-negara mayoritas Muslim untuk merespons sering kali terbatas oleh faktor struktural dan historis.

Tantangan Epistemologis: Integrasi Keilmuan dan Revitalisasi Ijtihad

Tantangan epistemologis dalam implementasi wasatiyyah berkaitan dengan kebutuhan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam tradisional dengan berbagai disiplin ilmu modern. Pendekatan wasatiyyah yang autentik memerlukan metodologi yang mampu mengatasi dikotomi antara ilmu “agama” dan “umum”, antara tradisi dan modernitas.

Ismail Raji al-Faruqi (1982) dalam Islamization of Knowledge mengidentifikasi bahwa fragmentasi epistemologis yang terjadi di dunia Muslim merupakan tantangan serius dalam mengimplementasikan wasatiyyah dalam bidang keilmuan. Ia menulis:

الوسطية تقتضي تكاملاً معرفياً بين العلوم النقلية والعلوم العقلية، وبين المعارف التقليدية والمعارف الحديثة، وهذا يتطلب منهجية جديدة تتجاوز الانفصام المعرفي السائد

“Moderasi menuntut integrasi epistemologis antara ilmu-ilmu naqliyah (berbasis wahyu) dan ilmu-ilmu ‘aqliyah (berbasis rasio), antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Ini memerlukan metodologi baru yang melampaui fragmentasi epistemologis yang dominan.”

Tantangan epistemologis ini juga berkaitan dengan kebutuhan untuk merevitalisasi tradisi ijtihad yang merupakan mekanisme utama untuk mengimplementasikan wasatiyyah dalam konteks yang selalu berubah. Mohammad Hashim Kamali (1991) dalam Principles of Islamic Jurisprudence berpendapat bahwa stagnasi dalam tradisi ijtihad telah menghambat kapasitas pemikiran Islam untuk merespons berbagai tantangan kontemporer dengan pendekatan yang moderat dan seimbang.

Tabel 5. Tantangan Implementasi Konsep Wasatiyyah di Era Modern

Kategori TantanganManifestasiImplikasi terhadap Wasatiyyah
InternalPolarisasi ideologis dalam umat IslamKesulitan mencapai konsensus tentang parameter wasatiyyah
InternalFragmentasi otoritas keagamaanKebingungan dalam mengidentifikasi referensi moderat yang otoritatif
EksternalHegemoni epistemik dan dikotomi simplistikDistorsi konsep wasatiyyah dalam wacana global
EksternalIslamofobia dan marginalisasiLingkungan yang tidak kondusif bagi diskursus moderat
StrukturalKetimpangan globalKondisi yang kondusif bagi ekstremisme sebagai respons terhadap ketidakadilan
StrukturalKrisis multidimensi (lingkungan, ekonomi, sosial)Kesulitan mewujudkan keseimbangan dalam konteks krisis
EpistemologisFragmentasi keilmuanKesulitan mengintegrasikan tradisi dan modernitas
EpistemologisStagnasi tradisi ijtihadKeterbatasan dalam merespons tantangan kontemporer

Menghadapi kompleksitas tantangan ini, implementasi wasatiyyah di era modern memerlukan pendekatan multidimensi yang tidak hanya mencakup aspek normatif dan teologis, tetapi juga aspek sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Diperlukan upaya kolektif dari berbagai elemen masyarakat Muslim—ulama, intelektual, aktivis, pemimpin politik, dan masyarakat sipil—untuk mengkontekstualisasikan prinsip-prinsip wasatiyyah dalam merespons berbagai tantangan kontemporer.

Relevansi Konsep Ummatan Wasatho dalam Era Global

Di tengah turbulensi global yang ditandai dengan polarisasi politik, ekstremisme ideologis, krisis identitas, dan disrupsi teknologi, konsep ummatan wasatan menawarkan paradigma alternatif yang relevan tidak hanya bagi Muslim tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Relevansi konsep ini dalam era global dapat ditelusuri dalam berbagai dimensi kehidupan kontemporer.

Wasatiyyah sebagai Antitesis terhadap Ekstremisme dan Radikalisme

Dalam konteks global yang diwarnai oleh menguatnya berbagai bentuk ekstremisme—baik yang bermotif agama, ideologi, maupun etnonasionalisme—konsep wasatiyyah menawarkan pendekatan yang berbeda. Alih-alih terjebak dalam dikotomi ekstrem, wasatiyyah mengajak untuk membangun posisi tengah yang berprinsip, yang menolak kekerasan tanpa mengabaikan keadilan, yang menegaskan identitas tanpa menafikan pluralitas.

Abdullah bin Bayyah (lahir 1935), ulama kontemporer dan ketua Forum for Promoting Peace in Muslim Societies, menekankan bahwa wasatiyyah bukan sekadar jargon retoris, melainkan metodologi komprehensif untuk menangkal ekstremisme. Bin Bayyah (2014) dalam The Culture of Peace menulis:

الوسطية ليست مجرد شعار أو موقف سلبي يقف بين طرفين، بل هي منهجية متكاملة تجمع بين الالتزام بالأصول والانفتاح على الواقع، وبين التمسك بالهوية والانخراط في العالم

“Moderasi bukanlah sekadar slogan atau posisi pasif yang berdiri di antara dua kutub, melainkan metodologi komprehensif yang menggabungkan antara komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar dan keterbukaan terhadap realitas, antara keteguhan dalam identitas dan keterlibatan dengan dunia.”

Timothy Winter (Abdal Hakim Murad) (lahir 1960), intelektual Muslim Inggris, dalam esainya “Understanding the Four Madhhabs” (2012) menekankan bahwa tradisi fiqh Islam yang beragam namun koheren merupakan manifestasi historis dari prinsip wasatiyyah yang menolak monopoli kebenaran sekaligus tidak terjebak dalam relativisme tanpa batas. Winter menulis:

تنوع المذاهب الفقهية في التراث الإسلامي، وكيفية تعاملها مع الاختلاف، يقدم نموذجاً حياً للوسطية التي تتجنب إطلاقية الحقيقة من جهة والنسبية المطلقة من جهة أخرى

“Keragaman mazhab fikih dalam tradisi Islam, dan cara mereka menangani perbedaan, menyajikan model hidup dari moderasi yang menghindari absolutisme kebenaran di satu sisi dan relativisme absolut di sisi lain.”

Wasatiyyah sebagai Landasan Dialog Peradaban

Dalam konteks global yang ditandai oleh potensi “benturan peradaban” (clash of civilizations), konsep ummatan wasatan menawarkan landasan untuk membangun dialog peradaban yang konstruktif. Sebagai “umat pertengahan”, Muslim memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan antara berbagai tradisi keagamaan dan kultural.

Akbar S. Ahmed (1999) dalam Islam Today: A Short Introduction to the Muslim World berpendapat bahwa posisi Islam yang secara geografis dan historis berada di persimpangan peradaban Timur dan Barat memberikan umat Islam kapasitas unik untuk memfasilitasi dialog antarperadaban. Ahmed menulis:

الموقع الجغرافي والتاريخي للإسلام بين الشرق والغرب يعزز قدرة المسلمين على تبني نهج الوسطية في العلاقات بين الحضارات، حيث يمكنهم فهم منطق الطرفين والتقريب بينهما

“Posisi geografis dan historis Islam antara Timur dan Barat memperkuat kemampuan Muslim untuk mengadopsi pendekatan moderasi dalam hubungan antarperadaban, di mana mereka dapat memahami logika kedua belah pihak dan menjembatani keduanya.”

Hassan Hanafi (lahir 1935), filsuf Mesir kontemporer, dalam proyek intelektualnya “Al-Turath wa al-Tajdid” (Tradisi dan Pembaruan) menekankan pentingnya membangun dialog peradaban berdasarkan prinsip kesetaraan dan timbal balik, bukan dominasi dan hegemoni. Hanafi (2002) menulis:

الحوار الحضاري الحقيقي لا يمكن أن يتم إلا على أساس التكافؤ والندية، وهذا ما تؤسس له الوسطية الإسلامية التي ترفض الاستعلاء والهيمنة، كما ترفض الذوبان والتبعية

“Dialog peradaban sejati hanya dapat terjadi berdasarkan kesetaraan dan timbal balik, dan inilah yang dibangun oleh moderasi Islam yang menolak superioritas dan hegemoni, sebagaimana ia juga menolak pelarutan diri dan dependensi.”

Wasatiyyah dalam Menghadapi Tantangan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Krisis lingkungan global dan imperatif pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan eksistensial yang dihadapi umat manusia di abad ke-21. Dalam konteks ini, konsep wasatiyyah dengan penekanannya pada keseimbangan dan moderasi menawarkan kerangka etis yang relevan untuk merespons tantangan tersebut.

Mustafa Abu Sway (lahir 1958), profesor filsafat Islam dari Al-Quds University, dalam karyanya “Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment” (1998) mengembangkan konsep wasatiyyah sebagai landasan etika lingkungan Islam. Abu Sway berpendapat bahwa pandangan Islam tentang hubungan manusia-alam menekankan keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian. Ia menulis:

النظرة الإسلامية للبيئة تستند إلى مبدأ الوسطية، حيث يكون الإنسان خليفة في الأرض، مؤتمناً على مواردها، ومسؤولاً عن استدامتها. فلا إفراط في الاستغلال ولا تفريط في الإهمال

“Pandangan Islam tentang lingkungan didasarkan pada prinsip moderasi, di mana manusia adalah khalifah di bumi, yang dipercaya atas sumber dayanya, dan bertanggung jawab atas keberlanjutannya. Tidak ada berlebih-lebihan dalam eksploitasi, dan tidak pula lalai dalam pengabaian.”

Prinsip wasatiyyah juga relevan dalam merumuskan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan. Ibrahim Özdemir (lahir 1960), ahli etika lingkungan Islam dari Turki, dalam “The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature” (2003) berpendapat bahwa konsep wasat dalam Al-Quran memiliki implikasi langsung terhadap pembangunan berkelanjutan. Özdemir menulis:

مفهوم الوسطية في القرآن يقدم أساساً أخلاقياً للتنمية المستدامة، التي توازن بين احتياجات الحاضر والمستقبل، وبين النمو الاقتصادي والعدالة الاجتماعية وحماية البيئة

“Konsep moderasi dalam Al-Quran menyediakan dasar etis untuk pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara kebutuhan masa kini dan masa depan, dan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.”

Wasatiyyah dalam Ekonomi dan Keuangan Global

Krisis keuangan global 2008 dan pandemi COVID-19 telah mengungkapkan kelemahan inherent dalam sistem ekonomi global yang didominasi oleh kapitalisme neoliberal. Dalam konteks ini, prinsip wasatiyyah dalam ekonomi Islam menawarkan paradigma alternatif yang menekankan keseimbangan antara kepentingan individual dan sosial, antara pasar dan regulasi, serta antara pertumbuhan dan pemerataan.

Tabel 6. Relevansi Wasatiyyah dalam Berbagai Konteks Global Kontemporer

Konteks GlobalRelevansi WasatiyyahManifestasi Praktis
Ekstremisme dan RadikalismeAntitesis terhadap ekstremisme melalui pendekatan moderat yang berprinsipForum-forum dialog, program deradikalisasi berbasis wasatiyyah
Dialog PeradabanLandasan epistemologis untuk dialog yang setara dan konstruktifInisiatif dialog antariman dan antarperadaban yang berbasis wasatiyyah
Krisis LingkunganKerangka etis untuk keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarianFikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) berbasis wasatiyyah
Ekonomi dan KeuanganParadigma ekonomi yang menyeimbangkan pasar dan keadilan sosialPengembangan instrumen keuangan Islam yang moderat dan inklusif
Politik dan PemerintahanLandasan untuk sistem politik yang menyeimbangkan stabilitas dan partisipasiPengembangan model tata kelola yang menggabungkan nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi
Media dan TeknologiPendekatan etis terhadap pemanfaatan teknologiPengembangan etika digital berbasis wasatiyyah
PendidikanParadigma pendidikan yang mengintegrasikan tradisi dan modernitasReformasi kurikulum pendidikan Islam yang mengintegrasikan ilmu agama dan sains modern

Umer Chapra (lahir 1933), ekonom Muslim terkemuka, dalam karyanya “Islam and the Economic Challenge” (1992) mengidentifikasi bahwa baik kapitalisme laissez-faire maupun sosialisme tidak sejalan dengan prinsip wasatiyyah Islam. Chapra menulis:

الوسطية الإسلامية في الاقتصاد ترفض الرأسمالية المتوحشة التي تطلق يد السوق دون ضوابط، كما ترفض الاشتراكية التي تلغي دور السوق لصالح تخطيط مركزي شامل. فهي تقر بدور السوق مع ضوابط أخلاقية ومؤسسية تضمن العدالة والتوازن

“Moderasi Islam dalam ekonomi menolak kapitalisme liar yang melepaskan tangan pasar tanpa kendali, sebagaimana ia juga menolak sosialisme yang menghilangkan peran pasar untuk kepentingan perencanaan terpusat yang komprehensif. Ia mengakui peran pasar dengan kendali etis dan institusional yang menjamin keadilan dan keseimbangan.”

Perkembangan industri keuangan Islam global, yang mencapai aset lebih dari 2 triliun dolar AS pada tahun 2019, mencerminkan upaya untuk mengimplementasikan prinsip wasatiyyah dalam sektor keuangan. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik, keuangan Islam berupaya menawarkan alternatif terhadap sistem keuangan konvensional dengan menekankan keseimbangan antara penciptaan nilai ekonomi dan nilai etis.

Wasatiyyah dalam Politik dan Pemerintahan

Dalam ranah politik dan pemerintahan, konsep wasatiyyah menawarkan kerangka untuk membangun sistem yang menyeimbangkan antara nilai-nilai Islam dan realitas kontemporer. Khaled Abou El Fadl (lahir 1963), ahli hukum Islam dari UCLA, dalam karyanya “Islam and the Challenge of Democracy” (2004) mengeksplorasi kemungkinan rekonsiliasi antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi modern berdasarkan pendekatan wasatiyyah. Abou El Fadl menulis:

الوسطية السياسية في الإسلام تتجاوز الثنائيات المصطنعة بين “الإسلامي” و”العلماني”، وبين “التقليدي” و”الحديث”، لتبني نموذجاً يجمع بين القيم الإسلامية والمؤسسات الديمقراطية بشكل خلاق

“Moderasi politik dalam Islam melampaui dikotomi artifisial antara ‘Islamis’ dan ‘sekuler’, antara ‘tradisional’ dan ‘modern’, untuk membangun model yang menggabungkan nilai-nilai Islam dan institusi-institusi demokratis secara kreatif.”

Pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan Tunisia dalam membangun sistem politik yang mengakomodasi nilai-nilai Islam dalam kerangka negara modern mencerminkan upaya untuk mengimplementasikan prinsip wasatiyyah dalam ranah politik praktis. Meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda, negara-negara ini menunjukkan bahwa kompatibilitas antara Islam dan demokrasi modern adalah mungkin dengan pendekatan yang moderat dan kontekstual.

Wasatiyyah dalam Era Digital dan Masyarakat Informasi

Era digital dan revolusi informasi telah mengubah secara fundamental cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan mengakses pengetahuan. Dalam konteks ini, prinsip wasatiyyah menawarkan panduan etis untuk navigasi dalam lanskap digital yang kompleks dan sering kali membingungkan.

Jasser Auda (lahir 1966), pakar maqasid syariah kontemporer, dalam karyanya “Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law” (2008) mengeksplorasi bagaimana pendekatan berbasis tujuan (maqasid) yang merupakan manifestasi dari prinsip wasatiyyah dapat diterapkan dalam merespons berbagai isu etis yang muncul dari teknologi digital. Auda menulis:

المقاربة المقاصدية للتكنولوجيا الرقمية، المبنية على الوسطية، تتجاوز الرفض المطلق والقبول المطلق، لتؤسس منهجاً نقدياً يستفيد من إمكانات التكنولوجيا مع الحفاظ على القيم الإنسانية والأخلاقية

“Pendekatan berbasis maqasid terhadap teknologi digital, yang dibangun atas dasar moderasi, melampaui penolakan absolut dan penerimaan absolut, untuk membangun metodologi kritis yang memanfaatkan potensi teknologi sambil menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan etis.”

Dalam era pasca-kebenaran (post-truth) dan berita palsu (fake news), prinsip wasatiyyah dengan penekanannya pada verifikasi, keseimbangan, dan keadilan menawarkan landasan epistemologis untuk membangun literasi media kritis. Al-Quran sendiri mengajarkan prinsip verifikasi berita dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)

Prinsip verifikasi ini merupakan manifestasi dari pendekatan wasatiyyah yang menolak sikap mudah percaya sekaligus tidak terjebak dalam skeptisisme berlebihan.

Kesimpulan: Menuju Implementasi Ummatan Wasatho di Era Kontemporer

Eksplorasi mendalam tentang konsep ummatan wasatho dalam Al-Quran dan relevansinya di era modern telah mengungkapkan kekayaan makna dan potensi aplikatif yang terkandung dalam konsep ini. Sebagai konsep kunci dalam Al-Quran, ummatan wasatho tidak hanya menggambarkan posisi historis umat Islam di antara berbagai tradisi keagamaan, tetapi juga menetapkan prinsip moderasi, keseimbangan, dan keadilan sebagai karakteristik fundamental yang seharusnya menjadi identitas umat Islam sepanjang masa.

Analisis terhadap dimensi semantik, historis, dan kontekstual dari konsep wasatiyyah menunjukkan bahwa konsep ini memiliki spektrum makna yang kaya dan beragam, namun tetap koheren dan sistemik. Dari perspektif linguistik, kata wasat mengandung makna posisi tengah, terbaik, adil, dan seimbang. Dalam konteks teologis, wasatiyyah mencerminkan keseimbangan antara transendensi dan imanensi Tuhan, antara wahyu dan akal, serta antara tradisi dan pembaruan. Dalam dimensi antropologis, konsep ini merefleksikan pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang menggabungkan unsur material dan spiritual. Dalam dimensi aksiologis, wasatiyyah menjadi landasan bagi sistem nilai yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, serta antara dunia dan akhirat.

Penafsiran terhadap ayat ummatan wasatan telah mengalami evolusi yang signifikan dari masa klasik hingga kontemporer. Mufassir klasik seperti al-Tabari, al-Qurtubi, dan Ibn Kathir menekankan dimensi teologis dan etis dari konsep ini, sementara pemikir modern seperti Muhammad Abduh, Muhammad al-Ghazali, dan Yusuf al-Qaradawi mengembangkan dimensi sosio-politik dan metodologis yang lebih relevan dengan konteks kontemporer. Meskipun terdapat keragaman penekanan dan pendekatan, terdapat kontinuitas dan koherensi dalam interpretasi konsep ummatan wasatan sepanjang sejarah pemikiran Islam.

Implementasi konsep wasatiyyah di era modern dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks, baik yang bersumber dari dinamika internal umat Islam maupun dari tekanan eksternal akibat globalisasi dan transformasi sosial-politik global. Tantangan internal mencakup polarisasi ideologis dan fragmentasi otoritas keagamaan, sementara tantangan eksternal meliputi hegemoni epistemik dan fenomena Islamofobia. Tantangan struktural berupa ketimpangan global dan krisis multidimensi, serta tantangan epistemologis berupa fragmentasi keilmuan dan stagnasi tradisi ijtihad, menambah kompleksitas dalam mengimplementasikan prinsip wasatiyyah secara efektif.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, konsep ummatan wasatan tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam merespons berbagai persoalan global kontemporer. Sebagai antitesis terhadap ekstremisme dan radikalisme, konsep ini menawarkan pendekatan yang menolak kekerasan tanpa mengabaikan keadilan. Sebagai landasan dialog peradaban, konsep ini memungkinkan umat Islam untuk menjadi jembatan antara berbagai tradisi keagamaan dan kultural. Dalam menghadapi krisis lingkungan dan imperatif pembangunan berkelanjutan, prinsip keseimbangan dalam wasatiyyah menawarkan kerangka etis yang relevan. Dalam ranah ekonomi, politik, dan teknologi, konsep ini menawarkan paradigma alternatif yang menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernitas.

Menuju implementasi yang efektif dari konsep ummatan wasatan di era kontemporer, diperlukan pendekatan multidimensi yang mencakup aspek intelektual, institusional, dan praktis:

  1. Revitalisasi Tradisi Ijtihad: Diperlukan pengembangan metodologi ijtihad kontemporer yang berbasis pada prinsip wasatiyyah, yang mengintegrasikan antara kesetiaan pada teks dan pemahaman terhadap konteks, antara keaslian (asalah) dan kontemporeranitas (mu’asarah).
  2. Reformasi Pendidikan: Sistem pendidikan Islam perlu direformasi untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern, antara pendekatan normatif dan empiris, sehingga mampu melahirkan generasi Muslim yang memiliki pemahaman komprehensif dan seimbang.
  3. Pengembangan Institusi: Diperlukan pengembangan institusi-institusi yang menjadi pusat pengkajian dan sosialisasi konsep wasatiyyah, yang dapat menjadi rujukan otoritatif bagi masyarakat Muslim dalam merespons berbagai persoalan kontemporer.
  4. Penguatan Jaringan Global: Diperlukan penguatan jaringan global di antara para ulama, intelektual, dan aktivis yang berkomitmen pada pendekatan wasatiyyah, untuk memfasilitasi pertukaran pengalaman dan kolaborasi dalam menghadapi tantangan bersama.
  5. Kontekstualisasi Terus-Menerus: Implementasi wasatiyyah memerlukan proses kontekstualisasi yang terus-menerus, yang mempertimbangkan kekhasan kondisi lokal dan dinamika global, sehingga prinsip-prinsip universal dapat diterjemahkan ke dalam praksis yang relevan dan efektif.

Sebagai penutup, konsep ummatan wasatan dalam Al-Quran bukan sekadar deskripsi historis atau preskripsi normatif, melainkan visi peradaban yang komprehensif dan dinamis. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi dan terdiferensiasi, visi ini menawarkan paradigma alternatif yang menekankan keseimbangan, keadilan, dan moderasi. Implementasi efektif dari visi ini memerlukan komitmen intelektual yang serius, keberanian moral yang tinggi, dan kearifan praktis yang mendalam. Dengan pendekatan yang integratif dan kontekstual, konsep ummatan wasatan dapat menjadi landasan bagi kebangkitan umat Islam dan kontribusi konstruktif mereka terhadap peradaban global di abad ke-21.

Daftar Pustaka

Abduh, M., & Rida, M. R. (1947). Tafsir al-Manar. Dar al-Manar.

Abu-Rabi’, I. M. (2004). Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History. Pluto Press.

Abu Dawud. (2009). Sunan Abi Dawud. Dar al-Risalah al-‘Alamiyyah.

Abu Hayyan, M. (2010). Al-Bahr al-Muhit fi al-Tafsir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Abu Sway, M. (1998). Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment. Journal of Islamic Law Studies, 4(1), 34-47.

Ahmed, A. S. (1999). Islam Today: A Short Introduction to the Muslim World. I.B. Tauris.

Al-‘Alwani, T. J. (2001). Qadaya Islamiyyah Mu’asirah: Maqasid al-Syari’ah. Dar al-Hadi.

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Secularism. ABIM.

Al-Bukhari, M. (2001). Sahih al-Bukhari. Dar Tauq al-Najah.

Al-Buti, M. S. R. (1998). Al-Insaniyyah fi al-Mizan. Dar al-Fikr.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. IIIT.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. IIIT.

Al-Ghazali, M. (1964). Al-Islam wa al-Taqat al-Mu’attalah. Dar al-Kutub al-Hadithah.

Al-Mubarakfuri, M. (1984). Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jami’ al-Tirmidhi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Y. (1972). Al-Minhaj fi Sharh Sahih Muslim ibn al-Hajjaj. Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Al-Qaradawi, Y. (1977). Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam. Maktabat Wahbah.

Al-Qaradawi, Y. (2010). Fiqh al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa al-Tajdid. Dar al-Shuruq.

Al-Qurtubi, M. (1964). Al-Jami’ li Ahkam al-Quran. Dar al-Kutub al-Misriyyah.

Al-Razi, F. (2000). Mafatih al-Ghaib. Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Al-Sadr, M. B. (1982). Iqtisaduna. Dar al-Ta’aruf.

Al-Suyuti, J. (2003). Al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur. Markaz Hajr.

Al-Sya’rawi, M. M. (1991). Tafsir al-Sya’rawi. Akhbar al-Yaum.

Al-Tabari, I. J. (2000). Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran. Muassasat al-Risalah.

Al-Tirmidhi, M. (2000). Sunan al-Tirmidhi. Dar al-Gharb al-Islami.

Al-Zamakhsyari. (2009). Al-Kasysyaf. Dar al-Ma’rifah.

Al-Zuhaili, W. (1998). Al-Tafsir Al-Munir. Dar al-Fikr al-Mu’asir.

Amin, S. (2006). Beyond US Hegemony: Assessing the Prospects for a Multipolar World. Zed Books.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. IIIT.

Bin Bayyah, A. (2014). The Culture of Peace. Forum for Promoting Peace in Muslim Societies.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the Economic Challenge. The Islamic Foundation.

El Fadl, K. A. (2004). Islam and the Challenge of Democracy. Princeton University Press.

Hanafi, H. (2002). Al-Turath wa al-Tajdid. Dar al-Tanwir.

Ibn Hajar, A. (2000). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari. Dar al-Salam.

Ibn Kathir, I. (1999). Tafsir al-Quran al-‘Azim. Dar Taybah.

Ibn Majah, M. (2009). Sunan Ibn Majah. Dar al-Risalah al-‘Alamiyyah.

Ibn Manzur, M. (2003). Lisan al-Arab. Dar Sadir.

Ibn Qayyim al-Jawziyya, M. (1973). Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khayr al-‘Ibad. Mu’assasat al-Risalah.

Ibn Taymiyyah, A. (1999). Al-Istiqamah. Dar al-Fadilah.

‘Imarah, M. (1991). Ma’alim al-Manhaj al-Islami. Dar al-Shuruq.

‘Imarah, M. (2005). Al-Islam wa al-‘Urubah wa al-‘Almaniyyah. Maktabat al-Shuruq al-Dawliyyah.

Izutsu, T. (1964). The Structure of the Ethical Terms in the Koran. Keio University.

Kamali, M. H. (1991). Principles of Islamic Jurisprudence. The Islamic Texts Society.

Masud, M. K. (2009). Islamic Legal Philosophy. Islamic Research Institute.

Modood, T. (2006). Multicultural Politics: Racism, Ethnicity and Muslims in Britain. University of Minnesota Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.

Özdemir, I. (2003). The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature. Journal of Islamic Studies, 14(1), 23-37.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford University Press.

Winter, T. (2012). Understanding the Four Madhhabs. Muslim Academic Trust, 2(3), 1-19.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect