Oleh

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pendahuluan

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira pada malam 17 Ramadhan merupakan peristiwa monumental yang menandai awal misi kenabian dan transformasi peradaban. Lima ayat pertama dari surat Al-‘Alaq yang dimulai dengan kata “Iqra’” (bacalah) menjadi fondasi epistemologis bagi paradigma keilmuan Islam yang telah membentuk tradisi intelektual Muslim selama lebih dari empat belas abad. Ayat-ayat ini berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5)

Fakta bahwa wahyu pertama yang diturunkan bukan berkaitan dengan ritual ibadah, melainkan tentang perintah membaca, menunjukkan posisi fundamental ilmu pengetahuan dalam ajaran Islam. Perintah “Iqra’” ini tidak hanya sekadar instruksi mekanis untuk membaca dalam pengertian literal, tetapi merupakan mandat komprehensif untuk mengkaji, menelaah, memahami, dan merefleksikan semua bentuk pengetahuan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dalam konteks tauhid dan pengabdian kepada Sang Pencipta.

Signifikansi wahyu pertama ini semakin relevan dalam konteks era modern yang ditandai dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi. Di satu sisi, kemajuan sains dan teknologi telah membuka horizons pengetahuan baru dan menciptakan peluang-peluang transformatif bagi umat manusia. Di sisi lain, kemajuan ini juga menimbulkan tantangan-tantangan kompleks, seperti krisis lingkungan, dilema etika bioteknologi, kesenjangan digital, dan alienasi spiritual. Dalam konteks inilah, umat Islam perlu mengkaji kembali makna dan implikasi perintah “Iqra’” untuk merevitalisasi tradisi keilmuan Islam dan memberikan kontribusi konstruktif bagi peradaban global.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis makna surat Al-‘Alaq ayat 1-5 dari berbagai perspektif, mulai dari tafsir klasik hingga interpretasi kontemporer, dan mengeksplorasi relevansinya dalam konteks tantangan keilmuan di era modern. Kajian ini didasarkan pada premis bahwa wahyu pertama tersebut tidak hanya memiliki signifikansi historis, tetapi juga menyediakan kerangka konseptual untuk pengembangan paradigma keilmuan Islam yang integratif, holistik, dan berorientasi pada kemaslahatan (maslaḥah). Melalui pemahaman yang mendalam tentang ayat-ayat ini, diharapkan umat Islam dapat merevitalisasi semangat pencarian ilmu sebagaimana yang telah menginspirasi kebangkitan peradaban Islam pada masa kejayaannya.

Analisis Tekstual dan Kontekstual Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5

Dimensi Linguistik dan Semantik Kata “Iqra’”

Kata “Iqra’” (اقْرَأْ) merupakan bentuk perintah (fi’il amr) dari akar kata qara’a (قَرَأَ) yang memiliki makna dasar “membaca” atau “menghimpun”. Dalam konteks linguistik Arab, kata qara’a memiliki spektrum makna yang lebih luas daripada sekadar aktivitas membaca teks tertulis. Raghib al-Isfahani (d. 1108 M) dalam kitab monumentalnya “Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān” menjelaskan bahwa qara’a bermakna menghimpun huruf-huruf dan kata-kata dalam pelafalan yang teratur (Al-Isfahani, 2009). Lebih jauh, ia menyatakan bahwa makna ini kemudian berkembang menjadi aktivitas memahami dan merefleksikan makna dari apa yang dibaca.

Aspek menarik dari kata “Iqra’” dalam konteks turunnya wahyu adalah ketiadaan objek (maf’ul bih) yang mengikutinya. Ketika Malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk membaca, tidak disebutkan secara spesifik apa yang harus dibaca. Para ulama tafsir seperti Fakhr al-Din al-Razi (d. 1209 M) dalam “Mafātīḥ al-Ghayb” menyimpulkan bahwa ketiadaan objek ini menunjukkan universalitas perintah membaca, yang mencakup semua bentuk bacaan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, baik ayat-ayat qauliyyah (wahyu tertulis) maupun ayat-ayat kauniyyah (fenomena alam) (Al-Razi, 1999).

Muhammad Asad dalam “The Message of the Qur’an” menginterpretasikan kata “Iqra’” sebagai perintah untuk membaca, mempelajari, dan menyampaikan, yang merepresentasikan konsep fundamental dalam Islam tentang manusia sebagai penerima dan penyampai wahyu ilahi dan pengetahuan melalui intelektualitas (Asad, 1980). Interpretasi ini menegaskan bahwa “Iqra’” bukan hanya tentang menerima pengetahuan secara pasif, tetapi juga mendorong transmisi dan diseminasi ilmu secara aktif.

Dalam konteks ini, menarik untuk mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW, sebagai penerima wahyu pertama ini, dikenal sebagai seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Paradoks ini memperkaya makna “Iqra’” sebagai konsep yang melampaui literasi konvensional, mencakup bentuk-bentuk “membaca” yang lebih komprehensif, seperti observasi, kontemplasi, eksperimentasi, dan intuisi spiritual.

Analisis Frasa “Bismi Rabbika-lladhī Khalaq”

Frasa “bismi rabbika-lladhī khalaq” (بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ) yang mengikuti perintah “Iqra’” memberikan konteks teologis bagi aktivitas membaca. Kata “bi-ism” (dengan nama) mengindikasikan bahwa aktivitas membaca harus dimulai dan dilakukan atas nama Allah, yang menjadi sumber dan tujuan dari semua pengetahuan. Ini menegaskan prinsip tauhid sebagai dasar epistemologi Islam, di mana pengetahuan tidak dipandang sebagai entitas yang terpisah dari spiritualitas, melainkan sebagai manifestasi dari ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta.

Identifikasi Allah sebagai “Rabbika-lladhī khalaq” (Tuhanmu yang menciptakan) menghubungkan aktivitas membaca dengan konsep rubūbiyyah (kemahapemeliharaan Allah) dan penciptaan. Menurut Muhammad ibn Jarir al-Tabari (d. 923 M) dalam “Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān”, penyebutan sifat Allah sebagai Pencipta dalam konteks perintah membaca mengindikasikan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah untuk memahami hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya (Al-Tabari, 2000).

Syed Muhammad Naquib al-Attas, filsuf pendidikan Muslim kontemporer, dalam karyanya “The Concept of Education in Islam” (1980), mengelaborasi signifikansi frasa ini dalam konteks epistemologi Islam. Menurut al-Attas, frase “bismi rabbika-lladhī khalaq” menetapkan bahwa semua ilmu pengetahuan harus dikejar dan diterapkan dalam kerangka pengenalan dan pengabdian kepada Allah (ta’abbud). Ini membedakan epistemologi Islam dari epistemologi sekular yang memisahkan pengetahuan dari dimensi spiritual dan etis.

Ismail Raji al-Faruqi (1982) dalam “Tawhid: Its Implications for Thought and Life” lebih jauh menjelaskan bahwa frasa ini menetapkan unitisasi pengetahuan (unification of knowledge) di bawah prinsip tauhid, yang menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler. Dalam paradigma tauhid, semua bentuk pengetahuan, baik yang diperoleh melalui wahyu maupun melalui rasio dan observasi empiris, pada akhirnya mengarah pada pengenalan akan Allah dan hukum-hukum-Nya di alam semesta.

Makna “Khalaqal-insāna min ‘alaq”

Ayat kedua dari surat Al-‘Alaq, “khalaqal-insāna min ‘alaq” (خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ), yang berarti “Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”, membawa perhatian pada asal-usul manusia sebagai makhluk yang diciptakan. Kata “‘alaq” (عَلَقٍ) secara etimologis merujuk pada sesuatu yang menempel atau bergantung. Dalam konteks embriologi, istilah ini telah diinterpretasikan oleh para ilmuwan Muslim modern sebagai merujuk pada tahap perkembangan embrio di mana blastocyst menempel pada dinding rahim, yang merupakan deskripsi akurat dari tahap awal perkembangan manusia (Moore et al., 1992).

Maurice Bucaille (1976) dalam “The Bible, The Qur’an and Science” mengemukakan bahwa deskripsi Al-Qur’an tentang perkembangan embrio manusia menunjukkan keselarasan dengan penemuan ilmiah modern, yang tidak mungkin diketahui pada abad ke-7 M tanpa intervensi ilahi. Interpretasi ini, meskipun popular di kalangan apologetika Islam, telah mendapat kritik dari sarjana seperti Ziauddin Sardar yang mengingatkan tentang bahaya “Bucaillisme” yang mencoba memvalidasi Al-Qur’an melalui sains modern (Sardar, 1989).

Terlepas dari perdebatan tentang interpretasi ilmiah ayat ini, signifikansi utamanya dalam konteks wahyu pertama adalah mengingatkan manusia tentang asal-usul penciptaannya yang sederhana, untuk menanamkan kerendahan hati dalam proses pencarian ilmu. Ibn Kathir (d. 1373 M) dalam “Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm” menekankan bahwa ayat ini menunjukkan kekuasaan Allah yang menciptakan manusia dari substansi yang tampak tidak signifikan, dan mengangkatnya ke status makhluk yang berakal dan berpengetahuan (Ibn Kathir, 1999).

Dalam konteks pendidikan, ayat ini memiliki implikasi penting tentang potensi transformatif ilmu pengetahuan. Sebagaimana Allah mentransformasi segumpal darah menjadi manusia yang sempurna, demikian pula ilmu memiliki kekuatan untuk mentransformasi individu dan masyarakat dari keadaan ketidaktahuan menjadi keadaan pencerahan dan kesadaran.

“Iqra’ wa rabbukal-akram”

Pengulangan perintah “Iqra’” pada ayat ketiga, yang diikuti dengan frasa “wa rabbukal-akram” (وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ), menegaskan kembali urgensi membaca sambil memperkenalkan atribut baru Allah sebagai “Yang Maha Mulia”. Kata “al-akram” berasal dari akar kata “karama” yang bermakna kemuliaan, kehormatan, dan kemurahan hati. Al-Zamakhshari (d. 1144 M) dalam “Al-Kashshāf” menafsirkan bahwa penyebutan Allah sebagai “al-akram” dalam konteks ini menunjukkan kemurahan-Nya dalam memberikan ilmu kepada manusia tanpa batas (Al-Zamakhshari, 1998).

Muhammad Abduh (d. 1905 M), salah satu pionir modernisme Islam, dalam “Tafsīr al-Manār” mengembangkan interpretasi yang lebih luas tentang hubungan antara sifat “al-akram” dan pemberian ilmu. Menurut Abduh, sifat ini tidak hanya merujuk pada kemurahan Allah dalam memberikan ilmu, tetapi juga pada kemuliaan intrinsik ilmu itu sendiri sebagai jalan menuju kemuliaan manusia (Abduh & Rida, 1947). Dengan ilmu, manusia dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai khalifah di bumi dan mendapatkan kemuliaan di atas makhluk-makhluk lain, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra’ [17]: 70.

Dalam konteks pendidikan kontemporer, ayat ini menginspirasi pengembangan model pendidikan yang berpusat pada penghargaan terhadap kemuliaan manusia (karāmah insāniyyah). Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga untuk mengembangkan potensi mulia dalam diri manusia dan membimbingnya menuju kesempurnaan akhlak, sebagaimana misi utama Nabi Muhammad SAW: “Innama bu’ithtu li-utammima makārima al-akhlāq” (Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak) (HR. Ahmad).

“Alladhī ‘allama bil-qalam, ‘allamal-insāna mā lam ya’lam”

Dua ayat terakhir, “alladhī ‘allama bil-qalam, ‘allamal-insāna mā lam ya’lam” (الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ), yang berarti “Yang mengajar (manusia) dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, menekankan peran Allah sebagai sumber utama pengetahuan dan peran instrumental pena dalam proses transmisi dan preservasi ilmu.

Penyebutan “al-qalam” (pena) dalam konteks pengajaran ilahi memiliki signifikansi mendalam dalam tradisi keilmuan Islam. Al-Qurtubi (d. 1273 M) dalam “Al-Jāmi’ li-Aḥkām al-Qur’ān” menyatakan bahwa penyebutan pena menunjukkan kemuliaan tulisan sebagai sarana preservasi dan transmisi ilmu antar generasi (Al-Qurtubi, 2006). Tanpa tulisan, pengetahuan akan tetap terbatas dan mudah hilang, sedangkan dengan tulisan, pengetahuan dapat terakumulasi dan berkembang secara eksponensial.

Frasa “‘allamal-insāna mā lam ya’lam” (mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya) menegaskan bahwa semua ilmu pada dasarnya berasal dari Allah, baik yang diperoleh melalui wahyu langsung maupun melalui penggunaan fakultas intelektual yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Fakhr al-Din al-Razi menjelaskan bahwa frasa ini mencakup semua bentuk pengetahuan yang tidak diketahui manusia sebelumnya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia, yang diajarkan Allah melalui berbagai saluran: wahyu, inspirasi, pengalaman, dan penalaran (Al-Razi, 1999).

Dalam perspektif pendidikan modern, dua ayat terakhir ini menekankan pentingnya literasi dan dokumentasi ilmiah sebagai fondasi pengembangan peradaban. Kehadiran kultur tulisan (written culture) yang kuat menjadi prasyarat bagi akumulasi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan observasi historis bahwa masa keemasan peradaban Islam ditandai dengan aktivitas penulisan, penerjemahan, dan produksi buku yang intensif di berbagai bidang keilmuan.

Konsep Ilmu dalam Tradisi Intelektual Islam

Definisi dan Hakikat Ilmu

Kata “ilmu” (‘ilm) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata ‘alima yang bermakna mengetahui, mengenal, atau memahami sesuatu dengan benar dan pasti. Secara terminologis, ilmu dalam tradisi Islam didefinisikan dengan berbagai cara oleh para ulama dan filsuf Muslim sesuai dengan perspektif dan fokus mereka. Al-Ghazali (d. 1111 M) dalam “Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn” mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan terhadap sesuatu sebagaimana adanya” (ma’rifatu al-shay’i ‘alā mā huwa ‘alayhi) (Al-Ghazali, n.d.). Definisi ini menekankan dimensi ontologis ilmu sebagai korespondensi antara pengetahuan subjektif dan realitas objektif.

Sementara itu, Ibn Hazm (d. 1064 M) dalam “Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām” mendefinisikan ilmu sebagai “persepsi tentang hakikat segala sesuatu” (idrāk ḥaqā’iq al-ashyā’), yang menekankan aspek kognitif dalam proses pengetahuan (Ibn Hazm, n.d.). Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1980), yang mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan dan pengakuan terhadap tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan, yang mengarah pada pengenalan terhadap tempat yang tepat dari Tuhan dalam tatanan wujud dan eksistensi.”

Karakteristik distingtif konsep ilmu dalam Islam terletak pada integrasi antara dimensi kognitif dan spiritual. Ilmu tidak dipandang sebagai entitas netral yang terpisah dari nilai dan moralitas, melainkan sebagai sarana untuk mengenali kebenaran (ḥaqq) yang berasal dari Allah dan mengimplementasikannya dalam kehidupan individual dan sosial. Oleh karena itu, proses pencarian ilmu (‘amal) dan implementasinya (‘amal) merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan.

Menurut Franz Rosenthal (2007) dalam “Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam”, konsep ilmu dalam Islam memiliki keluasan dan kedalaman yang tidak ditemukan dalam tradisi peradaban lain. Ia mengidentifikasi tidak kurang dari 800 definisi ilmu dalam literatur Islam klasik, yang menunjukkan sentralitas dan kompleksitas konsep ini dalam peradaban Islam. Rosenthal menyimpulkan bahwa peradaban Islam dapat dikarakterisasikan sebagai “peradaban ilmu” (civilization of knowledge), di mana ilmu tidak hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan praktis, tetapi juga menjadi tujuan intrinsik yang bernilai dalam dirinya sendiri.

Klasifikasi Ilmu dalam Tradisi Islam

Tradisi intelektual Islam telah mengembangkan berbagai skema klasifikasi ilmu untuk mengorganisasi corpus pengetahuan yang berkembang pesat. Klasifikasi ini tidak hanya berfungsi sebagai perangkat taksonomi, tetapi juga mencerminkan hierarki nilai dan prioritas epistemologis dalam pandangan dunia Islam.

Salah satu klasifikasi yang paling berpengaruh dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam “Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn”, yang membagi ilmu menjadi dua kategori utama: ilmu fardhu ‘ain (kewajiban individual) dan ilmu fardhu kifayah (kewajiban komunal). Ilmu fardhu ‘ain mencakup pengetahuan esensial tentang akidah, ibadah, dan akhlak yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Sementara itu, ilmu fardhu kifayah mencakup disiplin-disiplin yang diperlukan untuk kelangsungan dan kemajuan masyarakat, seperti kedokteran, pertanian, teknik, dan berbagai seni dan kerajinan (Al-Ghazali, n.d.).

Klasifikasi lain yang signifikan dikemukakan oleh Ibn Khaldun (d. 1406 M) dalam “Muqaddimah”. Ia membagi ilmu menjadi dua kategori: ilmu naqliyyah (ilmu yang ditransmisikan) dan ilmu ‘aqliyyah (ilmu yang diakuisisi melalui penalaran). Ilmu naqliyyah mencakup disiplin-disiplin yang bersumber dari wahyu dan tradisi, seperti ilmu Al-Qur’an, hadits, fiqh, dan teologi. Sementara itu, ilmu ‘aqliyyah mencakup disiplin-disiplin yang dikembangkan melalui penalaran manusia, seperti matematika, logika, fisika, metafisika, dan kedokteran (Ibn Khaldun, 2005).

Pada abad ke-10 M, Ikhwan al-Safa, sebuah kelompok intelektual di Basra, mengembangkan klasifikasi ilmu yang lebih elaboratif dalam “Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā”. Mereka membagi ilmu menjadi tiga kategori utama: ilmu propaedeutic (riyadhiyyah), yang mencakup aritmatika, geometri, astronomi, dan musik; ilmu religius dan konvensional (syar’iyyah wadh’iyyah), yang mencakup wahyu, interpretasi, sejarah, dan linguistik; dan ilmu filosofis (falsafiyyah haqiqiyyah), yang mencakup logika, fisika, dan metafisika (Nasr, 2006).

Tabel 1 berikut merangkum beberapa skema klasifikasi ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim klasik:

TokohKarya UtamaKategori UtamaSubdisiplin
Al-GhazaliIhya’ ‘Ulum al-Din1. Ilmu Fardhu ‘Ain (wajib individual)Tauhid, Fiqh ibadah, Akhlak
2. Ilmu Fardhu Kifayah (wajib komunal)Kedokteran, Matematika, Pertanian, Politik, Seni
Ibn KhaldunMuqaddimah1. Ilmu Naqliyyah (ilmu transmisi)Al-Qur’an, Hadits, Fiqh, Tafsir, Bahasa Arab
2. Ilmu ‘Aqliyyah (ilmu rasional)Logika, Matematika, Fisika, Metafisika, Kedokteran
Al-FarabiIhsa’ al-‘Ulum1. Ilmu BahasaTata Bahasa, Sintaksis, Puisi, Retorika
2. Ilmu LogikaSilogisme, Dialektika, Retorika
3. Ilmu MatematikaAritmatika, Geometri, Optik, Astronomi, Musik
4. Ilmu Fisika dan MetafisikaFisika, Kosmologi, Psikologi, Metafisika
5. Ilmu Politik, Hukum, dan KalamFiqh, Kalam, Etika, Politik
Ikhwan al-SafaRasa’il Ikhwan al-Safa1. Ilmu Propaedeutic (Riyadhiyyah)Aritmatika, Geometri, Astronomi, Musik
2. Ilmu Religius dan KonvensionalWahyu, Interpretasi, Sejarah, Linguistik
3. Ilmu FilosofisLogika, Fisika, Psikologi, Metafisika

Sumber: Disarikan dari Al-Ghazali (n.d.), Ibn Khaldun (2005), Al-Farabi (1996), dan Nasr (2006).

Klasifikasi-klasifikasi ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual Islam mengakui dan mengapresiasi keberagaman disiplin ilmu, baik yang bersumber dari wahyu maupun yang dikembangkan melalui penalaran manusia. Hal ini menepis anggapan bahwa Islam hanya mengakui ilmu-ilmu agama sebagai ilmu yang legitimate. Sebaliknya, Islam mendorong pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan selama berkontribusi pada kemaslahatan manusia dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental tauhid.

Etika dan Adab dalam Pencarian Ilmu

Tradisi keilmuan Islam menekankan pentingnya etika dan adab dalam proses pencarian ilmu. Berbeda dengan paradigma epistemologi modern yang cenderung memisahkan ilmu dari nilai, Islam melihat etika sebagai bagian integral dari proses keilmuan itu sendiri. Dimensi etis ini tercermin dalam berbagai literatur tentang adab al-‘alim wa al-muta’allim (etika guru dan murid) yang berkembang dalam tradisi Islam.

Salah satu karya paling berpengaruh dalam genre ini adalah “Ta’līm al-Muta’allim Ṭarīq al-Ta’allum” (Pengajaran bagi Pencari Ilmu tentang Metode Belajar) yang ditulis oleh Burhan al-Din al-Zarnuji pada abad ke-13 M. Dalam karya ini, al-Zarnuji menekankan bahwa kesuksesan dalam pencarian ilmu tidak hanya bergantung pada kapasitas intelektual, tetapi juga pada kualitas moral dan spiritual pencari ilmu. Ia mengidentifikasi enam prasyarat etis bagi pencari ilmu: niat yang tulus (niyyah), ketekunan (jidd), kesabaran (ṣabr), sumber yang cukup (bulgha), bimbingan guru (irshād ustādh), dan waktu yang memadai (ṭūl al-zamān) (Al-Zarnuji, 1981).

Ibn Jama’ah (d. 1333 M) dalam “Tadhkirat al-Sāmi’ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim” mengembangkan kerangka etis yang lebih elaboratif, yang mencakup etika pencari ilmu terhadap dirinya sendiri, terhadap gurunya, terhadap sesama pencari ilmu, dan terhadap buku-buku sebagai wadah ilmu. Ia menekankan pentingnya keikhlasan, kesucian hati, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap ilmu dan proses pencarian ilmu (Ibn Jama’ah, n.d.).

Al-Ghazali dalam “Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn” memberikan perhatian khusus pada dimensi spiritual dalam pencarian ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu yang sejati harus mengarah pada peningkatan ketakwaan, penyucian hati, dan perbaikan akhlak. Ilmu yang tidak mentransformasi kondisi spiritual pencarinya dipandang sebagai ilmu yang tidak bermanfaat, bahkan potensial berbahaya. Al-Ghazali mengutip hadits Nabi Muhammad SAW: “Allahumma inni a’udhu bika min ‘ilmin la yanfa’” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat) (HR. Muslim) (Al-Ghazali, n.d.).

Dimensi etis dalam tradisi keilmuan Islam ini memiliki implikasi penting dalam konteks pendidikan kontemporer. Di tengah perkembangan pesat sains dan teknologi yang sering kali mengabaikan pertimbangan moral, pendekatan Islam yang menekankan integrasi antara ilmu dan etika dapat memberikan kerangka alternatif untuk mengembangkan model pendidikan yang tidak hanya fokus pada transmisi pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pengembangan kearifan.

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ilmu dan Implikasinya

Analisis Hadits-hadits Utama tentang Ilmu

Selain Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW juga memberikan landasan normatif bagi tradisi keilmuan Islam. Berbagai hadits menekankan keutamaan ilmu dan orang berilmu, mendorong Muslim untuk mencari ilmu, dan menetapkan prinsip-prinsip etis dalam proses pencarian dan pengamalan ilmu. Berikut analisis beberapa hadits utama tentang ilmu:

  1. Kewajiban Mencari Ilmu

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Dari Anas bin Malik RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.’” (HR. Ibn Majah)

Hadits ini menegaskan status mencari ilmu sebagai kewajiban agama (farīḍah), bukan sekadar pilihan atau anjuran. Penggunaan kata “farīḍah” dalam hadits ini memiliki implikasi hukum yang kuat, menunjukkan bahwa mencari ilmu memiliki status yang setara dengan kewajiban-kewajiban ritual seperti shalat, puasa, dan zakat.

Imam al-Nawawi (d. 1277 M) dalam “Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim” menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu dalam hadits ini terutama adalah ilmu yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban agama individual (fardhu ‘ain). Namun, mayoritas ulama menginterpretasikan hadits ini dalam pengertian yang lebih luas, mencakup semua ilmu yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat (Al-Nawawi, n.d.).

Aspek penting dari hadits ini adalah penggunaan kata “Muslim” dalam bentuk generik, yang mencakup baik laki-laki maupun perempuan. Ini menegaskan bahwa Islam tidak mendiskriminasi berdasarkan gender dalam hal akses terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kenyataan historis menunjukkan bahwa banyak perempuan Muslim yang menjadi ulama dan sarjana terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Umm al-Darda’, A’isha bint Abu Bakr, Fatimah al-Fihri, dan lain-lain (Nadwi, 2007).

  1. Keutamaan Mencari Ilmu

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Dari Abu Darda’ RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya (sebagai penghormatan) untuk pencari ilmu. Sesungguhnya orang berilmu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.’” (HR. Abu Dawud, Tirmidhi, dan Ibn Majah)

Hadits ini, yang dikenal sebagai hadits “Ṭalab al-‘ilm”, menekankan berbagai aspek keutamaan mencari ilmu dan status mulia orang berilmu dalam Islam. Poin-poin utama dalam hadits ini mencakup:

a. Pencarian ilmu sebagai jalan menuju surga, yang mengindikasikan nilai soteriologis ilmu dalam Islam. b. Penghormatan kosmis terhadap pencari ilmu, yang ditunjukkan oleh malaikat yang meletakkan sayapnya dan seluruh makhluk yang memintakan ampunan. c. Superioritas ilmu atas ibadah ritual semata, yang diilustrasikan dengan perbandingan antara bulan dan bintang. d. Status ulama sebagai pewaris para nabi, yang menunjukkan peran sentral mereka dalam menjaga dan menyebarkan warisan profetik. e. Ilmu sebagai warisan paling berharga dari para nabi, bukan kekayaan material.

Imam al-Ghazali dalam “Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn” menggunakan hadits ini sebagai landasan untuk menegaskan keutamaan ilmu atas semua bentuk ibadah sukarela (nawāfil). Ia berargumen bahwa ilmu yang bermanfaat akan terus memberikan manfaat bahkan setelah kematian orang yang memilikinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits lain tentang tiga hal yang pahalanya terus mengalir setelah kematian: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya (Al-Ghazali, n.d.).

  1. Niat dalam Mencari Ilmu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.’” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menekankan pentingnya niat yang benar (ikhlāṣ) dalam pencarian ilmu. Ilmu dalam Islam tidak hanya tentang akuisisi kognitif, tetapi juga tentang orientasi etis dan spiritual. Mencari ilmu dengan niat yang salah, seperti untuk ketenaran, status, atau keuntungan material semata, tidak hanya mengurangi nilai ilmu tersebut tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi spiritual yang negatif.

Ibn al-Qayyim (d. 1350 M) dalam “Miftāḥ Dār al-Sa’ādah” mengembangkan refleksi mendalam tentang niat dalam pencarian ilmu. Ia mengidentifikasi tiga kategori niat: mencari ilmu untuk Allah dan akhirat, mencari ilmu untuk dunia, dan mencari ilmu untuk ilmu itu sendiri. Hanya niat pertama yang dianggap sepenuhnya legitimate dalam perspektif Islam, meskipun Ibn al-Qayyim mengakui bahwa dalam praktiknya, motivasi manusia sering kali bersifat kompleks dan campuran (Ibn al-Qayyim, 2000).

Dalam konteks pendidikan modern, hadits ini mengingatkan tentang pentingnya menjaga dimensi etis dan spiritual dalam proses pendidikan, alih-alih mereduksinya menjadi sekadar sarana untuk mobilitas sosial dan ekonomi. Pendidikan yang hanya berorientasi pada keuntungan material cenderung menghasilkan individu yang terampil tetapi tidak berkarakter, yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada berbagai problem sosial dan lingkungan.

Implikasi Hadits-hadits Ilmu untuk Pendidikan Islam Kontemporer

Hadits-hadits tentang ilmu yang telah dianalisis di atas memiliki implikasi penting untuk pengembangan pendidikan Islam kontemporer, khususnya dalam konteks modernisasi dan globalisasi. Beberapa implikasi utama mencakup:

  1. Rekonseptualisasi Kurikulum Integratif: Hadits yang menegaskan kewajiban mencari ilmu bagi setiap Muslim mengimplikasikan perlunya kurikulum pendidikan yang komprehensif, yang tidak memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Pendekatan integratif terhadap kurikulum, yang diadvokasi oleh pemikir seperti Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Seyyed Hossein Nasr, bertujuan untuk mengatasi dikotomi pengetahuan yang telah menjadi karakteristik pendidikan di banyak negara Muslim. Model-model seperti Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM) dan Universitas Ummul Qura di Mekah telah berupaya mengimplementasikan pendekatan integratif ini dalam pendidikan tinggi.
  2. Penekanan pada Etika Ilmiah: Hadits yang menekankan pentingnya niat yang benar dalam mencari ilmu menegaskan dimensi etis dalam pendidikan Islam. Ini mengimplikasikan perlunya mengintegrasikan pendidikan karakter dan etika dalam kurikulum pendidikan, tidak hanya sebagai subjek terpisah tetapi sebagai dimensi integral dari semua proses pendidikan. Pendekatan ini sejalan dengan visi pendidikan holistik yang dipromosikan oleh organisasi seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT) dan Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO).
  3. Demokratisasi Pendidikan: Formulasi generik “setiap Muslim” dalam hadits tentang kewajiban mencari ilmu menegaskan prinsip demokratisasi pendidikan dalam Islam, yang menentang semua bentuk diskriminasi berdasarkan gender, status sosial, atau latar belakang ekonomi. Ini mengimplikasikan perlunya kebijakan pendidikan yang memastikan akses universal terhadap pendidikan berkualitas, terutama untuk kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan, seperti perempuan, masyarakat pedesaan, dan komunitas minoritas.
  4. Revitalisasi Peran Ulama: Hadits yang menyatakan ulama sebagai pewaris para nabi menekankan peran sentral ulama dalam masyarakat Islam. Dalam konteks kontemporer, ini mengimplikasikan perlunya revitalisasi institusi tradisional keilmuan Islam, seperti pesantren, madrasah, dan universitas Islam, serta perlunya memperbarui metodologi dan kurikulum mereka untuk menghadapi tantangan modernitas. Inisiatif seperti reformasi Al-Azhar di Mesir dan pengembangan pesantren modern di Indonesia merupakan contoh upaya revitalisasi tersebut.
  1. Pengembangan Budaya Riset: Hadits yang menekankan nilai pencarian ilmu sebagai jalan menuju surga mengimplikasikan pentingnya mengembangkan budaya riset yang kuat di kalangan umat Islam. Dalam konteks kontemporer, ini berarti membangun kapasitas penelitian di berbagai bidang ilmu, mengembangkan pusat-pusat keunggulan ilmiah, dan meningkatkan kontribusi ilmuwan Muslim pada kemajuan pengetahuan global. Lembaga seperti Qatar Foundation, King Abdullah University of Science and Technology (KAUST), dan berbagai universitas riset di negara-negara Muslim merupakan upaya untuk mengembangkan budaya riset ini.
  2. Kontekstualisasi Ilmu: Hadits yang menekankan bahwa ilmu harus bermanfaat (nāfi’) mengimplikasikan perlunya kontekstualisasi pengetahuan agar relevan dengan tantangan dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ini berarti mengembangkan pendekatan pendidikan yang responsif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan spesifik, serta memastikan bahwa ilmu yang dipelajari memiliki dampak positif pada kemaslahatan masyarakat. Inisiatif seperti pengembangan ekonomi syariah, bioetika Islam, dan fiqh lingkungan merupakan contoh kontekstualisasi ilmu Islam dalam menghadapi tantangan kontemporer.
  3. Internasionalisasi dan Indigenisasi: Hadits yang menyatakan bahwa pencari ilmu harus bersedia melakukan perjalanan jauh (“Uthlub al-‘ilma wa law bi-l-Ṣīn” – Carilah ilmu walau sampai ke Cina) mengimplikasikan pentingnya internasionalisasi pendidikan, di mana Muslim didorong untuk belajar dari berbagai sumber dan tradisi pengetahuan di seluruh dunia. Namun, ini tidak berarti adopsi pasif terhadap paradigma pengetahuan asing, melainkan proses selektif yang diinformasikan oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Pendekatan ini, yang disebut sebagai “indigenisasi selektif” oleh sarjana seperti Fazlur Rahman, bertujuan untuk menyerap yang terbaik dari tradisi pengetahuan global sambil tetap menjaga identitas dan nilai-nilai Islam.
  4.  

Tantangan dan Peluang Menuntut Ilmu di Era Modern

Globalisasi dan Digitalisasi Pengetahuan

Era modern ditandai oleh globalisasi dan digitalisasi yang telah mentransformasi lanskap pengetahuan secara fundamental. Kedua fenomena ini menawarkan baik peluang maupun tantangan bagi umat Islam dalam mengejar dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Globalisasi telah memfasilitasi pertukaran pengetahuan lintas batas geografis dan budaya dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Umat Islam kini memiliki akses terhadap sumber-sumber pengetahuan dari berbagai tradisi intelektual di seluruh dunia, sejalan dengan semangat hadits Nabi Muhammad SAW: “Al-ḥikmatu ḍāllat al-mu’min, fa-ḥaithu wajadahā fa-huwa aḥaqqu bihā” (Hikmah adalah barang hilang seorang mukmin; di manapun ia menemukannya, ia lebih berhak atasnya) (HR. Tirmidhi). Globalisasi juga telah memungkinkan kolaborasi intelektual dan ilmiah antarilmuwan dari berbagai latar belakang, yang berpotensi memperkaya dan memperluas cakrawala pengetahuan.

Digitalisasi, di sisi lain, telah mendemokratisasi akses terhadap pengetahuan melalui platform seperti internet, perpustakaan digital, kursus daring terbuka secara masif (MOOCs), dan basis data ilmiah. Manuskrip-manuskrip langka dalam tradisi intelektual Islam yang sebelumnya hanya dapat diakses oleh segelintir ulama kini dapat diakses secara luas melalui perpustakaan digital seperti Al-Waraq, Shamela, dan Islamic Heritage Project. Demikian pula, database modern seperti Scopus, Web of Science, dan Google Scholar memungkinkan akses cepat terhadap penelitian kontemporer di berbagai bidang.

Namun, globalisasi dan digitalisasi juga membawa tantangan signifikan. Globalisasi sering kali didominasi oleh paradigma pengetahuan Barat yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan dunia Islam. Ini dapat mengarah pada apa yang oleh Syed Hussein Alatas (1974) disebut sebagai “imperialisme intelektual” dan “mentalitas terbelenggu” (captive mind), di mana sarjana Muslim hanya mengadopsi secara pasif teori, konsep, dan metodologi yang dikembangkan dalam konteks sosio-kultural yang berbeda.

Digitalisasi, meskipun meningkatkan aksesibilitas, juga membawa tantangan seperti kelebihan informasi (information overload), penyebaran informasi palsu (misinformation) dan disinformasi, serta dangkalnya pemahaman akibat kecenderungan konsumsi informasi yang fragmentaris dan superfisial. Sebagaimana dikhawatirkan oleh Nicholas Carr (2011) dalam “The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains”, konsumsi informasi digital yang berlebihan dapat merusak kapasitas untuk refleksi mendalam, konsentrasi, dan kontemplasi, yang merupakan aspek-aspek penting dari tradisi keilmuan Islam.

Menghadapi tantangan-tantangan ini, umat Islam perlu mengembangkan pendekatan kritis dan selektif terhadap pengetahuan global dan teknologi digital. Ini mencakup kemampuan untuk mengevaluasi kualitas dan reliabilitas informasi, mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam kerangka nilai-nilai Islam, dan menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap ide-ide baru dan kesetiaan pada prinsip-prinsip fundamental Islam. Sebagaimana dinyatakan oleh Tariq Ramadan (2004) dalam “Western Muslims and the Future of Islam”, Muslim kontemporer perlu mengembangkan “kewarganegaraan intelektual” yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara kritis dalam diskursus global sambil tetap menjaga identitas dan integritas moral mereka.

Fragmentasi Ilmu dan Tantangan Integrasi

Salah satu karakteristik menonjol dari perkembangan ilmu pengetahuan modern adalah fragmentasi dan spesialisasi yang semakin tajam. Perkembangan ini, meskipun telah memungkinkan pendalaman pengetahuan dalam bidang-bidang spesifik, telah menciptakan “silo-silo” pengetahuan yang saling terpisah dan kesulitan dalam mengintegrasikan berbagai disiplin untuk memahami fenomena kompleks. Fragmentasi ini menjadi lebih problematis ketika dikombinasikan dengan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler yang telah berlangsung sejak era kolonial di banyak masyarakat Muslim.

Integrasi ilmu pengetahuan telah menjadi agenda utama dalam reformasi pendidikan Islam kontemporer. Berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk mengatasi fragmentasi dan dikotomi ini, di antaranya:

  1. Islamisasi Pengetahuan: Diadvokasi oleh Ismail Raji al-Faruqi (1982) melalui International Institute of Islamic Thought (IIIT), pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam kerangka pandangan dunia Islam. Al-Faruqi mengusulkan rencana kerja 12 langkah untuk proyek ini, yang mencakup penguasaan disiplin modern, analisis kritis terhadapnya, dan reformulasi dalam kerangka Islam. Meskipun pendekatan ini telah mendorong refleksi kritis tentang epistemologi ilmu modern, ia telah dikritik karena cenderung reaktif dan mungkin terlalu ambisius dalam skala.
  2. Adab dan Dewesternisasi Pengetahuan: Dikembangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978) melalui International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), pendekatan ini menekankan konsep adab (etika intelektual dan spiritual) sebagai kunci untuk integrasi pengetahuan. Al-Attas berargumen bahwa krisis pengetahuan modern berakar pada hilangnya adab dan konfusi epistemologis akibat sekularisasi. Ia mengusulkan dewesternisasi ilmu pengetahuan melalui eliminasi elemen-elemen yang bertentangan dengan pandangan dunia Islam dan reintegrasi pengetahuan dalam kerangka tauhid.
  3. Sains Islam: Diadvokasi oleh Seyyed Hossein Nasr (1976), pendekatan ini menekankan pengembangan sains yang berbasis pada prinsip-prinsip metafisika dan kosmologi Islam. Nasr berargumen bahwa sains modern, dengan materialisme dan reduksionismenya, telah kehilangan dimensi sakral dan spiritual yang dulu menjadi bagian integral dari tradisi sains Islam klasik. Ia mengusulkan revitalisasi tradisi sains Islam yang melihat alam sebagai teofani (tajallī ilāhī) dan mengakui keterbatasan epistemologis metode empiris.
  4. Ijtihadisme Ilmiah: Dikembangkan oleh pemikir seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun, pendekatan ini menekankan pentingnya ijtihad (penalaran independen) dalam menghadapi tantangan modernitas. Alih-alih mengadopsi secara penuh atau menolak secara total sains modern, pendekatan ini mengadvokasi dialog kritis antara tradisi Islam dan modernitas untuk menghasilkan sintesis baru yang tetap setia pada prinsip-prinsip fundamental Islam sambil mengakomodasi perkembangan pengetahuan kontemporer.

Tantangan integrasi ilmu menjadi semakin kompleks dengan perkembangan pesat dalam bidang-bidang seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, dan neurosains, yang menimbulkan pertanyaan etis dan epistemologis yang mendasar. Umat Islam perlu mengembangkan kerangka etis dan filosofis yang memadai untuk merespons perkembangan ini, berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan tradisi intelektual Islam, sambil tetap terbuka terhadap wawasan dan metodologi baru.

Industrialisasi Pendidikan dan Tantangan Komersialisasi

Tren global menuju industrialisasi dan komersialisasi pendidikan telah mentransformasi lanskap pendidikan tinggi di banyak negara Muslim. Universitas-universitas semakin dijalankan berdasarkan model korporasi, dengan penekanan pada efisiensi, daya saing, dan keuntungan finansial. Indikator kinerja kuantitatif, seperti jumlah publikasi, faktor dampak, dan peringkat universitas, telah menjadi fokus utama, sering kali mengorbankan nilai-nilai akademik tradisional seperti pencarian kebenaran, kebebasan intelektual, dan pelayanan masyarakat.

Industrialisasi pendidikan ini menciptakan ketegangan dengan etos keilmuan Islam tradisional yang menekankan ilmu sebagai bentuk ibadah dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya digunakan untuk mencari wajah Allah, tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan beberapa keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat” (HR. Abu Dawud).

Ziadudin Sardar (2000) dalam “Desperately Seeking Paradise” mengkritik apa yang ia sebut sebagai “McFiqh” dan “McIslam” – reduksi pengetahuan Islam menjadi komoditas yang dikonsumsi secara cepat dan superfisial dalam konteks pasar global. Ia berargumen bahwa industrialisasi pengetahuan Islam telah mengurangi kompleksitas dan nuansa tradisi intelektual Islam, menghasilkan pemahaman yang terfragmentasi dan dekontekstualisasi.

Di sisi lain, proyek-proyek pendidikan ambisius di negara-negara Teluk, seperti Education City di Qatar dan program beasiswa King Abdullah di Arab Saudi, menunjukkan potensi untuk menggabungkan sumber daya material substansial dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Inisiatif-inisiatif ini, meskipun tidak lepas dari kritik, telah menciptakan ruang untuk eksperimentasi dengan model-model pendidikan baru yang berupaya menghormati tradisi sekaligus menjawab tuntutan kontemporer.

Menghadapi tantangan industrialisasi pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mengembangkan model alternatif yang menekankan nilai-nilai seperti pelayanan masyarakat (khidmah), etika ilmiah (adab), dan pencarian holistik akan kebijaksanaan (hikmah), sambil tetap memastikan keberlanjutan finansial dan relevansi sosial. Ini mungkin mencakup pengembangan metrik evaluasi alternatif yang mengakui berbagai bentuk kontribusi akademik, penekanan pada penelitian yang berorientasi pada kemaslahatan, dan model pendanaan yang memungkinkan keseimbangan antara kemandirian institusional dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat.

Menghidupkan Iqra’ dalam Kehidupan Umat Islam Kontemporer

Revitalisasi Tradisi Keilmuan Islam

Memahami dan mengimplementasikan perintah “Iqra’” dalam konteks kontemporer menuntut revitalisasi tradisi keilmuan Islam yang kaya dan dinamis. Tradisi ini, yang mencapai puncaknya selama periode Abad Keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-13 M), ditandai oleh semangat inkuiri intelektual yang tinggi, keterbukaan terhadap berbagai sumber pengetahuan, dan integrasi antara dimensi spiritual dan rasional.

Revitalisasi tradisi keilmuan Islam ini memerlukan beberapa langkah penting:

  1. Pengkajian Ulang Warisan Intelektual Islam: Karya-karya klasik dalam berbagai disiplin ilmu Islam – dari tafsir dan hadits hingga filsafat, matematika, dan kedokteran – perlu dikaji ulang dengan perspektif kontemporer. Proyek-proyek seperti “Post-Classical Islamic Philosophy Database” yang diinisiasi oleh Universitas McGill, “Islamic Medical Manuscripts” oleh National Library of Medicine AS, dan “Ghazali Project” oleh Universitas Louisville merupakan contoh upaya untuk menjaga aksesibilitas dan relevansi warisan intelektual Islam.
  2. Reformasi Metodologis: Metodologi tradisional dalam ilmu-ilmu Islam perlu ditinjau dan diperbarui untuk menghadapi tantangan kontemporer, tanpa kehilangan prinsip-prinsip fundamentalnya. Sarjana seperti Muhammad Abid al-Jabiri dalam “Kritik Nalar Arab” (1984-1990), Hassan Hanafi dalam “Al-Turāth wa al-Tajdīd” (Warisan dan Pembaruan, 1980), dan Jasser Auda dalam “Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law” (2008) telah menawarkan pendekatan-pendekatan metodologis baru yang berusaha menjembatani antara tradisi dan modernitas.
  3. Penguatan Institusi Pendidikan Islam: Institusi-institusi tradisional seperti madrasah, pesantren, dan universitas Islam memerlukan reformasi kurikulum, peningkatan kualitas pengajaran, dan penguatan kapasitas riset untuk menjadi pusat-pusat keunggulan keilmuan. Contoh sukses seperti transformasi Universitas Al-Azhar di Mesir dan modernisasi sistem pesantren di Indonesia menunjukkan bahwa institusi tradisional dapat beradaptasi dengan tuntutan modern sambil mempertahankan identitas khasnya.
  4. Pengembangan Jaringan Keilmuan Transnasional: Era digital memungkinkan pembentukan jaringan keilmuan transnasional yang menghubungkan sarjana Muslim di berbagai belahan dunia. Platform seperti Muslim Science, Islamic Thought, dan Muslim Heritage telah memfasilitasi dialog dan kolaborasi intelektual yang melampaui batas-batas geografis, sektarian, dan ideologis.

Muhammad Iqbal (1877-1938), filsuf dan penyair Muslim terkemuka, menekankan pentingnya “ijtihad intelektual” dalam merekonstruksi pemikiran Islam. Dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1934), Iqbal berargumen bahwa kebangkitan Islam tidak mungkin terjadi tanpa revitalisasi tradisi intelektual yang memungkinkan Muslim menghadapi tantangan modernitas dengan kerangka referensi yang berakar pada prinsip-prinsip Al-Qur’an tetapi responsif terhadap realitas kontemporer.

Taha Jabir al-Alwani (1935-2016) mengembangkan konsep “fiqh al-aqalliyyat” (yurisprudensi untuk minoritas Muslim) dan “fiqh al-maqasid” (yurisprudensi berbasis tujuan syariah) sebagai metodologi untuk merespons tantangan kontemporer. Ia menekankan pentingnya apa yang ia sebut sebagai “qira’ah mu’asirah” (pembacaan kontemporer) terhadap teks-teks Islam, yang mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran normatif dalam realitas sosio-historis kontemporer (Al-Alwani, 2005).

Integrasi Ilmu dan Teknologi dalam Kerangka Islam

Perintah “Iqra’” yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, meskipun turun pada abad ke-7 M, memiliki dimensi profetik yang melampaui zamannya. Dalam konteks era informasi dan revolusi industri keempat (4IR), makna “Iqra’” perlu diperluas untuk mencakup literasi teknologi dan kemampuan untuk “membaca” dan memahami berbagai bentuk pengetahuan yang dimediasi oleh teknologi digital.

Integrasi ilmu dan teknologi dalam kerangka Islam memerlukan pendekatan yang seimbang, yang mengakui potensi transformatif teknologi sambil tetap menjaga prinsip-prinsip etis dan spiritual Islam. Beberapa aspek penting dari pendekatan ini antara lain:

  1. Pengembangan Teologi Teknologi Islam: Umat Islam perlu mengembangkan “teologi teknologi” yang mengeksplorasi implikasi teologis dan etis dari berbagai perkembangan teknologi, dari kecerdasan buatan dan bioteknologi hingga media sosial dan realitas virtual. Sarjana seperti Ziauddin Sardar, Nidhal Guessoum, dan Ebrahim Moosa telah mempelopori refleksi teologis tentang teknologi dalam kerangka Islam, mengkaji bagaimana nilai-nilai seperti tauhid, khilafah, dan amanah dapat memberikan panduan dalam pengembangan dan penggunaan teknologi.
  2. Kontekstualisasi Sains Islam: Alih-alih sekadar mengadopsi atau menolak sains modern, umat Islam perlu mengembangkan pendekatan kontekstual yang mengakui nilai instrumental sains sambil mengintegrasikannya dalam kerangka nilai Islam. Munawar Ahmad Anees dan Merryl Wyn Davies (1988) dalam “Islamic Science: Current Thinking and Future Directions” mengusulkan bahwa sains Islam kontemporer harus bersifat kritis terhadap asumsi-asumsi filosofis sains modern, responsif terhadap kebutuhan masyarakat Muslim, dan berorientasi pada kemaslahatan (maslaḥah).
  3. Literasi Digital Kritis: Dalam era informasi, literasi tidak lagi terbatas pada kemampuan membaca dan menulis konvensional, tetapi mencakup kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif dan etis. Umat Islam perlu mengembangkan literasi digital kritis yang memungkinkan mereka untuk menavigasi lanskap informasi yang kompleks, mengevaluasi kredibilitas sumber, dan menggunakan teknologi digital untuk tujuan-tujuan yang konstruktif.
  4. Inovasi Teknologi Berbasis Nilai: Umat Islam didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif teknologi, tetapi juga menjadi produsen dan inovator yang mengembangkan solusi teknologi berbasis nilai-nilai Islam. Inisiatif seperti “Islamic Finance Technology” (FinTech), aplikasi Al-Qur’an digital, dan platform pendidikan Islam online merupakan contoh inovasi teknologi yang diinformasikan oleh nilai-nilai dan kebutuhan spesifik masyarakat Muslim.

Naquib Al-Attas (1980) mengingatkan bahwa teknologi, meskipun netral dalam aspek instrumentalnya, tidak pernah netral dalam aspek nilai dan tujuannya. Ia mengadvokasi pendekatan selektif terhadap teknologi, yang menekankan pentingnya menyaring dan mengkontekstualisasikan teknologi dalam kerangka nilai-nilai Islam, alih-alih mengadopsinya secara tidak kritis.

Ziauddin Sardar (2006) lebih jauh mengembangkan konsep “kesalehan teknologis” (technological piety) yang ia definisikan sebagai penggunaan teknologi dengan cara yang mempromosikan keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan bersama, sejalan dengan nilai-nilai etis Islam. Ia berargumen bahwa Muslim perlu mengembangkan pendekatan kritis-kreatif terhadap teknologi, yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengembangan teknologi sambil tetap menjaga otonomi kultural dan moral.

Pengembangan Sistem Pendidikan Islam Holistik

Mengimplementasikan perintah “Iqra’” dalam konteks kontemporer menuntut pengembangan sistem pendidikan Islam yang holistik, yang mengintegrasikan berbagai dimensi pengetahuan dan pengalaman manusia. Sistem pendidikan holistik ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk multidimensional yang memiliki aspek fisik, intelektual, emosional, spiritual, dan sosial.

Beberapa prinsip dan karakteristik sistem pendidikan Islam holistik antara lain:

  1. Tauhid sebagai Prinsip Integratif: Konsep tauhid (keesaan Allah) menjadi prinsip integratif yang menyatukan berbagai disiplin ilmu dalam kerangka ontologis dan epistemologis yang koheren. Sebagaimana ditekankan oleh Ismail Raji al-Faruqi (1982), tauhid tidak hanya berkaitan dengan keesaan Tuhan, tetapi juga dengan kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan kemanusiaan.
  2. Pengembangan Insan Kamil: Tujuan utama pendidikan Islam adalah pengembangan “insan kamil” (manusia paripurna) yang memiliki keseimbangan antara dimensi intelektual, spiritual, dan moral. Al-Ghazali dalam “Ihya’ ‘Ulum al-Din” menekankan bahwa pendidikan harus mencakup tarbiyat al-jism (pendidikan fisik), tarbiyat al-‘aql (pendidikan intelektual), tarbiyat al-khuluq (pendidikan moral), dan tarbiyat al-ruh (pendidikan spiritual).
  3. Integrasi Ilmu dan Amal: Sistem pendidikan Islam menekankan hubungan organik antara ilmu (‘ilm) dan amal (praktik), di mana ilmu tidak dipandang sebagai akumulasi informasi pasif tetapi sebagai pengetahuan transformatif yang diimplementasikan dalam tindakan konkret. Konsep ini tercermin dalam hadits Nabi Muhammad SAW: “Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah” (HR. Tabrani).
  4. Relevansi Sosial dan Kontekstual: Pendidikan Islam harus responsif terhadap kebutuhan dan tantangan kontekstual, mempersiapkan peserta didik untuk berkontribusi secara konstruktif dalam masyarakat. Ibn Khaldun dalam “Muqaddimah” menekankan pentingnya pendidikan yang relevan dengan realitas sosial dan kebutuhan praktis masyarakat.
  5. Metodologi Pengajaran yang Bervariasi: Sistem pendidikan Islam mengakui keberagaman gaya belajar dan intelegensi, menggunakan berbagai metodologi pengajaran yang sesuai dengan materi dan karakteristik peserta didik. Ini tercermin dalam praktik pendidikan Nabi Muhammad SAW yang menggunakan berbagai metode, dari ceramah dan dialog hingga demonstrasi dan pengalaman langsung.

Tabel 2 berikut menggambarkan perbandingan antara pendekatan pendidikan Islam holistik dengan pendekatan pendidikan konvensional:

AspekPendidikan KonvensionalPendidikan Islam Holistik
Basis FilosofisDualisme (pemisahan antara subjek-objek, pikiran-tubuh, fakta-nilai)Tauhid (kesatuan ontologis dan epistemologis)
TujuanPersiapan karir, kompetisi ekonomi, transmisi pengetahuanPengembangan insan kamil, ibadah kepada Allah, kemaslahatan masyarakat
KurikulumTerfragmentasi, berbasis disiplin, dominasi ilmu-ilmu sekulerIntegratif, tematik, penghilangan dikotomi sakral-sekuler
Metode PengajaranDidominasi transmisi satu arah, standardisasi, orientasi ujianBeragam (ceramah, dialog, refleksi, pengalaman), personalisasi, orientasi transformasi
Peran GuruTransmiter pengetahuan, otoritas disiplinerMurabbi (pembimbing holistik), teladan spiritual dan moral
EvaluasiKuantitatif, berorientasi hasil, fokus pada kognitifKomprehensif (kognitif, afektif, spiritual), formatif, berorientasi proses
Lingkungan BelajarTerpisah dari masyarakat, artifisial, terstruktur secara kakuTerintegrasi dengan masyarakat, autentik, fleksibel
Relasi SosialKompetitif, individualistikKooperatif, komunal, berbasis khidmah (pelayanan)

Sumber: Disarikan dari Ashraf (1985), Al-Attas (1980), Husain & Ashraf (1979), dan Cook (1999).

Model-model pendidikan Islam holistik telah dikembangkan di berbagai belahan dunia, seperti sekolah-sekolah IQRA’ di Afrika Selatan, Sekolah Terpadu Islam di Indonesia, dan Al-Zaytun International Academy di Malaysia. Meskipun bervariasi dalam implementasi spesifik, model-model ini berbagi komitmen terhadap integrasi pengetahuan, pengembangan holistik, dan relevansi kontekstual.

Menuju Paradigma Keilmuan Islam Kontemporer

Rekonstruksi Epistemologi Islam

Implementasi perintah “Iqra’” dalam konteks kontemporer menuntut rekonstruksi epistemologi Islam yang merespons tantangan modernitas sambil tetap setia pada prinsip-prinsip fundamental wahyu. Rekonstruksi ini tidak berarti menolak seluruh epistemologi modern atau tradisional, melainkan sintesis kritis yang mengakui kelebihan dan keterbatasan masing-masing.

Beberapa aspek penting dalam rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer antara lain:

  1. Integrasi Sumber-sumber Pengetahuan: Epistemologi Islam tradisional mengakui berbagai sumber pengetahuan, termasuk wahyu (waḥy), akal (aql), pengalaman empiris (tajribah), dan intuisi (kashf). Rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer perlu mengeksplorasi bagaimana berbagai sumber pengetahuan ini dapat diintegrasikan secara koheren, tanpa memprioritaskan satu sumber secara eksklusif atas yang lain. Muhammad Iqbal dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1934) menggambarkan bagaimana wahyu dan pengalaman empiris dapat saling memperkuat dalam kerangka epistemologi integratif.
  2. Kritik Terhadap Rasionalisme dan Empirisisme Ekstrem: Epistemologi Islam perlu mengembangkan kritik konstruktif terhadap rasionalisme dan empirisisme ekstrem yang telah mendominasi pemikiran modern. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1989) dalam “Islam and the Philosophy of Science” mengkritik reduksionisme epistemologis yang membatasi realitas hanya pada apa yang dapat diakses melalui rasio atau pengalaman inderawi, mengabaikan dimensi spiritual dan metafisika realitas.
  3. Pengembangan Metodologi Interdisipliner: Untuk menghadapi kompleksitas masalah kontemporer, epistemologi Islam perlu mengembangkan metodologi interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin. Jasser Auda (2008) dalam “Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law” mengusulkan pendekatan sistem terhadap hukum Islam yang mengintegrasikan wawasan dari teori sistem, hermeneutika, dan filsafat nilai.
  4. Kontekstualisasi Ushul al-Fiqh: Metodologi ushul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) yang dikembangkan oleh para ulama klasik perlu dikontekstualisasikan untuk merespons tantangan kontemporer. Sarjana seperti Hashim Kamali, Wael Hallaq, dan Mohammad Fadel telah mengeksplorasi bagaimana prinsip-prinsip seperti istihsan (preferensi yuridis), maslahah mursalah (kepentingan publik), dan maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan syariah) dapat memberikan kerangka metodologis untuk ijtihad kontemporer.

Louay Safi (1996) dalam “The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry” mengusulkan kerangka metodologis integratif yang menggabungkan wawasan dari tradisi intelektual Islam dan Barat. Ia berargumen bahwa epistemologi Islam kontemporer harus bersifat empiris tanpa menjadi empirisis, rasional tanpa menjadi rasionalis, dan tekstual tanpa menjadi tekstualis – sebuah sintesis yang mengakui berbagai dimensi realitas dan pengetahuan.

Islam dan Dialog Peradaban

Implementasi perintah “Iqra’” dalam konteks global kontemporer melibatkan partisipasi aktif umat Islam dalam dialog peradaban. Berbeda dengan tesis “benturan peradaban” yang dipopulerkan oleh Samuel Huntington (1996), Islam menekankan pentingnya ta’aruf (saling mengenal) antara berbagai komunitas dan tradisi intelektual, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Dialog peradaban ini dapat dikonseptualisasikan dalam beberapa level:

  1. Dialog Epistemologis: Umat Islam perlu terlibat dalam dialog kritis dengan berbagai tradisi epistemologis, mengidentifikasi titik-titik persinggungan dan perbedaan, dan mengeksplorasi kemungkinan sintesis konstruktif. William Chittick (2007) dalam “Science of the Cosmos, Science of the Soul” mengeksplorasi bagaimana epistemologi Islam klasik, yang menekankan interkoneksi antara pengetahuan dan spiritualitas, dapat memperkaya diskursus epistemologis kontemporer yang cenderung terfragmentasi.
  2. Dialog Etis: Di tengah krisis global seperti perubahan iklim, konflik bersenjata, dan ketimpangan ekonomi, umat Islam perlu berpartisipasi dalam pengembangan kerangka etis global yang merespons tantangan-tantangan ini. Prinsip-prinsip etis Islam seperti rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan ihsan (kebajikan) dapat memberikan kontribusi signifikan dalam diskursus etis global.
  3. Dialog Institusional: Lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian Islam perlu mengembangkan kolaborasi dengan institusi-institusi serupa di berbagai tradisi intelektual. Inisiatif seperti Cambridge Muslim College di Inggris, Zaytuna College di AS, dan Center for Islamic Theology di Universitas Münster, Jerman, telah menunjukkan bagaimana lembaga pendidikan tinggi Islam dapat berpartisipasi konstruktif dalam lanskap akademik global.
  4. Dialog Publik: Umat Islam perlu berpartisipasi aktif dalam diskursus publik tentang berbagai isu kontemporer, dari bioetika dan kecerdasan buatan hingga keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Sarjana seperti Tariq Ramadan, Amina Wadud, dan Khaled Abou El Fadl telah menunjukkan bagaimana perspektif Islam dapat memperkaya diskursus publik tentang berbagai isu kontemporer.

Abdolkarim Soroush, filsuf Iran kontemporer, dalam “Reason, Freedom, and Democracy in Islam” (2000) menekankan pentingnya apa yang ia sebut sebagai “akal kolektif” (collective reason) yang terbentuk melalui dialog dan pertukaran ide antara berbagai tradisi intelektual. Ia berargumen bahwa tidak ada tradisi intelektual yang dapat mengklaim monopoli atas kebenaran, dan bahwa semua tradisi dapat belajar dan diperkaya melalui dialog kritis dengan yang lain.

Muhammad Legenhausen (1999) dalam “Islam and Religious Pluralism” mengembangkan apa yang ia sebut sebagai “pluralisme non-reduktif” yang mengakui keunikan dan integritas masing-masing tradisi agama sambil mengafirmasi kemungkinan dialog konstruktif di antara mereka. Ia berargumen bahwa dialog antaragama tidak harus mereduksi semua tradisi ke dalam kerangka universal yang abstrak, tetapi dapat menghormati partikularitas masing-masing sambil mencari titik-titik persinggungan dan kolaborasi.

Ilmu untuk Kemaslahatan: Reorientasi Tujuan Ilmu

Perintah “Iqra’” dalam wahyu pertama tidak hanya tentang akuisisi pengetahuan, tetapi juga tentang tujuan dan orientasi pengetahuan tersebut. Dalam tradisi Islam, ilmu tidak dipandang sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan (maslaḥah) – kesejahteraan komprehensif yang mencakup dimensi material, moral, dan spiritual.

Dalam konteks kontemporer, di mana kemajuan ilmu dan teknologi sering kali diikuti oleh dampak negatif seperti degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan alienasi spiritual, reorientasi ilmu menuju kemaslahatan menjadi semakin penting. Beberapa aspek dari reorientasi ini mencakup:

  1. Pengembangan Ilmu Berbasis Maqasid: Pengembangan ilmu pengetahuan perlu diinformasikan oleh maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan syariah), yang secara tradisional mencakup perlindungan terhadap agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Para sarjana kontemporer seperti Jasser Auda (2008) telah memperluas konsep maqasid untuk mencakup nilai-nilai seperti keadilan, kebebasan, dan martabat manusia, yang dapat memberikan orientasi normatif bagi pengembangan ilmu kontemporer.
  2. Etika Ilmiah Berbasis Tauhid: Etika ilmiah dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan integritas prosedural, tetapi juga dengan tujuan dan konsekuensi penelitian. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978) menekankan bahwa ilmu dalam Islam harus diinformasikan oleh adab – etika komprehensif yang berakar pada pengakuan terhadap tatanan realitas yang ditetapkan oleh Allah SWT. Ini mengimplikasikan bahwa ilmuwan Muslim tidak hanya bertanggung jawab terhadap komunitas ilmiah, tetapi juga terhadap Allah SWT dan masyarakat luas.
  3. Pemberdayaan Masyarakat melalui Ilmu: Ilmu tidak boleh menjadi privilese elit atau instrumen dominasi, tetapi harus berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat, terutama yang terpinggirkan dan kurang beruntung. Hassan Hanafi dalam proyek “Al-Turāth wa al-Tajdīd” (Warisan dan Pembaruan) menekankan pentingnya mengembangkan ilmu yang relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, terutama di negara-negara berkembang.
  4. Integrasi Pengetahuan dan Kebijaksanaan: Dalam tradisi Islam, ‘ilm (pengetahuan) tidak terpisahkan dari hikmah (kebijaksanaan) – kapasitas untuk menerapkan pengetahuan dengan cara yang tepat, sesuai dengan konteks dan tujuan yang benar. Al-Ghazali dalam “Ihya’ ‘Ulum al-Din” membedakan antara ‘ilm al-mu’amalah (pengetahuan tentang interaksi) dan ‘ilm al-mukashafah (pengetahuan kontemplatif), keduanya diperlukan untuk kehidupan yang seimbang dan terarah.

Muhammad Hashim Kamali dalam “Islamic Values and Approaches to Science, Technology, and Environment” (2010) mengusulkan kerangka nilai Islam untuk sains dan teknologi yang mencakup tawhid (kesatuan), khilafah (pengelolaan), ‘adl (keadilan), istislah (kemaslahatan publik), dan wasatiyyah (keseimbangan). Ia berargumen bahwa kerangka nilai ini dapat memberikan orientasi etis bagi pengembangan dan aplikasi sains dan teknologi dalam konteks kontemporer.

Muzaffar Iqbal (2007) dalam “Science and Islam” menekankan pentingnya mengembangkan apa yang ia sebut sebagai “sains yang diinformasikan secara etis” (ethically informed science), yang mengintegrasikan pertimbangan etis ke dalam seluruh proses ilmiah, dari formulasi pertanyaan penelitian hingga aplikasi hasil. Pendekatan ini, menurutnya, dapat membantu mengatasi berbagai krisis yang dihasilkan oleh sains dan teknologi modern yang sering kali dikembangkan dengan logika instrumental yang terpisah dari pertimbangan etis.

Kesimpulan

Analisis komprehensif terhadap surat Al-‘Alaq ayat 1-5 mengungkapkan bahwa perintah “Iqra’” merupakan mandat multidimensional yang mencakup seluruh spektrum aktivitas intelektual, dari membaca dan merefleksikan hingga mengkritisi dan mengimplementasikan. Perintah ini tidak hanya relevan pada masa turunnya wahyu, tetapi bahkan semakin krusial dalam konteks era informasi dan revolusi industri keempat yang kita hadapi saat ini.

Dalam perspektif historis, perintah “Iqra’” telah menginspirasi perkembangan tradisi keilmuan yang dinamis dan inklusif dalam peradaban Islam, yang pada masa kejayaannya mampu mengintegrasikan wawasan dari berbagai sumber dan tradisi pengetahuan dalam kerangka tauhid. Tradisi ini ditandai oleh semangat inkuiri intelektual yang tinggi, apresiasi terhadap berbagai bentuk pengetahuan, dan integrasi antara dimensi spiritual dan rasional.

Dalam konteks kontemporer, implementasi perintah “Iqra’” menghadapi tantangan yang kompleks, dari fragmentasi dan komersialisasi ilmu hingga dominasi epistemologi Barat dan krisis etis dalam pengembangan teknologi. Menghadapi tantangan-tantangan ini, umat Islam perlu mengembangkan pendekatan kritis-kreatif yang mengintegrasikan kesetiaan pada prinsip-prinsip fundamental wahyu dengan keterbukaan terhadap wawasan dan metodologi baru.

Revitalisasi tradisi keilmuan Islam tidak berarti kembali ke masa lalu secara literal atau menolak modernitas secara kategoris, melainkan rekonstruksi kreatif yang mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip normatif Islam sambil merespons realitas kontemporer. Ini mencakup pengkajian ulang warisan intelektual Islam, reformasi metodologis, penguatan institusi pendidikan Islam, dan pengembangan jaringan keilmuan transnasional.

Integrasi ilmu dan teknologi dalam kerangka Islam memerlukan pendekatan yang seimbang, yang mengakui potensi transformatif teknologi sambil tetap menjaga prinsip-prinsip etis dan spiritual Islam. Ini mencakup pengembangan teologi teknologi Islam, kontekstualisasi sains Islam, literasi digital kritis, dan inovasi teknologi berbasis nilai.

Pengembangan sistem pendidikan Islam holistik merupakan imperatif untuk mengimplementasikan perintah “Iqra’” secara komprehensif. Sistem ini didasarkan pada tauhid sebagai prinsip integratif, bertujuan mengembangkan insan kamil, menekankan integrasi ilmu dan amal, bersifat relevan secara sosial dan kontekstual, dan menggunakan metodologi pengajaran yang bervariasi.

Rekonstruksi epistemologi Islam kontemporer menuntut sintesis kritis yang mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan, mengkritisi rasionalisme dan empirisisme ekstrem, mengembangkan metodologi interdisipliner, dan mengkontekstualisasikan ushul al-fiqh untuk merespons tantangan kontemporer.

Partisipasi aktif umat Islam dalam dialog peradaban merupakan implementasi dari prinsip ta’aruf (saling mengenal) yang ditekankan dalam Al-Qur’an. Dialog ini mencakup dialog epistemologis, etis, institusional, dan publik, yang memungkinkan pertukaran konstruktif antara berbagai tradisi intelektual.

Reorientasi ilmu menuju kemaslahatan merupakan imperatif dalam konteks kontemporer, di mana kemajuan ilmu dan teknologi sering kali diikuti oleh dampak negatif. Ini mencakup pengembangan ilmu berbasis maqasid, etika ilmiah berbasis tauhid, pemberdayaan masyarakat melalui ilmu, dan integrasi pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dalam mengimplementasikan perintah “Iqra’”, umat Islam dihadapkan pada tanggung jawab ganda: mempertahankan dan mengembangkan tradisi intelektual Islam yang kaya, sambil berpartisipasi konstruktif dalam diskursus global tentang berbagai tantangan kontemporer. Tanggung jawab ini tidak hanya berkaitan dengan preservasi identitas kultural dan religius, tetapi juga dengan kontribusi substantif pada kesejahteraan kemanusiaan dan keberlanjutan planet ini.

Sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Iqbal (1934): “Lahir kembalinya Islam berarti lahir kembalinya pemikiran.” Revitalisasi perintah “Iqra’” dalam konteks kontemporer dapat menjadi katalis bagi kebangkitan intelektual Islam yang berkontribusi pada pencerahan spiritual, kemajuan material, dan keadilan sosial, tidak hanya bagi umat Islam tetapi bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Abduh, M., & Rida, M. R. (1947). Tafsīr al-Manār. Dar al-Manar.

Abu Sulayman, A. H. (Ed.). (1989). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. International Institute of Islamic Thought.

Al-Alwani, T. J. (2005). Issues in Contemporary Islamic Thought. International Institute of Islamic Thought.

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Secularism. Muslim Youth Movement of Malaysia.

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Muslim Youth Movement of Malaysia.

Al-Attas, S. M. N. (1989). Islam and the Philosophy of Science. International Institute of Islamic Thought.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. International Institute of Islamic Thought.

Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Dar al-Ma’rifah.

Al-Isfahani, R. (2009). Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. Dar al-Qalam.

Al-Jabiri, M. A. (1984-1990). Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Critique of Arab Reason). Centre Culturel Arabe.

Al-Qurtubi, M. (2006). Al-Jāmi’ li-Aḥkām al-Qur’ān. Mu’assasat al-Risalah.

Al-Razi, F. (1999). Mafātīḥ al-Ghayb. Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Al-Tabari, M. (2000). Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Mu’assasat al-Risalah.

Al-Zamakhshari, M. (1998). Al-Kashshāf ‘an Haqā’iq Ghawāmid al-Tanzīl. Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Al-Zarnuji, B. (1981). Ta’līm al-Muta’allim Ṭarīq al-Ta’allum. Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Alatas, S. H. (1974). The Captive Mind and Creative Development. International Social Science Journal, 26(4), 691-700.

Anees, M. A., & Davies, M. W. (1988). Islamic Science: Current Thinking and Future Directions. Mansell.

Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Dar al-Andalus.

Ashraf, S. A. (1985). New Horizons in Muslim Education. Hodder & Stoughton.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. International Institute of Islamic Thought.

Bucaille, M. (1976). The Bible, The Qur’an and Science. North American Trust Publications.

Carr, N. (2011). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton & Company.

Chittick, W. C. (2007). Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World. Oneworld.

Cook, B. J. (1999). Islamic versus Western Conceptions of Education: Reflections on Egypt. International Review of Education, 45(3-4), 339-357.

Hanafi, H. (1980). Al-Turāth wa al-Tajdīd. Dar al-Tanwir.

Husain, S. S., & Ashraf, S. A. (1979). Crisis in Muslim Education. Hodder & Stoughton.

Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Simon & Schuster.

Ibn Hazm, A. (n.d.). Al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām. Dar al-Afaq al-Jadidah.

Ibn Jama’ah, B. (n.d.). Tadhkirat al-Sāmi’ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Kathir, I. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Dar Taybah.

Ibn Khaldun, A. (2005). The Muqaddimah: An Introduction to History. Princeton University Press.

Ibn al-Qayyim, M. (2000). Miftāḥ Dār al-Sa’ādah. Dar al-Hadith.

Iqbal, M. (1934). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Oxford University Press.

Iqbal, M. (2007). Science and Islam. Greenwood Press.

Kamali, M. H. (2010). Islamic Values and Approaches to Science, Technology, and Environment. Al-Zaytouna.

Legenhausen, M. (1999). Islam and Religious Pluralism. Al-Hoda.

Moore, K. L., et al. (1992). Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah. Islamic Academy for Scientific Research.

Nadwi, M. A. (2007). Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam. Interface Publications.

Al-Nawawi, Y. (n.d.). Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Nasr, S. H. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. World of Islam Festival Publishing.

Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. SUNY Press.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford University Press.

Rosenthal, F. (2007). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill.

Safi, L. (1996). The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. International Institute of Islamic Thought.

Sardar, Z. (1989). Explorations in Islamic Science. Mansell.

Sardar, Z. (2000). Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim. Granta Books.

Sardar, Z. (2006). How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations. Pluto Press.

Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam. Oxford University Press.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect