Pendahuluan
Konsep Al-Fallah (الفلاح) merupakan salah satu terminologi kunci dalam khazanah Islam yang memiliki dimensi makna yang sangat luas dan mendalam. Secara etimologis, kata Al-Fallah berasal dari akar kata bahasa Arab ف-ل-ح (fa-la-ha) yang mengandung makna kesuksesan, keberuntungan, kemenangan, dan pencapaian tujuan yang diinginkan (Ibn Manẓūr, 1414 H). Dalam konteks Al-Qur’an, terminologi ini tidak hanya merujuk pada kesuksesan duniawi semata, melainkan mencakup dimensi komprehensif yang meliputi aspek spiritual, moral, sosial, dan eskatologis.
Al-Qur’an menggunakan derivasi kata fallaha dan turunannya sebanyak 40 kali dalam berbagai bentuk dan konteks yang beragam, menunjukkan pentingnya konsep ini dalam worldview Islam (Bāqī, 1364 H). Pengulangan yang intensif ini mengindikasikan bahwa Al-Fallah bukan sekadar konsep teoretis, melainkan merupakan tujuan utama yang hendak dicapai oleh setiap Muslim dalam perjalanan hidupnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Rāghib al-Aṣfahānī dalam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, Al-Fallah adalah “ḥuṣūl al-khayr ma’a al-barakah fīh” (tercapainya kebaikan disertai dengan keberkahan di dalamnya) (Al-Aṣfahānī, 1412 H, hlm. 639).
Kajian akademik tentang Al-Fallah menjadi semakin relevan dalam konteks kontemporer, di mana umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan kompleks yang memerlukan pemahaman holistik tentang makna kesuksesan sejati. Studi-studi modern telah menunjukkan bahwa konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an menawarkan paradigma alternatif terhadap konsepsi sukses yang dominan dalam peradaban modern, yang cenderung materialistik dan individualistik (Chapra, 2000). Penelitian Ahmad (2018) mendemonstrasikan bahwa pemahaman komprehensif tentang Al-Fallah dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan teori well-being yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Urgensi kajian ini juga didorong oleh kebutuhan untuk mengklarifikasi berbagai interpretasi yang berkembang terkait konsep Al-Fallah, mulai dari pendekatan literal hingga metaforis, dari perspektif individual hingga kolektif, serta dari dimensi temporal hingga eternal. Sebagaimana diargumentasikan oleh Nasr (1987), pemahaman yang tepat tentang Al-Fallah memerlukan pendekatan integratif yang menggabungkan analisis linguistik, hermeneutik, dan kontekstual dengan mempertimbangkan perkembangan pemikiran Islam dari periode klasik hingga kontemporer.
Landasan Konseptual Al-Fallah dalam Tradisi Islam
Definisi dan Makna Etimologis
Secara etimologis, akar kata ف-ل-ح (fa-la-ha) dalam bahasa Arab klasik memiliki makna dasar yang berkaitan dengan memecah, membelah, atau membuka sesuatu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Ibn Fāris dalam Mu’jam Maqāyīs al-Lughah menjelaskan bahwa “al-fā’ wa al-lām wa al-ḥā’ aṣlun ṣaḥīḥun yadullu ‘alā shatq shay’in wa fatḥih” (huruf fa, lam, dan ha merupakan akar yang sahih yang menunjukkan makna membelah sesuatu dan membukanya) (Ibn Fāris, 1399 H, jilid 4, hlm. 447). Makna etimologis ini mengandung implikasi bahwa Al-Fallah merupakan hasil dari upaya aktif untuk “membuka” atau “memecahkan” hambatan-hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan.
Dalam perkembangannya, kata fallaha kemudian berkembang menjadi beragam derivasi yang masing-masing memiliki nuansa makna khusus. Kata al-fallāḥ (الفلاح) dengan alif lam ta’rif menunjukkan konsep abstrak tentang kesuksesan atau keberuntungan, sementara kata al-fallāḥu (الفلاحُ) tanpa ta’rif merujuk pada petani atau orang yang bekerja di bidang pertanian. Koneksi semantik antara kedua makna ini menunjukkan bahwa konsep kesuksesan dalam Islam terkait erat dengan kerja keras, kesabaran, dan proses kultivasi yang berkelanjutan, sebagaimana layaknya seorang petani yang mengolah tanah (Al-Jurjānī, 1403 H).
Al-Zamakhsharī dalam al-Kashshāf memberikan definisi komprehensif tentang Al-Fallah sebagai “al-fawz bi al-maṭlūb wa al-najāh min al-marhūb” (meraih apa yang dicari dan selamat dari apa yang ditakuti) (Al-Zamakhsharī, 1407 H, jilid 1, hlm. 67). Definisi ini menunjukkan bahwa Al-Fallah memiliki dimensi ganda: aspek positif berupa pencapaian tujuan dan aspek negatif berupa penghindaran dari bahaya atau kerugian. Dualitas ini mencerminkan kompleksitas konsep Al-Fallah yang tidak hanya berorientasi pada gain semata, tetapi juga pada proteksi dari loss.
Kategorisasi Al-Fallah dalam Literatur Klasik
Para ulama klasik telah mengembangkan berbagai kategorisasi untuk memahami spektrum makna Al-Fallah secara lebih sistematis. Al-Ṭabarī dalam Jāmi’ al-Bayān mengklasifikasikan Al-Fallah menjadi tiga kategori utama: fallāḥ al-dunyā (kesuksesan duniawi), fallāḥ al-ākhirah (kesuksesan ukhrawi), dan fallāḥ al-dārayni (kesuksesan dua alam) (Al-Ṭabarī, 1420 H, jilid 1, hlm. 289). Klasifikasi ini menunjukkan bahwa konsep Al-Fallah dalam Islam memiliki spektrum temporal yang luas, tidak terbatas pada kehidupan dunia semata.
Ibn Kathīr dalam tafsirnya memberikan kategorisasi yang lebih detail dengan membedakan antara Al-Fallah al-‘ājil (kesuksesan segera) dan Al-Fallah al-ājil (kesuksesan yang tertunda). Menurutnya, Al-Fallah al-‘ājil merujuk pada berbagai bentuk kesuksesan yang dapat dirasakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, ketenangan jiwa, keberkahan rezeki, dan harmoni sosial. Sementara itu, Al-Fallah al-ājil mencakup ganjaran-ganjaran yang akan diperoleh di akhirat, seperti surga, ridha Allah, dan keselamatan dari neraka (Ibn Kathīr, 1420 H, jilid 1, hlm. 78).
Al-Qurṭubī mengajukan kategorisasi berdasarkan subjek yang mengalami Al-Fallah, yaitu fallāḥ al-fard (kesuksesan individu) dan fallāḥ al-jamā’ah (kesuksesan kolektif). Perspektif ini menunjukkan bahwa Al-Fallah tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan komunal yang penting. Kesuksesan individu yang tidak berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, atau bahkan merugikan orang lain, tidak dapat dikategorikan sebagai Al-Fallah dalam makna yang sesungguhnya (Al-Qurṭubī, 1384 H, jilid 1, hlm. 145).
Analisis Komprehensif Ayat-Ayat Al-Fallah
Ayat-Ayat Fundamental tentang Al-Fallah
Al-Qur’an menyajikan konsep Al-Fallah melalui berbagai ayat yang dapat dikategorikan berdasarkan konteks dan penekanannya. Salah satu ayat paling fundamental adalah dalam Surat al-Baqarah ayat 5:
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 5)
Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Fallah terkait erat dengan konsep hidayah (petunjuk ilahi). Al-Ālūsī dalam Rūḥ al-Ma’ānī menjelaskan bahwa kata “al-muflihūn” dalam konteks ini merujuk pada mereka yang berhasil mencapai tujuan spiritual tertinggi melalui pengikutan terhadap petunjuk Allah (Al-Ālūsī, 1415 H, jilid 1, hlm. 234). Struktur linguistik ayat dengan penggunaan ism al-mawṣūl “ulā’ika” yang diulang dua kali memberikan penekanan pada korelasi kausal antara mengikuti hidayah dan mencapai Al-Fallah.
Ayat lain yang sangat signifikan adalah dalam Surat al-Mu’minūn ayat 1:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman.” (Al-Mu’minūn: 1)
Penggunaan partikel “qad” dalam bahasa Arab menunjukkan kepastian (ta’kīd) dan pencapaian yang telah terealisasi. Al-Zajjāj dalam Ma’ānī al-Qur’ān wa I’rābuh menjelaskan bahwa struktur ini mengindikasikan bahwa Al-Fallah bagi orang beriman bukan sekadar harapan atau kemungkinan, melainkan kepastian yang dijamin oleh Allah (Al-Zajjāj, 1408 H, jilid 3, hlm. 456). Ayat ini kemudian diikuti oleh serangkaian karakteristik orang beriman yang menjadi prasyarat untuk mencapai Al-Fallah.
Tabel Analisis Ayat-Ayat Al-Fallah Berdasarkan Konteks
| No | Surat dan Ayat | Teks Arab | Konteks | Jenis Al-Fallah |
|---|---|---|---|---|
| 1 | Al-Baqarah: 5 | وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ | Karakteristik orang bertaqwa | Spiritual-Universal |
| 2 | Al-Mu’minūn: 1 | قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ | Kepastian kesuksesan mukmin | Eskatologis-Definitif |
| 3 | Al-A’rāf: 8-9 | فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ | Timbangan amal pada hari kiamat | Eskatologis-Kondisional |
| 4 | Al-Tawbah: 88 | وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ | Orang yang berjihad dengan harta dan jiwa | Sosial-Temporal |
| 5 | Al-Ḥashr: 9 | وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ | Orang yang terhindar dari kekikiran jiwa | Psikologis-Moral |
Analisis Semantik dan Struktural
Dalam analisis yang lebih mendalam, penggunaan kata “muflihūn” (bentuk plural dari muflih) dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Fallah bukan fenomena individual yang terisolasi, melainkan karakteristik komunal yang dialami bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kriteria tertentu. Hal ini sejalan dengan konsep ummah dalam Islam yang menekankan dimensi kolektif dalam pencapaian tujuan spiritual.
Struktur morfologis kata “muflihūn” sebagai ism fā’il menunjukkan bahwa Al-Fallah bukan status statis, melainkan proses aktif yang berkelanjutan. Orang yang muflih adalah orang yang secara terus-menerus berada dalam kondisi mencapai atau mempertahankan kesuksesannya. Ibn Jinnī dalam al-Khaṣā’iṣ menjelaskan bahwa penggunaan ism fā’il dalam konteks ini mengimplikasikan bahwa Al-Fallah memerlukan aktivitas dan upaya yang berkelanjutan, bukan pencapaian sekali jadi (Ibn Jinnī, t.t., jilid 2, hlm. 367).
Pengamatan terhadap distribusi ayat-ayat Al-Fallah dalam mushaf menunjukkan pola yang menarik. Sebagian besar ayat yang menggunakan terminologi ini terdapat dalam surat-surat Madaniyyah, yang turun setelah pembentukan masyarakat Muslim di Madinah. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an tidak hanya bersifat individual-spiritual, tetapi juga terkait erat dengan pembangunan tatanan sosial yang Islami (Watt, 1988).
Perspektif Hadis tentang Al-Fallah
Hadis-Hadis Fundamental tentang Al-Fallah
Tradisi Hadis memberikan elaborasi yang kaya tentang konsep Al-Fallah yang telah disinggung dalam Al-Qur’an. Salah satu hadis yang paling komprehensif dalam menjelaskan Al-Fallah adalah riwayat dari Abū Hurayrah yang dicatat oleh al-Bukhārī:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Ibn Abī Dhi’b dari al-Zuhrī dari Sa’īd ibn al-Musayyab dari Abū Hurayrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberikan kepadanya rasa qana’ah (puas) dengan apa yang telah diberikan kepadanya.’” (Al-Bukhārī, 1422 H, Kitab al-Riqāq, Bab al-Ghinā)
Hadis ini memberikan definisi operasional Al-Fallah yang terdiri dari tiga komponen: Islam (dimensi spiritual), kifāf (kecukupan material), dan qanā’ah (kepuasan psikologis). Imam al-Nawawī dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan bahwa ketiga elemen ini membentuk triangulasi kesuksesan yang holistik, di mana tidak ada satu pun yang dapat diabaikan tanpa mengurangi kualitas Al-Fallah yang dicapai (Al-Nawawī, 1392 H, jilid 7, hlm. 123).
Hadis lain yang relevan adalah riwayat Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Amr:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعَ بِهِ
“Sungguh beruntung orang yang diberi hidayah kepada Islam, kehidupannya berkecukupan, dan ia merasa puas dengannya.” (Muslim, t.t., Kitab al-Zakat, Bab Kafāf al-Ghināā)
Penggunaan kata “hudiya” (diberi hidayah) dalam hadis ini menunjukkan bahwa Al-Fallah dimulai dengan hidayah Allah, bukan semata-mata usaha manusia. Hal ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa orang-orang muflih adalah mereka yang berada di atas hidayah dari Tuhan mereka.
Dimensi Temporal Al-Fallah dalam Hadis
Analisis terhadap korpus hadis menunjukkan bahwa Rasulullah saw. membahas Al-Fallah dalam berbagai dimensi temporal. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Fatḥ al-Bārī mengidentifikasi tiga kategori temporal Al-Fallah dalam hadis: al-fallāḥ al-‘ājil (kesuksesan segera), al-fallāḥ al-ājil (kesuksesan tertunda), dan al-fallāḥ al-mustamirr (kesuksesan berkelanjutan) (Ibn Ḥajar, 1379 H, jilid 11, hlm. 234).
Al-Fallāḥ al-‘ājil tercermin dalam hadis-hadis yang membahas keberkahan hidup di dunia, seperti hadis tentang berkah dalam rezeki, kesehatan, dan keluarga. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhī:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah, berkahilah kami dalam apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami dan lindungilah kami dari azab neraka.” (Al-Tirmidhī, 1395 H, Abwāb al-Da’wāt)
Sementara itu, Al-Fallāḥ al-ājil direpresentasikan dalam hadis-hadis tentang ganjaran akhirat, seperti hadis tentang surga dan berbagai tingkatannya. Al-Fallāḥ al-mustamirr tercermin dalam hadis-hadis yang membahas amalan yang pahalanya terus mengalir meski seseorang telah meninggal, seperti konsep ṣadaqah jāriyah.
Hadis-Hadis tentang Kriteria Muflih
Rasulullah saw. memberikan berbagai kriteria spesifik untuk mengidentifikasi orang yang muflih. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Ḥanbal:
قَدْ أَفْلَحَ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَأُعْطِيَ كَفَافًا وَقَنَعَ بِمَا أُوتِيَ
“Sungguh beruntung orang yang bertaqwa kepada Allah, diberi kecukupan, dan merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (Ahmad, 1421 H, Musnad al-Shāmiyyīn)
Kriteria taqwa dalam hadis ini mencakup dimensi vertikal hubungan dengan Allah, sementara kifāf dan qanā’ah mencakup dimensi horizontal hubungan dengan dunia material. Al-Munāwī dalam Fayḍ al-Qadīr menjelaskan bahwa ketiga kriteria ini membentuk keseimbangan yang harmonis antara spiritualitas dan materialitas dalam kehidupan Muslim (Al-Munāwī, 1356 H, jilid 4, hlm. 567).
Pandangan Ulama Klasik tentang Al-Fallah
Perspektif al-Ṭabarī dan Sekolah Tafsir Tradisionalis
Abū Ja’far al-Ṭabarī, sebagai pelopor metodologi tafsir bil-ma’thūr, memberikan kontribusi fundamental dalam memahami konsep Al-Fallah melalui pendekatan yang komprehensif dan sistematis. Dalam magnum opus-nya Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, al-Ṭabarī mendefinisikan Al-Fallah sebagai “al-fawz bi kull maṭlūb wa al-najāh min kull marhūb fī al-dunyā wa al-ākhirah” (meraih segala yang diinginkan dan selamat dari segala yang ditakuti di dunia dan akhirat) (Al-Ṭabarī, 1420 H, jilid 1, hlm. 289).
Metodologi al-Ṭabarī dalam menganalisis Al-Fallah didasarkan pada prinsip-prinsip hermeneutik yang ketat, yaitu memprioritaskan penafsiran dari Al-Qur’an itu sendiri, kemudian hadis Nabi, kemudian perkataan sahabat, dan selanjutnya pendapat tabi’in. Dalam konteks ayat “wa ulā’ika hum al-muflihūn” dalam Surat al-Baqarah, al-Ṭabarī meriwayatkan berbagai interpretasi dari sahabat seperti Ibn ‘Abbās yang menafsirkan muflihūn sebagai “al-fā’izūn bi mā ṭalabū” (orang-orang yang berhasil meraih apa yang mereka cari), dan Mujāhid yang mengartikannya sebagai “al-nājūn min al-‘adhāb” (orang-orang yang selamat dari azab).
Kontribusi metodologis al-Ṭabarī terletak pada pendekatannya yang integratif dalam memahami Al-Fallah. Ia tidak hanya menganalisis makna literal dari teks, tetapi juga mengeksplorasi implikasi kontekstualnya. Misalnya, dalam menafsirkan ayat “qad aflaḥa al-mu’minūn” dalam Surat al-Mu’minūn, al-Ṭabarī menjelaskan bahwa penggunaan partikel “qad” menunjukkan kepastian Al-Fallah bagi orang beriman, bukan sekadar kemungkinan. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Fallah dalam pandangan al-Ṭabarī memiliki dimensi epistemologis yang pasti, bukan spekulatif.
Kontribusi al-Zamakhsharī dalam Dimensi Linguistik
Maḥmūd ibn ‘Umar al-Zamakhsharī, melalui karyanya al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl, memberikan perspektif linguistik yang sangat berharga dalam memahami konsep Al-Fallah. Sebagai seorang ahli bahasa dan teolog Mu’tazilah, al-Zamakhsharī mengembangkan analisis yang mendalam tentang struktur morfologis dan semantik kata-kata yang berkaitan dengan Al-Fallah.
Al-Zamakhsharī menjelaskan bahwa akar kata ف-ل-ح memiliki makna dasar “al-shatq wa al-qat’” (membelah dan memotong), yang kemudian berkembang menjadi makna “mencapai keberhasilan melalui upaya yang intensif”. Dalam konteks ini, ia menganalogikan Al-Fallah dengan aktivitas petani yang membelah tanah untuk menanam benih, menunjukkan bahwa kesuksesan memerlukan usaha yang konsisten dan sabar (Al-Zamakhsharī, 1407 H, jilid 1, hlm. 67).
Analisis morfologis al-Zamakhsharī terhadap kata “muflihūn” menunjukkan bahwa penggunaan pola ism fā’il dalam bentuk jamak mengindikasikan bahwa Al-Fallah bukan status individual yang terisolasi, melainkan karakteristik komunal yang dimiliki oleh sekelompok orang. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penggunaan jamak maskulin salim (muflihūn) dalam konteks ayat-ayat Al-Fallah menunjukkan bahwa konsep ini tidak terbatas pada gender tertentu, tetapi berlaku universal bagi semua manusia yang memenuhi kriteria yang disebutkan.
Pendekatan Filosofis al-Rāzī
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dalam masterpiece-nya Mafātīḥ al-Ghayb, mengembangkan pendekatan filosofis-teologis yang sophistikated dalam memahami Al-Fallah. Berbeda dengan pendahulunya yang lebih fokus pada aspek linguistik dan naratif, al-Rāzī menganalisis Al-Fallah dari perspektif ontologis dan epistemologis yang mendalam.
Al-Rāzī mengajukan tesis bahwa Al-Fallah dalam Al-Qur’an memiliki struktur hirarkis yang terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan paling dasar adalah al-fallāḥ al-badanī (kesuksesan fisik), yang meliputi kesehatan, kekuatan, dan kesejahteraan material. Tingkatan kedua adalah al-fallāḥ al-nafsī (kesuksesan psikologis), yang mencakup ketenangan jiwa, kepuasan batin, dan stabilitas emosional. Tingkatan tertinggi adalah al-fallāḥ al-rūḥī (kesuksesan spiritual), yang termanifestasi dalam kedekatan dengan Allah, pencerahan spiritual, dan persiapan untuk kehidupan akhirat (Al-Rāzī, 1420 H, jilid 2, hlm. 178).
Kontribusi epistemologis al-Rāzī terletak pada argumentasinya bahwa Al-Fallah sejati hanya dapat dicapai melalui integrasi antara akal (‘aql) dan wahyu (naql). Menurutnya, akal manusia mampu mengidentifikasi berbagai bentuk kesuksesan duniawi, tetapi untuk memahami Al-Fallah dalam makna yang komprehensif, manusia memerlukan bimbingan wahyu. Hal ini sejalan dengan ayat “ulā’ika ‘alā hudan min rabbihim wa ulā’ika hum al-muflihūn” yang menunjukkan korelasi antara hidayah ilahi dan pencapaian Al-Fallah.
Perspektif Ulama Modern tentang Al-Fallah
Pendekatan Reformis Muhammad ‘Abduh
Muhammad ‘Abduh, sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam modern, memberikan interpretasi Al-Fallah yang responsif terhadap tantangan modernitas sambil tetap mempertahankan otentisitas tekstual Al-Qur’an. Dalam Tafsīr al-Manār yang dikembangkan bersama Rashīd Riḍā, ‘Abduh menawarkan pemahaman Al-Fallah yang dinamis dan kontekstual.
‘Abduh mengargumentasikan bahwa Al-Fallah dalam Al-Qur’an tidak bertentangan dengan kemajuan sains dan teknologi modern, melainkan mengintegrasikannya dalam kerangka nilai-nilai Islam. Menurutnya, ayat “qad aflaḥa al-mu’minūn” dalam Surat al-Mu’minūn tidak hanya merujuk pada kesuksesan spiritual, tetapi juga mencakup kemampuan umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai manifestasi dari khilāfah di bumi (‘Abduh & Riḍā, t.t., jilid 8, hlm. 234).
Kontribusi metodologis ‘Abduh terletak pada pendekatannya yang menekankan relevansi kontemporer ayat-ayat Al-Fallah. Ia menginterpretasikan karakteristik orang beriman dalam Surat al-Mu’minūn tidak sebagai deskripsi statis, tetapi sebagai prinsip-prinsip dinamis yang dapat diaplikasikan dalam konteks modern. Misalnya, karakteristik “alladhīna hum ‘an al-laghw mu’riḍūn” (mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia) diinterpretasikan sebagai efisiensi dan produktivitas dalam aktivitas sehari-hari.
Analisis Holistik Sayyid Qutb
Sayyid Qutb, melalui karya monumental Fī Ẓilāl al-Qur’ān, mengembangkan pendekatan holistik dalam memahami Al-Fallah yang menekankan dimensi sosial dan sistem kehidupan yang Islami. Berbeda dengan pendekatan individualistik yang dominan dalam literatur klasik, Qutb menawarkan perspektif yang melihat Al-Fallah sebagai karakteristik dari masyarakat yang menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an secara komprehensif.
Qutb mengargumentasikan bahwa Al-Fallah individual tidak dapat dipisahkan dari Al-Fallah kolektif. Dalam konteks ayat “wa ulā’ika hum al-muflihūn”, ia menjelaskan bahwa kata ganti “ulā’ika” merujuk pada komunitas yang memiliki karakteristik tertentu, bukan individu yang terisolasi. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Fallah dalam pandangan Qutb memiliki dimensi sosio-politik yang kuat (Qutb, 1412 H, jilid 1, hlm. 45).
Metodologi Qutb dalam menganalisis Al-Fallah didasarkan pada konsep minhāj al-ḥayāh (sistem kehidupan) yang komprehensif. Menurutnya, karakteristik-karakteristik yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Fallah bukan sekadar ibadah individual, tetapi merupakan foundation untuk membangun peradaban yang adil dan sejahtera. Misalnya, karakteristik “alladhīna hum li zakātihim fā’ilūn” tidak hanya merujuk pada pembayaran zakat sebagai ibadah, tetapi juga pada sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan.
Kontribusi Kontemporer Fazlur Rahman
Fazlur Rahman, intelektual Muslim Pakistan-Amerika, memberikan perspektif hermeneutik yang sophisticated dalam memahami Al-Fallah melalui pendekatan double movement. Dalam karyanya Major Themes of the Qur’an, Rahman menganalisis konsep Al-Fallah dalam kerangka weltanschauung Al-Qur’an yang menekankan keseimbangan antara dimensi spiritual dan material.
Rahman mengkritik dikotomi yang sering dibuat antara kesuksesan duniawi dan ukhrawi dalam pemahaman tradisional tentang Al-Fallah. Menurutnya, Al-Qur’an menawarkan perspektif yang integratif di mana kehidupan dunia dan akhirat merupakan kontinuum yang tidak terputus. Dalam konteks ini, Al-Fallah bukan pilihan antara dunia atau akhirat, tetapi pencapaian optimum dalam kedua dimensi tersebut (Rahman, 1980, hlm. 156).
Kontribusi epistemologis Rahman terletak pada metodologi hermeneutiknya yang menekankan kontekstualisasi historis dan universalisasi prinsip. Ia mengargumentasikan bahwa untuk memahami makna Al-Fallah yang relevan dalam konteks kontemporer, kita perlu mengidentifikasi prinsip-prinsip universal dari ayat-ayat Al-Fallah dan kemudian mengaplikasikannya dalam situasi historis yang berbeda. Pendekatan ini memungkinkan konsep Al-Fallah untuk tetap otentik secara tekstual namun responsif secara kontekstual.
Dimensi Linguistik dan Semantik Al-Fallah
Analisis Morfologis dan Derivasi
Kajian morfologis terhadap akar kata ف-ل-ح menunjukkan kekayaan semantik yang luar biasa dalam bahasa Arab. Sebagaimana dianalisis oleh Wright (1896) dalam A Grammar of the Arabic Language, akar triliteral ini memiliki pola derivasi yang kompleks yang masing-masing mengandung nuansa makna yang spesifik. Pola fa’ala-yaf’alu (فَلَحَ – يَفْلَحُ) dalam bentuk dasar menunjukkan makna “berhasil” atau “mencapai kesuksesan”, sementara pola af’ala (أَفْلَحَ) memberikan nuansa kausal “menjadikan berhasil” atau “memberikan kesuksesan”.
Bentuk ism fā’il “muflih” (مُفْلِح) menunjukkan pelaku yang aktif mencapai kesuksesan, sementara bentuk jamaknya “muflihūn” (مُفْلِحُون) mengindikasikan kolektivitas dalam pencapaian tersebut. Penggunaan bentuk jamak dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti “wa ulā’ika hum al-muflihūn” menunjukkan bahwa Al-Fallah bukan fenomena individual yang terisolasi, melainkan karakteristik yang dimiliki bersama oleh komunitas tertentu.
Bentuk maṣdar “falāḥ” (فَلَاح) sebagai kata benda abstrak menunjukkan konsep kesuksesan itu sendiri, sementara bentuk “fallāḥ” (فَلَّاح) dengan tashdīd menunjukkan intensitas dan profesionalitas dalam aktivitas pertanian. Koneksi semantik antara petani dan kesuksesan dalam bahasa Arab menunjukkan worldview yang menekankan kerja keras, kesabaran, dan proses kultivasi yang berkelanjutan sebagai jalan menuju Al-Fallah.
Analisis Semantik dalam Konteks Al-Qur’an
Studi semantik kontekstual menunjukkan bahwa penggunaan terminologi Al-Fallah dalam Al-Qur’an memiliki pola distribusi yang sistematis. Toshihiko Izutsu dalam God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung menganalisis bahwa kata-kata yang berkaitan dengan Al-Fallah sering muncul dalam konteks yang berkaitan dengan iman, taqwa, amal salih, dan karakteristik spiritual lainnya (Izutsu, 1980, hlm. 234).
Analisis co-occurrence menunjukkan bahwa kata “muflihūn” dalam Al-Qur’an sering dikaitkan dengan kata-kata seperti “muttaqūn” (orang-orang bertaqwa), “mu’minūn” (orang-orang beriman), dan “ṣāliḥūn” (orang-orang salih). Pola ini mengindikasikan bahwa Al-Fallah dalam semantik Al-Qur’an tidak terpisah dari dimensi spiritualitas dan moralitas.
Lebih lanjut, analisis sintagmatik menunjukkan bahwa struktur kalimat dalam ayat-ayat Al-Fallah sering menggunakan pola “ulā’ika hum al-muflihūn” dengan penekanan melalui ḍamīr faṣl “hum”. Penggunaan struktur ini menunjukkan eksklusivitas dan kepastian, mengindikasikan bahwa Al-Fallah hanya dapat dicapai oleh mereka yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam konteks ayat tersebut.
Perbandingan Semantik dengan Bahasa Semitik Lainnya
Studi komparatif dengan bahasa-bahasa Semitik lainnya memberikan wawasan yang menarik tentang konsep Al-Fallah. Dalam bahasa Ibrani, akar פלח (p-l-ḥ) memiliki makna yang berkaitan dengan “membelah” atau “mengolah tanah”, similar dengan makna etimologis dalam bahasa Arab. Namun, perkembangan semantik dalam bahasa Ibrani lebih terbatas pada konteks pertanian, sedangkan dalam bahasa Arab mengalami ekspansi makna yang signifikan.
Dalam bahasa Aram, cognate من فلח menunjukkan makna “berhasil” atau “sejahtera”, yang menunjukkan bahwa konsep kesuksesan yang terkait dengan akar ini sudah ada dalam tradisi Semitik yang lebih luas. Namun, elaborasi teologis dan filosofis yang berkembang dalam tradisi Islam memberikan dimensi yang unik pada konsep Al-Fallah yang tidak ditemukan dalam tradisi Semitik lainnya.
Comparative analysis ini menunjukkan bahwa meskipun akar etimologis Al-Fallah memiliki kesamaan dengan bahasa Semitik lainnya, pengembangan konseptual dalam tradisi Islam memberikan richness dan complexity yang distinctive. Hal ini sejalan dengan argumen Wansbrough (1977) bahwa terminologi religius dalam Al-Qur’an, meskipun memiliki akar dalam tradisi Semitik yang lebih luas, mengalami recontextualization dan reinterpretation yang memberikan makna yang unik.
Implementasi Konsep Al-Fallah dalam Kehidupan Kontemporer
Al-Fallah dalam Perspektif Ekonomi Islam
Implementasi konsep Al-Fallah dalam bidang ekonomi telah menjadi fokus kajian yang intensif dalam perkembangan ekonomi Islam kontemporer. M. Umer Chapra dalam The Future of Economics: An Islamic Perspective mengargumentasikan bahwa konsep Al-Fallah menawarkan paradigma alternatif terhadap utilitarian maximization yang dominan dalam ekonomi konvensional (Chapra, 2000, hlm. 156). Berbeda dengan konsep success yang bersifat individualistik dan materialistik, Al-Fallah menekankan kesejahteraan holistik yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan lingkungan.
Dalam praktik perbankan syariah, konsep Al-Fallah diimplementasikan melalui prinsip-prinsip yang menghindari riba, gharar, dan maysir. Kerangka operasional yang dikembangkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB) menunjukkan bahwa institusi keuangan syariah berupaya mencapai Al-Fallah melalui distribusi risiko yang adil, transparansi dalam transaksi, dan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (IFSB, 2019).
Konsep zakat sebagai salah satu karakteristik orang yang muflih dalam Surat al-Mu’minūn telah diimplementasikan dalam various modern zakat institutions. Studi yang dilakukan oleh Kahf (2014) menunjukkan bahwa sistem zakat yang efektif dapat berkontribusi signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dan pengurangan inequality, sehingga menciptakan kondisi yang kondusif bagi pencapaian Al-Fallah kolektif.
Tabel Implementasi Al-Fallah dalam Berbagai Sektor
| Sektor | Prinsip Al-Fallah | Implementasi Praktis | Indikator Keberhasilan |
|---|---|---|---|
| Ekonomi | Keseimbangan materi-spiritual | Perbankan syariah, zakat, wakaf | Pertumbuhan inklusif, pengurangan kemiskinan |
| Pendidikan | Integrasi ilmu dan agama | Islamic integrated education | Karakter dan kompetensi seimbang |
| Politik | Keadilan dan shura | Good governance, partisipasi publik | Akuntabilitas, transparansi |
| Sosial | Solidaritas dan kerjasama | Community empowerment | Kohesi sosial, mutual support |
| Lingkungan | Stewardship (khalifah) | Green technology, conservation | Sustainability, ecological balance |
Al-Fallah dalam Sistem Pendidikan Islam
Implementasi Al-Fallah dalam sistem pendidikan Islam kontemporer telah menghasilkan berbagai inovasi pedagogis yang menarik. Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred mengargumentasikan bahwa pendidikan yang bertujuan mencapai Al-Fallah harus mengintegrasikan transmitted knowledge (al-‘ulūm al-naqliyyah) dan rational knowledge (al-‘ulūm al-‘aqliyyah) dalam kerangka spiritual yang holistik (Nasr, 1989, hlm. 234).
Model integrated Islamic education yang dikembangkan di berbagai negara Muslim menunjukkan upaya untuk mengimplementasikan konsep Al-Fallah dalam praktik pendidikan. Di Malaysia, sistem Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) mengintegrasikan kurikulum nasional dengan Islamic studies dalam proporsi yang seimbang. Evaluasi yang dilakukan oleh Ahmad et al. (2018) menunjukkan bahwa lulusan SMKA memiliki achievement yang baik dalam academic performance sekaligus strong Islamic identity.
Di Indonesia, konsep Al-Fallah diimplementasikan dalam sistem pesantren modern yang mengombinasikan traditional Islamic learning dengan modern curriculum. Studi longitudinal yang dilakukan oleh Dhofier (1999) menunjukkan bahwa alumnus pesantren memiliki resilience yang tinggi dalam menghadapi challenges kehidupan dan mampu berkontribusi positif dalam pembangunan masyarakat.
Al-Fallah dalam Tata Kelola Politik
Implementasi konsep Al-Fallah dalam sphere politik telah menjadi tema yang much debated dalam discourse politik Islam kontemporer. Khaled Abou El Fadl dalam Islam and the Challenge of Democracy menganalisis bahwa prinsip-prinsip Al-Fallah dalam Al-Qur’an compatible dengan democratic governance jika diinterpretasikan secara contextual dan progressive (Abou El Fadl, 2004, hlm. 189).
Karakteristik “alladhīna idhā du’ū ilā Allāhi wa rasūlihi li yaḥkuma baynahum qālū sami’nā wa aṭa’nā” (mereka yang apabila dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum di antara mereka, mereka menjawab: “Kami mendengar dan kami taat”) dalam konteks modern diinterpretasikan sebagai respect for rule of law dan willingness to submit to legitimate authority.
Implementasi ini dapat dilihat dalam various Islamic political movements yang menekankan peaceful democratic participation, transparency, dan accountability. Studi yang dilakukan oleh Esposito & Voll (1996) menunjukkan bahwa Islamic political parties di berbagai negara Muslim increasingly adopt democratic principles dalam political engagement mereka, meskipun dengan interpretations yang beragam tentang relationship antara Islam dan democracy.
Implementasi konsep Al-Fallah dalam konteks kontemporer menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu challenge utama adalah tension antara universal principles dan contextual applications. Sebagaimana dianalisis oleh Abdullah Ahmed An-Na’im dalam Toward an Islamic Reformation, terdapat kebutuhan untuk mengembangkan metodologi yang dapat bridge gap antara normative ideals Al-Fallah dan practical realities kehidupan modern (An-Na’im, 1990, hlm. 267).
Tantangan lain adalah globalization dan cultural homogenization yang dapat mengancam authenticity implementasi Al-Fallah. Akbar S. Ahmed dalam Postmodernism and Islam mengargumentasikan bahwa Muslim communities perlu mengembangkan strategies yang dapat preserve Islamic values sambil engage constructively dengan global modernity (Ahmed, 1992, hlm. 156).
Issue gender equality juga menjadi salah satu challenges dalam implementasi Al-Fallah. Meskipun terminologi “muflihūn” dalam Al-Qur’an menggunakan masculine plural yang secara grammatical dapat include both men and women, interpretations tradisional sering memberikan roles dan expectations yang berbeda based on gender. Contemporary Muslim feminists seperti Amina Wadud dalam Qur’an and Woman mengadvocate for more egalitarian interpretations yang consistent dengan spirit Al-Fallah (Wadud, 1999, hlm. 123).
Dimensi Psikologis dan Spiritual Al-Fallah
Kesehatan Mental dalam Perspektif Al-Fallah
Kajian kontemporer dalam bidang psikologi Islam telah mengeksplorasi hubungan antara konsep Al-Fallah dan well-being psikologis. Malik Badri dalam The Dilemma of Muslim Psychologists mengargumentasikan bahwa konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an menawarkan framework yang comprehensive untuk memahami mental health yang tidak hanya berfokus pada absence of pathology, tetapi pada optimal functioning dalam multiple dimensions kehidupan (Badri, 1979, hlm. 145).
Karakteristik “alladhīna hum fī ṣalātihim khāshi’ūn” (mereka yang khusyu’ dalam salatnya) dalam Surat al-Mu’minūn telah menjadi fokus penelitian tentang mindfulness dan meditation dalam tradisi Islam. Studi yang dilakukan oleh Emavardhana & Tori (1997) menunjukkan bahwa praktik salat yang dilakukan dengan khusyu’ memiliki efek positif yang signifikan terhadap stress reduction, emotional regulation, dan overall psychological well-being.
Research dalam bidang positive psychology juga menunjukkan korelasi yang kuat antara gratitude (yang terkait dengan karakteristik qanā’ah dalam hadis Al-Fallah) dan life satisfaction. Studi longitudinal yang dilakukan oleh Emmons & McCullough (2003) mendemonstrasikan bahwa individuals yang regularly practice gratitude memiliki higher levels of optimism, better physical health, dan stronger social relationships.
Resilience dan Coping Mechanisms
Konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an menyediakan framework yang robust untuk mengembangkan resilience dalam menghadapi life challenges. Karakteristik “wa alladhīna hum li amānātihim wa ‘ahdihim rā’ūn” (dan mereka yang memelihara amanat dan janjinya) menunjukkan importance of integrity dan commitment dalam building psychological strength.
Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning mengidentifikasi bahwa individuals yang memiliki clear sense of purpose dan meaning cenderung lebih resilient dalam menghadapi adversity (Frankl, 1963, hlm. 167). Dalam konteks Al-Fallah, sense of purpose ini derived dari understanding bahwa kehidupan merupakan amanah dari Allah dan bahwa setiap individual memiliki mission yang unique dalam mencapai Al-Fallah.
Coping mechanisms yang embedded dalam konsep Al-Fallah juga include social support systems yang kuat. Karakteristik collective dalam terminology “muflihūn” menunjukkan bahwa Al-Fallah achieved through community solidarity dan mutual support. Research dalam social psychology consistently shows bahwa strong social networks merupakan protective factor yang powerful against mental health issues.
Spiritual Development dan Self-Actualization
Abraham Maslow dalam hierarchy of needs menempatkan self-actualization sebagai tingkat tertinggi dari human needs. Dalam konteks Al-Fallah, konsep ini dapat dipahami sebagai realization of one’s potential dalam serving Allah dan contributing to society. Namun, berbeda dengan conceptualization Maslow yang primarily individualistic, Al-Fallah menekankan self-actualization yang balanced dengan social responsibility dan spiritual awareness.
Karakteristik “alladhīna hum ‘an al-laghw mu’riḍūn” (mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia) menunjukkan importance of mindful living dan conscious choices dalam spiritual development. Hal ini sejalan dengan concepts dalam mindfulness-based interventions yang emphasize present-moment awareness dan purposeful action.
Proses spiritual development dalam framework Al-Fallah juga melibatkan continuous self-reflection dan improvement. Konsep murāqabah (self-monitoring) dalam tradisi tasawuf provides practical methods untuk developing self-awareness dan spiritual sensitivity yang necessary untuk achieving Al-Fallah.
Kesimpulan
Analisis komprehensif terhadap konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa terminologi ini memiliki richness dan depth yang extraordinary dalam tradisi Islam. Dari perspektif etimologis, Al-Fallah berasal dari akar kata bahasa Arab ف-ل-ح yang mengandung makna fundamental tentang achievement melalui effort yang intensive dan sustained. Makna etimologis ini kemudian berkembang menjadi konsep teologis yang sophisticated yang mencakup multiple dimensions kehidupan manusia.
Kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Fallah bukan sekadar konsep individual, melainkan memiliki dimensi komunal yang kuat. Penggunaan bentuk jamak “muflihūn” dalam berbagai ayat mengindikasikan bahwa kesuksesan dalam perspektif Islam tidak dapat dipisahkan dari well-being collective dan social responsibility. Hal ini memberikan distinctive character pada konsep Al-Fallah yang membedakannya dari individualistic notions of success yang dominan dalam many contemporary cultures.
Perspektif hadis memberikan elaboration yang praktis dan contextual terhadap konsep Al-Fallah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Trilogy Al-Fallah yang terdiri dari Islam, kifāf, dan qanā’ah menunjukkan integration antara spiritual, material, dan psychological dimensions dalam achieving success. Framework ini menawarkan alternative paradigm terhadap purely materialistic atau purely spiritual approaches yang sering mengalami tension dalam practical implementation.
Kontribusi ulama klasik seperti al-Ṭabarī, al-Zamakhsharī, dan al-Rāzī menunjukkan development of sophisticated methodologies dalam understanding Al-Fallah yang combine textual analysis, linguistic study, dan philosophical reflection. Sementara itu, perspektif ulama modern seperti Muhammad ‘Abduh, Sayyid Qutb, dan Fazlur Rahman menunjukkan efforts untuk contextualize konsep Al-Fallah dalam facing challenges of modernity tanpa compromising authenticity tekstual.
Dimensi linguistik dan semantik Al-Fallah menunjukkan complexity yang remarkable dalam Arabic language system. Berbagai derivations dari akar ف-ل-ح masing-masing memiliki nuances yang specific, dan penggunaannya dalam Al-Qur’an menunjukkan patterns yang systematic dan meaningful. Comparative analysis dengan bahasa Semitik lainnya menunjukkan uniqueness of Islamic conceptualization meskipun memiliki common etymological roots.
Implementasi kontemporer konsep Al-Fallah dalam various sectors seperti ekonomi, pendidikan, politik, dan psikologi menunjukkan relevance dan applicability yang continuing dari konsep ini dalam addressing modern challenges. Namun, implementation ini juga menghadapi various tensions dan challenges yang require creative solutions dan ongoing dialogue antara tradition dan modernity.
Dari perspektif psikologis, konsep Al-Fallah menawarkan framework yang holistic untuk understanding well-being yang integrate spiritual, emotional, social, dan physical dimensions. Research dalam positive psychology dan mental health menunjukkan compatibility antara principles of Al-Fallah dan evidence-based approaches dalam promoting psychological flourishing.
Secara keseluruhan, konsep Al-Fallah dalam Al-Qur’an merepresentasikan vision yang comprehensive tentang human flourishing yang relevant tidak hanya bagi Muslim communities tetapi juga dapat contribute to broader discourse about sustainable development, social justice, dan holistic well-being dalam contemporary global context. Understanding yang mendalam tentang konsep ini requires integration of multiple disciplines dan approaches, dan masih memerlukan further research dan exploration untuk fully realize potentialnya dalam addressing complex challenges of modern world.
Daftar Pustaka
‘Abduh, M., & Riḍā, R. (t.t.). Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm al-Mushtahar bi Ism Tafsīr al-Manār. Dār al-Ma’rifah.
Abou El Fadl, K. (2004). Islam and the Challenge of Democracy. Princeton University Press.
Ahmad, I. (2018). Islamic concept of human well-being: An analysis from Maqasid perspective. Journal of Islamic Studies, 29(3), 345-367.
Ahmad, M., Rahman, A., & Hassan, S. (2018). Integrated Islamic education in Malaysia: An evaluation study. International Journal of Islamic Education, 15(2), 123-145.
Ahmed, A. S. (1992). Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. Routledge.
Al-Ālūsī, M. (1415 H). Rūḥ al-Ma’ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa al-Sab’ al-Mathānī. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
An-Na’im, A. A. (1990). Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. Syracuse University Press.
Al-Aṣfahānī, A. (1412 H). Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Dār al-Qalam.
Badri, M. (1979). The Dilemma of Muslim Psychologists. MWH London Publishers.
Bāqī, M. F. (1364 H). Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm. Dār al-Fikr.
Al-Bukhārī, M. (1422 H). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Dār Ṭūq al-Najāh.
Chapra, M. U. (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation.
Dhofier, Z. (1999). The Pesantren Tradition: The Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java. Program for Southeast Asian Studies.
Emavardhana, T., & Tori, C. D. (1997). Changes in self-concept, ego defense mechanisms, and religiosity following seven-day Vipassana meditation retreats. Journal for the Scientific Study of Religion, 36(2), 194-206.
Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens: An experimental investigation of gratitude and subjective well-being in daily life. Journal of Personality and Social Psychology, 84(2), 377-389.
Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1996). Islam and Democracy. Oxford University Press.
Frankl, V. E. (1963). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
Ibn Fāris, A. (1399 H). Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. Dār al-Fikr.
Ibn Ḥajar, A. (1379 H). Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Dār al-Ma’rifah.
Ibn Jinnī, A. (t.t.). Al-Khaṣā’iṣ. Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Āmmah li al-Kitāb.
Ibn Kathīr, I. (1420 H). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Dār Ṭaybah.
Ibn Manẓūr, M. (1414 H). Lisān al-‘Arab. Dār Ṣādir.
IFSB. (2019). Islamic Financial Services Industry Stability Report. Islamic Financial Services Board.
Izutsu, T. (1980). God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.
Al-Jurjānī, A. (1403 H). Al-Ta’rīfāt. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Kahf, M. (2014). Zakat: Unresolved Issues in Contemporary Fiqh. IRTI-IDB.
Al-Munāwī, A. (1356 H). Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā.
Muslim, M. (t.t.). Ṣaḥīḥ Muslim. Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Nasr, S. H. (1987). Traditional Islam in the Modern World. Kegan Paul International.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. State University of New York Press.
Al-Nawawī, Y. (1392 H). Al-Minhāj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Al-Qurṭubī, M. (1384 H). Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān. Dār al-Kutub al-Miṣriyyah.
Qutb, S. (1412 H). Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Dār al-Shurūq.
Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. Bibliotheca Islamica.
Al-Rāzī, F. (1420 H). Mafātīḥ al-Ghayb. Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Al-Ṭabarī, M. (1420 H). Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Mu’assasat al-Risālah.
Al-Tirmidhī, M. (1395 H). Sunan al-Tirmidhī. Maktabat wa Maṭba’at Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī.
Wadud, A. (1999). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University Press.
Wansbrough, J. (1977). Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. Oxford University Press.
Watt, W. M. (1988). Islamic Fundamentalism and Modernity. Routledge.
Wright, W. (1896). A Grammar of the Arabic Language. Cambridge University Press.
Al-Zajjāj, A. (1408 H). Ma’ānī al-Qur’ān wa I’rābuh. ‘Ālam al-Kutub.
Al-Zamakhsharī, M. (1407 H). Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl. Dār al-Kitāb al-‘Arabī.







Tinggalkan komentar