Eksplorasi Ilmiah dalam Perspektif Surah Ar-Raḥmān

Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak hanya berfungsi sebagai pedoman spiritual, tetapi juga sebagai sumber ilmu pengetahuan yang tidak pernah habis untuk digali. Di antara ayat-ayat yang memiliki dimensi ilmiah yang mendalam adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ

“Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah).” (Ar-Raḥmān [55]:33)

Ayat ini mengandung isyarat ilmiah yang luar biasa tentang kemungkinan eksplorasi kosmik oleh manusia dan jin, dengan menegaskan bahwa usaha tersebut hanya dapat berhasil dengan “sulṭān” (kekuatan atau otoritas) yang berasal dari Allah SWT. Dalam konteks peradaban kontemporer, ayat ini memiliki resonansi yang kuat dengan perkembangan sains dan teknologi modern, khususnya terkait dengan eksplorasi luar angkasa dan pencapaian ilmiah lainnya. Makna yang terkandung dalam ayat ini secara substansial menegaskan bahwa manusia dan jin, sebagai makhluk Allah, dipersilakan untuk menjelajahi semesta dengan syarat memiliki “sulṭān” yang memadai.

Artikel ini akan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana ayat ini memberikan dorongan kuat bagi umat Islam untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan mereka sebagai bentuk implementasi dari konsep “sulṭān” yang disebutkan. Dalam pandangan Islam, pencarian ilmu bukan semata-mata aktivitas intelektual, melainkan juga merupakan bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. Sebagaimana diisyaratkan dalam ayat ini, kemampuan manusia untuk menjelajahi dan memahami alam semesta adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.

Pembahasan akan dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai sumber otoritatif, mulai dari tafsir klasik hingga interpretasi kontemporer, serta melibatkan perspektif interdisipliner yang mencakup dimensi linguistik, teologis, saintifik, dan sosiokultural. Tujuan utama dari bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an, melalui ayat ini, telah memberikan fondasi konseptual yang kuat bagi umat Islam untuk aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi dari kehendak Allah dan sebagai bentuk pelaksanaan peran kekhalifahan manusia di muka bumi.

Dimensi Linguistik dan Tafsir Ar-Ramān Ayat 33

Untuk memahami secara mendalam pesan yang terkandung dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33, diperlukan analisis linguistik dan penafsiran yang komprehensif. Ayat ini dimulai dengan ungkapan “يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ” (yā ma’syaral jinni wal insi) yang berarti “Wahai segenap jin dan manusia.” Penunjukan eksplisit kepada kedua makhluk berakal ini—jin dan manusia—menunjukkan bahwa tantangan yang disebut dalam ayat tersebut berlaku universal bagi seluruh makhluk yang diberi kemampuan berpikir dan bertanggung jawab atas tindakan mereka (mukallaf).

Kata “تَنْفُذُوْا” (tanfudhū) berasal dari akar kata “نفذ” (nafadha) yang secara etimologis bermakna menembus, melewati, atau melintasi dengan membuat jalur atau terobosan. Ibn Manẓūr dalam “Lisān al-‘Arab” menjelaskan bahwa kata ini mengandung makna melakukan perjalanan dari satu sisi ke sisi lain dengan menembus rintangan (Ibn Manẓūr, 1999, vol. 7, p. 412). Sementara itu, kata “اَقْطَارِ” (aqṭāri) adalah bentuk jamak dari “قطر” (quṭr) yang berarti sisi, wilayah, atau penjuru. Dalam konteks ayat ini, frasa “اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ” (aqṭāris samāwāti wal arḍi) mengacu pada berbagai penjuru atau wilayah langit dan bumi.

Elemen linguistik yang paling krusial dalam ayat ini adalah kata “سُلْطٰن” (sulṭān). Al-Rāghib al-Aṣfahānī dalam “Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān” mendefinisikan “sulṭān” sebagai kekuasaan, otoritas, atau argumen yang kuat dan meyakinkan (Al-Aṣfahānī, 2009, p. 417). Dalam konteks Al-Qur’an, kata ini digunakan dalam beberapa makna yang saling terkait, termasuk bukti atau dalil, kekuatan, otoritas, dan kekuasaan. Yang menarik, kata “sulṭān” dalam ayat ini hadir tanpa artikel definit “ال” (al), yang menurut kaidah bahasa Arab menunjukkan sifat umum dan tidak spesifik, mengisyaratkan berbagai bentuk kekuatan atau otoritas yang mungkin diperlukan.

Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam tafsirnya “Al-Kasysyāf” menafsirkan “sulṭān” dalam ayat ini sebagai kekuatan, ilmu, dan otoritas yang dianugerahkan Allah. Beliau menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘sulṭān’ di sini adalah ilmu dan kemampuan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang dengan itu mereka dapat mencapai hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin dicapai” (Az-Zamakhsyari, 2009, vol. 4, p. 448). Interpretasi ini menegaskan bahwa eksplorasi kosmik yang disebutkan dalam ayat bukanlah hal yang mustahil, melainkan bergantung pada ilmu dan kemampuan yang dianugerahkan Allah.

Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H) dalam tafsirnya “Mafātiḥ al-Ghayb” memberikan perspektif yang lebih luas tentang makna “sulṭān”. Menurutnya, kata ini mencakup berbagai dimensi kekuatan, baik material maupun spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, serta bantuan dan izin dari Allah (Al-Rāzī, 2000, vol. 29, p. 373). Al-Rāzī juga menekankan bahwa ayat ini merupakan tantangan sekaligus pengakuan akan keterbatasan manusia dan jin tanpa bantuan ilahi.

Dalam tafsir kontemporer, Muhammad Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Mishbah” menafsirkan “sulṭān” sebagai kekuatan pengetahuan dan kemampuan teknologis. Beliau menyatakan:

“Kata ‘sulṭān’ pada mulanya berarti bukti atau keterangan yang sangat kuat. Dari sini ia dipahami juga dalam arti kekuasaan. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia dan jin hanya dapat melintasi dan menembus penjuru-penjuru langit dan bumi dalam arti mengetahui rahasia-rahasianya bila mereka memiliki sulṭān, yakni ilmu pengetahuan dan kemampuan teknologis yang memadai.” (Shihab, 2002)

Sejalan dengan penafsiran kontemporer, Mohammad Asad dalam “The Message of the Qur’an” menjelaskan bahwa ayat ini merupakan isyarat tentang kemungkinan manusia untuk menjelajahi ruang angkasa dengan bantuan ilmu pengetahuan (Asad, 1980, p. 824). Interpretasi ini memperlihatkan bagaimana ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M telah mengantisipasi pencapaian ilmiah umat manusia berabad-abad kemudian.

Analisis linguistik dan tafsir di atas menunjukkan bahwa Surah Ar-Raḥmān ayat 33 memuat pesan multidimensional tentang hubungan antara eksplorasi kosmik, pencarian ilmu pengetahuan, dan ketergantungan pada anugerah ilahi. Ayat ini tidak hanya merupakan tantangan, tetapi juga motivasi bagi umat manusia untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai manifestasi dari “sulṭān” yang dianugerahkan Allah SWT.

Konsep “Sulṭān” dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis

Kata “sulṭān” dalam Al-Qur’an muncul sebanyak 37 kali dengan berbagai derivasinya. Penggunaannya tidak terbatas pada makna otoritas politik sebagaimana yang umum dipahami dalam konteks modern, tetapi memiliki spektrum makna yang lebih luas. Untuk memahami secara komprehensif konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33, perlu dilakukan kajian tematik terhadap penggunaan kata ini dalam keseluruhan teks Al-Qur’an dan Hadis.

Dalam Al-Qur’an, kata “sulṭān” sering digunakan dalam konteks bukti atau otoritas yang bersumber dari Allah. Misalnya, dalam Surah Al-Isrā’ ayat 80, Allah SWT berfirman:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

“Dan katakanlah (Muhammad), ‘Ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.’” (Al-Isrā’ [17]:80)

Imam Ibn Kathīr (w. 774 H) dalam tafsirnya menyatakan bahwa “sulṭān” dalam ayat ini berarti hujjah (argumen) yang jelas dan kuat, serta kekuatan dan pertolongan dari Allah (Ibn Kathīr, 1999, vol. 5, p. 113). Interpretasi ini memperkuat pemahaman bahwa “sulṭān” merepresentasikan kekuatan yang bersumber dari Allah, yang melampaui kapasitas manusiawi biasa.

Dalam Surah Hūd ayat 96, kata “sulṭān” digunakan dalam konteks mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa AS:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَىٰ بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan bukti yang nyata (sulṭān mubīn).” (Hūd [11]:96)

Al-Qurṭubī (w. 671 H) dalam tafsirnya “Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sulṭān mubīn” adalah bukti-bukti kuat yang membenarkan kenabian Musa AS, termasuk mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya (Al-Qurṭubī, 2006, vol. 9, p. 95). Ini menunjukkan bahwa “sulṭān” juga berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada para nabi-Nya.

Dalam tradisi hadis, konsep “sulṭān” sebagai kekuatan ilmu juga mendapat penekanan. Imam al-Bukhārī dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak ada hasad (iri yang dibenarkan) kecuali dalam dua hal: seseorang yang Allah berikan harta lalu dia diberi kekuasaan (sulliṭa) untuk membelanjakannya dalam kebenaran, dan seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 1409 dan Muslim no. 816)

Dalam hadis ini, derivasi kata “sulṭān” yaitu “sulliṭa” digunakan dalam konteks pemberian kemampuan atau kekuasaan untuk menggunakan harta dalam kebenaran. Secara implisit, hadis ini menegaskan bahwa ilmu (hikmah) dan kemampuan material merupakan bentuk “sulṭān” yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih.

Imam al-Ghazālī (w. 505 H) dalam magnum opusnya “Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn” mengembangkan konsep “sulṭān al-‘ilm” (kekuatan ilmu) yang ia gambarkan sebagai kekuatan yang memungkinkan manusia menguasai berbagai bidang kehidupan, baik material maupun spiritual. Beliau menulis:

“Ilmu adalah kekuatan (sulṭān) yang dengannya manusia dapat menguasai alam semesta, sebagaimana Allah telah menundukkan langit dan bumi untuk manusia. Maka, barangsiapa yang diberi ilmu, sesungguhnya dia telah diberi kekuatan yang besar.” (Al-Ghazālī, 2010, vol. 1, p. 27)

Perspektif Al-Ghazālī ini sangat relevan dengan penafsiran “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 sebagai kekuatan ilmu yang memungkinkan eksplorasi kosmik.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) dalam kitabnya “Miftāḥ Dār al-Sa’ādah” membahas hubungan antara ilmu dan kekuatan (sulṭān), dengan menyatakan:

“Ilmu adalah kekuatan yang dengannya Allah mengangkat derajat para ulama, sebagaimana kekuasaan adalah kekuatan yang dengannya Allah mengangkat para raja. Bedanya, kekuatan ilmu bersifat intrinsik dan abadi, sementara kekuatan kekuasaan bersifat eksternal dan sementara.” (Ibn Qayyim, 1996, vol. 1, p. 178)

Dalam konteks modern, Muhammad Rashid Rida (w. 1935 M) dalam tafsirnya “Al-Manār” melihat “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 sebagai isyarat kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan manusia menjelajahi ruang angkasa. Beliau menulis:

“Ayat ini mengandung isyarat ilmiah yang menakjubkan tentang kemungkinan manusia melakukan perjalanan ke luar angkasa dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan manifestasi dari ‘sulṭān’ yang disebutkan dalam ayat.” (Rida, 1990, vol. 11, p. 401)

Berdasarkan eksplorasi konseptual di atas, dapat disimpulkan bahwa “sulṭān” dalam konteks Surah Ar-Raḥmān ayat 33 merujuk pada otoritas, kekuatan, atau kemampuan multidimensional yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang mencakup:

  1. Ilmu pengetahuan teoretis yang memungkinkan pemahaman mendalam tentang hukum-hukum alam
  2. Kemampuan teknologis untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut
  3. Kekuatan spiritual dan moral yang mengarahkan penggunaan ilmu sesuai dengan kehendak Allah
  4. Izin dan pertolongan Allah yang memungkinkan kesuksesan dalam eksplorasi kosmik

Keempat dimensi “sulṭān” ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan dan penerapannya. Tanpa salah satu dari dimensi ini, upaya eksplorasi kosmik atau pencapaian ilmiah lainnya akan timpang dan berpotensi membawa kerusakan.

Dimensi Epistemologis Islam: Ilmu sebagai Manifestasi “Sulān”

Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Al-Qur’an dan Hadis penuh dengan dorongan untuk mencari dan mengembangkan ilmu. Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca (iqra’), yang menekankan pentingnya literasi dan pembelajaran. Hal ini menegaskan bahwa dalam pandangan Islam, pencarian ilmu bukan hanya diizinkan tetapi diwajibkan sebagai bagian integral dari keimanan.

Imam Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “العلم سلطان من وجده صال به ومن لم يجده صيل عليه” (Al-‘ilmu sulṭānun man wajadahu ṣāla bihi wa man lam yajidhu ṣīla ‘alayhi) yang berarti “Ilmu adalah kekuatan, barangsiapa memilikinya maka ia akan dominan, dan barangsiapa tidak memilikinya maka ia akan didominasi” (Al-Jāḥiẓ, 1998, vol. 1, p. 212). Ungkapan ini secara eksplisit menghubungkan konsep ilmu dengan “sulṭān” (kekuatan atau otoritas), yang sejalan dengan penggunaan kata tersebut dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33.

Dalam perspektif epistemologi Islam, ilmu tidak dilihat semata-mata sebagai konstruksi manusiawi, tetapi sebagai anugerah ilahi yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 31:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!’” (Al-Baqarah [2]:31)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia, sejak Nabi Adam AS, telah dibekali dengan kemampuan konseptual dan linguistik untuk memahami dan menamai realitas. Inilah yang menjadi dasar epistemologis bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Kemampuan ini merupakan manifestasi awal dari “sulṭān” yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, konsep “sulṭān” sebagai kekuatan ilmu dikembangkan secara sistematis oleh berbagai ulama. Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M), misalnya, dalam magnum opusnya “Al-Shifā’” mengembangkan teori tentang hierarki ilmu yang mencerminkan hierarki realitas. Menurut Ibn Sina, penguasaan terhadap hierarki ilmu ini memberikan manusia semacam “sulṭān” atau otoritas epistemologis untuk memahami dan mengelola alam semesta (Ibn Sina, 1952, vol. 1, p. 14).

Al-Biruni (w. 1048 M), ilmuwan Muslim multidisipliner, dalam karyanya “Al-Qānūn al-Mas’ūdī” mengembangkan konsep “sulṭān al-burhān” (kekuatan bukti) yang menurutnya menjadi dasar bagi setiap klaim ilmiah yang valid. Ia menulis:

“Setiap klaim ilmiah harus ditopang oleh sulṭān al-burhān (kekuatan bukti) yang tak terbantahkan. Tanpa ini, klaim tersebut hanyalah dugaan yang tidak layak disebut sebagai ilmu.” (Al-Biruni, 1954, p. 76)

Dalam konteks modern, Muhammad Iqbal (w. 1938 M) dalam karyanya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” melihat ilmu empiris sebagai salah satu manifestasi dari “sulṭān” yang memungkinkan manusia memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda Allah di alam semesta). Iqbal menulis:

“Ilmu pengetahuan modern, meskipun terbatas pada aspek fenomenal dari realitas, merupakan salah satu cara terpenting bagi manusia modern untuk memperoleh ‘sulṭān’ atau otoritas epistemik yang memungkinkannya memahami dan mengelola alam semesta sebagai khalifah Allah.” (Iqbal, 1989, p. 155)

Sementara itu, Ismail Raji al-Faruqi (w. 1986 M), dalam mengembangkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, menekankan bahwa ilmu dalam perspektif Islam harus menjadi “sulṭān” yang tidak hanya memberikan kekuatan material tetapi juga kekuatan moral dan spiritual. Al-Faruqi menulis:

“Ilmu dalam Islam bukan sekadar alat untuk menguasai alam, tetapi juga untuk mengenali dan menghormati tanda-tanda kebesaran Allah di dalamnya. Inilah makna sejati dari ‘sulṭān’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an.” (Al-Faruqi, 1982, p. 38)

Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbandingan konsep “sulṭān” dalam epistemologi Islam klasik dan modern:

AspekEpistemologi KlasikEpistemologi Modern
Sumber “Sulṭān”Wahyu dan akal yang diilhami wahyuWahyu, akal, dan observasi empiris
Tujuan “Sulṭān”Ma’rifatullah (pengenalan Allah)Ma’rifatullah dan pengelolaan alam semesta
Metode PemerolehanTafsir, penalaran deduktif, observasi terbatasMetode ilmiah, eksperimen, teknologi canggih
ManifestasiKarya-karya filsafat dan teologiPencapaian ilmiah dan teknologi
Batasan EtisSyariah sebagai kerangka tetapReinterpretasi syariah dalam konteks modern

Sumber: Diadaptasi dari Bakar, O. (1999). The History and Philosophy of Islamic Science. Islamic Texts Society.

Dalam konteks Surah Ar-Raḥmān ayat 33, konsep “sulṭān” sebagai kekuatan ilmu memiliki implikasi epistemologis yang mendalam. Ayat ini menegaskan bahwa eksplorasi kosmik dan pencapaian ilmiah tingkat tinggi hanya mungkin dilakukan dengan “sulṭān” atau otoritas epistemik yang dianugerahkan Allah. Ini mengisyaratkan bahwa dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan bukanlah konstruksi manusia semata, tetapi merupakan anugerah ilahi yang harus digunakan sesuai dengan kehendak-Nya.

Lebih jauh lagi, ayat ini juga mengisyaratkan bahwa “sulṭān” yang dibutuhkan untuk eksplorasi kosmik tidak terbatas pada aspek material dan teknologis, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan moral. Tanpa dimensi ini, pencapaian ilmiah berpotensi menjadi bumerang yang membahayakan kemanusiaan, sebagaimana terbukti dalam berbagai tragedi yang diakibatkan oleh penyalahgunaan teknologi dalam sejarah modern.

Eksplorasi Kosmik dan Interpretasi Saintifik Ar-Raḥmān 55:33

Ayat 33 dari Surah Ar-Raḥmān telah menjadi objek kajian menarik bagi para ilmuwan Muslim kontemporer yang berusaha memahami isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an. Secara khusus, ayat ini dipandang sebagai prediksi atau isyarat tentang kemampuan manusia untuk melakukan eksplorasi luar angkasa, yang baru terealisasi pada pertengahan abad ke-20, berabad-abad setelah Al-Qur’an diturunkan.

Zagloul El-Naggar, seorang geolog dan sarjana Muslim dalam bidang tafsir ilmiah, dalam bukunya “Treasures in the Sunnah: A Scientific Approach”, menafsirkan ayat ini sebagai isyarat eksplisit tentang eksplorasi ruang angkasa. Ia menulis:

“Surah Ar-Raḥmān ayat 33 secara jelas mengindikasikan bahwa manusia dan jin memiliki kemampuan potensial untuk menembus ruang, tetapi hanya dengan bantuan dan izin Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi (‘sulṭān’). Prediksi Al-Qur’an ini terbukti dengan pencapaian manusia dalam eksplorasi ruang angkasa sejak pertengahan abad ke-20.” (El-Naggar, 2005, p. 236)

Maurice Bucaille, seorang dokter bedah Prancis yang melakukan kajian mendalam tentang aspek ilmiah dalam Al-Qur’an, dalam bukunya “The Bible, The Qur’an and Science” juga mencatat bahwa ayat ini mengandung prediksi ilmiah yang luar biasa:

“Ayat 33 dari Surah Ar-Raḥmān tampak mengantisipasi eksplorasi ruang angkasa oleh manusia dengan menyatakan bahwa hal itu hanya mungkin dilakukan dengan ‘sulṭān’ (kekuatan atau otoritas). Ini adalah salah satu contoh bagaimana Al-Qur’an mengandung pernyataan yang tidak mungkin dibuat oleh manusia pada abad ke-7, yang kemudian terbukti sesuai dengan penemuan ilmiah modern.” (Bucaille, 2003, p. 153)

Dalam konteks sains modern, “sulṭān” yang disebutkan dalam ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai berbagai disiplin ilmu dan teknologi yang memungkinkan eksplorasi ruang angkasa, antara lain:

  1. Fisika teoretis, khususnya teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum, yang memberikan pemahaman fundamental tentang ruang, waktu, dan materi
  2. Matematika tingkat tinggi yang memungkinkan kalkulasi orbit dan lintasan antariksa
  3. Ilmu material yang memungkinkan konstruksi wahana antariksa yang tahan terhadap kondisi ekstrem
  4. Teknologi propulsi yang memungkinkan wahana antariksa mencapai kecepatan yang diperlukan untuk meninggalkan atmosfer bumi
  5. Sistem komunikasi canggih yang memungkinkan kendali jarak jauh dan transmisi data dari luar angkasa

Tabel 2 di bawah ini menunjukkan hubungan antara konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 dan pencapaian ilmiah dalam eksplorasi ruang angkasa:

Manifestasi “Sulṭān”Pencapaian IlmiahTahunNegara/Badan
Pemahaman gravitasiPeluncuran satelit pertama (Sputnik 1)1957Uni Soviet
Teknologi propulsiManusia pertama di ruang angkasa (Yuri Gagarin)1961Uni Soviet
Matematika orbitManusia pertama di bulan (Apollo 11)1969Amerika Serikat
Ilmu materialStasiun luar angkasa (MIR, ISS)1986-2000Internasional
Teknologi robotikaPenjelajah Mars (Mars Rover)1997-sekarangAmerika Serikat
Teknologi teleskopTeleskop Hubble dan James Webb1990-2022Internasional
Fisika partikelAkselerator partikel (LHC)2008CERN

Sumber: Diadaptasi dari National Aeronautics and Space Administration. (2022). Space Exploration Timeline. NASA Historical Archives.

Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi saintifik dari ayat Al-Qur’an harus dilakukan dengan hati-hati dan metodologi yang ketat. Syed Hossein Nasr, seorang filsuf dan sarjana Islam terkemuka, dalam bukunya “Islam and Science” memperingatkan tentang bahaya over-interpretasi:

“Meskipun Al-Qur’an mengandung isyarat ilmiah yang menakjubkan, kita harus berhati-hati untuk tidak memaksakan teori ilmiah kontemporer ke dalam Al-Qur’an, mengingat teori-teori tersebut bersifat tentatif dan dapat berubah. Pendekatan yang bijak adalah melihat isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an sebagai stimulus untuk eksplorasi ilmiah, bukan sebagai konfirmasi a priori atas teori spesifik.” (Nasr, 2007, p. 189)

Dalam konteks eksplorasi kosmik modern, ayat ini juga mengandung peringatan implisit tentang keterbatasan manusia. Klausa “لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ” (lā tanfudhūna illā bi-sulṭān) menegaskan bahwa eksplorasi tersebut hanya mungkin dengan “sulṭān” atau kekuatan dari Allah. Ini mengisyaratkan bahwa meskipun manusia dapat mencapai kemajuan teknologi yang luar biasa, mereka tetap bergantung pada hukum-hukum alam yang ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat melampauinya.

Mehdi Golshani, fisikawan teoretis dan filsuf ilmu Iran, dalam bukunya “The Holy Quran and the Sciences of Nature” mengembangkan perspektif ini lebih jauh:

“Ayat 33 Surah Ar-Raḥmān mengakui kemampuan manusia untuk eksplorasi kosmik, tetapi pada saat yang sama menegaskan ketergantungan mereka pada ‘sulṭān’ ilahi. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah kekuatan yang sepenuhnya otonom, tetapi merupakan manifestasi dari hukum-hukum Allah yang memungkinkan manusia memahami dan mengelola alam semesta sebagai khalifah-Nya.” (Golshani, 2012, p. 167)

Interpretasi saintifik atas Surah Ar-Raḥmān ayat 33 ini memberikan legitimasi teologis bagi umat Islam untuk aktif dalam pengembangan sains dan teknologi. Ayat ini menegaskan bahwa eksplorasi kosmik dan pencapaian ilmiah tingkat tinggi bukan hanya kompatibel dengan keimanan Islam, tetapi bahkan dapat dilihat sebagai bentuk ibadah dan pelaksanaan peran kekhalifahan manusia di muka bumi.

Implikasi Edukasional: Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis “Sulṭān”

Konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 memiliki implikasi mendalam bagi pengembangan sistem pendidikan Islam. Jika “sulṭān” dimaknai sebagai kekuatan ilmu yang memungkinkan eksplorasi kosmik dan pencapaian ilmiah tingkat tinggi, maka sistem pendidikan Islam seharusnya dirancang untuk mengembangkan “sulṭān” ini pada diri peserta didik.

Imam Al-Zarnuji (w. sekitar 620 H) dalam kitabnya “Ta’līm al-Muta’allim Ṭarīq at-Ta’allum” menekankan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk mencapai “sulṭān al-‘ilm” (kekuatan ilmu) yang memungkinkan seseorang menjadi hamba Allah yang sempurna (Al-Zarnuji, 1981, p. 10). Menurut Al-Zarnuji, untuk mencapai “sulṭān al-‘ilm” ini, seorang pelajar harus mengintegrasikan dimensi intelektual, spiritual, dan moral dalam proses pembelajaran.

Dalam konteks modern, Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya “The Concept of Education in Islam” mengembangkan konsep ta’dīb yang mencakup dimensi intelektual, spiritual, dan moral pendidikan. Al-Attas menulis:

“Pendidikan Islam sejati adalah proses penanaman adab, yang mencakup pengetahuan, kebijaksanaan, dan praktik yang memungkinkan seseorang mengenali dan mengakui tempatnya yang tepat dalam tatanan eksistensi. Inilah yang memungkinkan seseorang memperoleh ‘sulṭān’ atau otoritas yang benar dalam ilmu dan tindakannya.” (Al-Attas, 1999, p. 78)

Ismail Raji al-Faruqi, dalam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, menekankan pentingnya mengintegrasikan wahyu dan akal, serta nilai-nilai Islam dan metodologi ilmiah modern. Al-Faruqi menulis:

“Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memberikan ‘sulṭān’ atau otoritas epistemik kepada umat Islam, yang memungkinkan mereka mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan sesuai dengan pandangan dunia Islam.” (Al-Faruqi, 1982, p. 38)

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, sistem pendidikan Islam yang berbasis konsep “sulṭān” sebagaimana tersirat dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 seharusnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Integrasi ilmu naqliyyah (berdasarkan wahyu) dan ilmu ‘aqliyyah (berdasarkan akal): Sistem pendidikan harus memastikan bahwa peserta didik menguasai baik ilmu-ilmu yang bersumber dari wahyu (seperti tafsir, hadis, fiqh) maupun ilmu-ilmu yang dikembangkan melalui penalaran dan observasi empiris (seperti matematika, fisika, biologi).
  2. Pendekatan interdisipliner: Mengingat kompleksitas eksplorasi kosmik dan pencapaian ilmiah tingkat tinggi, sistem pendidikan harus menghindari kompartementalisasi ilmu dan mengembangkan pendekatan interdisipliner yang memungkinkan peserta didik melihat koneksi antara berbagai disiplin ilmu.
  3. Pengembangan keterampilan penelitian dan inovasi: Sistem pendidikan harus mendorong kreativitas, pemikiran kritis, dan keterampilan penelitian yang memungkinkan peserta didik berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.
  4. Penanaman nilai-nilai etis dan spiritual: Mengingat bahwa “sulṭān” dalam perspektif Islam tidak hanya mencakup dimensi material tetapi juga spiritual dan moral, sistem pendidikan harus memastikan bahwa peserta didik memahami implikasi etis dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
  5. Relevansi dengan kebutuhan kontemporer: Sistem pendidikan harus responsif terhadap tantangan dan kebutuhan zaman, memastikan bahwa kurikulum dan metode pembelajaran selalu diperbarui untuk mencerminkan perkembangan terkini dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah berkata: “من أراد الدنيا فعليه بالعلم، ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم، ومن أرادهما فعليه بالعلم” (Man arāda ad-dunyā fa’alayhi bil-‘ilm, wa man arāda al-ākhirata fa’alayhi bil-‘ilm, wa man arādahumā fa’alayhi bil-‘ilm) yang berarti “Barangsiapa menginginkan dunia, hendaklah ia berilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, hendaklah ia berilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, hendaklah ia berilmu” (As-Suyuti, 1996, vol. 1, p. 263). Ungkapan ini menegaskan peran sentral ilmu dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang sejalan dengan konsep “sulṭān” sebagai kekuatan ilmu yang memungkinkan eksplorasi kosmik dan pencapaian spiritual.

Dalam praktiknya, pengembangan sistem pendidikan berbasis “sulṭān” ini menuntut reformasi komprehensif dalam berbagai aspek pendidikan, mulai dari filosofi dan tujuan pendidikan, struktur kurikulum, metode pembelajaran, hingga evaluasi dan penilaian. Reformasi ini harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang konsep “sulṭān” dalam Al-Qur’an dan tradisi intelektual Islam, serta kesadaran tentang tantangan kontemporer dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kontekstualisasi “Sulān” dalam Era Revolusi Industri 4.0

Era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan integrasi teknologi digital, kecerdasan buatan, internet of things, dan big data analytic menghadirkan konteks baru untuk memahami konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33. Dalam era ini, “sulṭān” atau kekuatan ilmu memiliki manifestasi yang semakin kompleks dan multidimensional.

Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer, dalam bukunya “Al-‘Aql wa al-‘Ilm fī al-Qur’ān al-Karīm” menekankan pentingnya umat Islam untuk aktif terlibat dalam pengembangan teknologi sebagai manifestasi dari “sulṭān” yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Al-Qaradawi menulis:

“Di era modern ini, ‘sulṭān’ yang memungkinkan eksplorasi kosmik sebagaimana disebutkan dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 termanifestasi dalam bentuk kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi ruang angkasa. Umat Islam harus menjadi bagian aktif dalam pengembangan teknologi ini jika ingin memenuhi peran mereka sebagai khalifah Allah di muka bumi.” (Al-Qaradawi, 2001, p. 312)

Dalam konteks Revolusi Industri 4.0, konsep “sulṭān” sebagai kekuatan ilmu dapat dipahami dalam beberapa dimensi:

  1. Big Data sebagai Bentuk “Sulṭān” Modern: Kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis data dalam jumlah masif merupakan bentuk “sulṭān” atau kekuatan baru yang memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai fenomena, mulai dari perilaku konsumen hingga dinamika galaksi.
  2. Kecerdasan Buatan (AI) sebagai Ekstensi “Sulṭān”: Pengembangan sistem AI yang mampu belajar dan beradaptasi secara mandiri dapat dilihat sebagai ekstensi dari “sulṭān” atau kemampuan intelektual manusia, memungkinkan eksplorasi dan pemecahan masalah yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
  3. Internet of Things (IoT) sebagai Jaringan “Sulṭān”: Interkoneksi berbagai perangkat melalui internet memungkinkan tingkat kontrol dan pemantauan yang belum pernah ada sebelumnya, yang dapat dilihat sebagai manifestasi dari “sulṭān” atau otoritas manusia atas lingkungan fisiknya.
  4. Bioteknologi sebagai “Sulṭān” atas Kehidupan: Kemampuan untuk memanipulasi DNA dan mengembangkan organisme termodifikasi genetik merepresentasikan bentuk “sulṭān” atau kekuasaan baru atas proses kehidupan itu sendiri.

Tariq Ramadan, seorang pemikir Islam kontemporer, dalam bukunya “Islam and the Arab Awakening” menekankan pentingnya dimensi etis dalam pengembangan dan penggunaan teknologi. Ramadan menulis:

“‘Sulṭān’ atau kekuatan teknologi yang kita miliki di era digital ini harus diimbangi dengan kerangka etis yang kuat, yang berakar pada nilai-nilai Islam seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (wasaṭiyyah), dan tanggung jawab (amānah). Tanpa ini, teknologi berpotensi menjadi alat penindasan dan eksploitasi, bukan pembebasan dan pemberdayaan.” (Ramadan, 2012, p. 167)

Dalam konteks eksplorasi kosmik kontemporer, konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 memperoleh dimensi baru dengan perkembangan seperti:

  1. Misi ke Mars dan ambisi kolonisasi planet lain
  2. Pengembangan teleskop luar angkasa yang semakin canggih seperti James Webb Space Telescope
  3. Studi tentang energi gelap dan materi gelap yang mendominasi alam semesta
  4. Pengembangan teknologi propulsi baru untuk perjalanan antariksa yang lebih jauh

Ziauddin Sardar, seorang sarjana futuristik Islam, dalam bukunya “Explorations in Islamic Science” mengembangkan konsep “sulṭān al-mustaqbal” (kekuatan masa depan) yang menurutnya harus dikembangkan oleh umat Islam dalam menghadapi tantangan teknologi. Sardar menulis:

“‘Sulṭān al-mustaqbal’ atau kekuatan untuk membentuk masa depan menuntut umat Islam untuk tidak hanya menjadi konsumen tetapi juga produsen teknologi. Ini memerlukan investasi besar dalam pendidikan STEM, pengembangan infrastruktur penelitian, dan yang terpenting, pengembangan epistemologi Islam kontemporer yang dapat memandu arah dan aplikasi teknologi.” (Sardar, 1989, p. 243)

Kontekstualisasi konsep “sulṭān” dalam era Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi penting bagi umat Islam, antara lain:

  1. Urgensi pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam
  2. Pentingnya pengembangan kerangka etis untuk teknologi baru seperti AI, bioteknologi, dan nanoteknologi
  3. Kebutuhan akan reinterpretasi konsep khalifah (pengelolaan) dalam konteks kemampuan teknologi yang semakin besar untuk memanipulasi alam
  4. Pengembangan model tata kelola teknologi yang sejalan dengan nilai-nilai maqāṣid al-syarī’ah (tujuan-tujuan syariah)
  5. Perlunya dialog interdisipliner antara ulama, ilmuwan, dan pemangku kebijakan dalam mengarahkan perkembangan teknologi

Dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, umat Islam perlu mengembangkan pemahaman yang lebih dinamis dan kontekstual tentang konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33. Pemahaman ini harus mencakup tidak hanya dimensi material dan teknologis tetapi juga dimensi spiritual, etis, dan sosial yang memungkinkan teknologi menjadi sarana untuk mewujudkan misi kekhalifahan manusia di muka bumi.

Tantangan dan Prospek: Pencapaian “Sulān” di Dunia Muslim Kontemporer

Meskipun Al-Qur’an dan tradisi intelektual Islam memberikan dorongan kuat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kondisi aktual dunia Muslim kontemporer menunjukkan kesenjangan yang signifikan dengan negara-negara maju dalam hal pencapaian ilmiah dan teknologi. Kondisi ini menciptakan disonansi antara aspirasi ideal yang tercermin dalam konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 dengan realitas kontemporer.

Abdus Salam, fisikawan Muslim peraih Nobel, dalam berbagai tulisannya menyoroti paradoks ini. Dalam sebuah ceramah berjudul “Islam and Science”, Salam menyatakan:

“Tragedi terbesar dalam sejarah intelektual Islam adalah kenyataan bahwa peradaban yang pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia selama berabad-abad kini tertinggal jauh di belakang dalam pengembangan sains modern. Padahal, tidak ada kontradiksi inherent antara Islam dan sains; sebaliknya, Al-Qur’an mendorong pencarian ilmu sebagai bentuk ibadah.” (Salam, 1987, p. 179)

Pergulatan dunia Muslim kontemporer dalam mencapai “sulṭān” atau keunggulan ilmiah dan teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks, antara lain:

  1. Faktor historis: Kolonialisme dan imperialisme Barat yang berlangsung selama berabad-abad telah mengganggu keberlanjutan tradisi intelektual Islam dan menciptakan ketergantungan epistemologis pada Barat.
  2. Faktor institusional: Kurangnya investasi dalam infrastruktur penelitian, pendidikan tinggi yang lemah, dan terbatasnya kolaborasi ilmiah internasional.
  3. Faktor sosiokultural: Interpretasi agama yang cenderung konservatif yang kadang memandang sains modern dengan kecurigaan, serta dikotomi yang tidak sehat antara ilmu “agama” dan ilmu “sekuler”.
  4. Faktor ekonomi-politik: Ketidakstabilan politik, konflik berkepanjangan, dan pengelolaan sumber daya yang buruk di banyak negara Muslim.

Nidhal Guessoum, seorang astrofisikawan dan sarjana Islam kontemporer, dalam bukunya “Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science” menawarkan diagnosis dan preskripsi untuk tantangan ini:

“Untuk mencapai ‘sulṭān’ atau keunggulan ilmiah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, dunia Muslim perlu melakukan reformasi pendidikan yang komprehensif, mengembangkan budaya penelitian yang kuat, mengatasi dikotomi ilmu ‘agama’ dan ‘sekuler’, serta mengembangkan teologi Islam yang lebih terbuka terhadap sains modern tanpa kehilangan identitas keislamannya.” (Guessoum, 2011, p. 342)

Meskipun menghadapi tantangan yang signifikan, terdapat beberapa perkembangan positif di dunia Muslim kontemporer yang mencerminkan upaya untuk mencapai “sulṭān” atau keunggulan ilmiah, antara lain:

  1. Pengembangan pusat-pusat keunggulan ilmiah di beberapa negara Muslim, seperti King Abdullah University of Science and Technology (KAUST) di Arab Saudi, Qatar Foundation di Qatar, dan Institut Teknologi Bandung di Indonesia.
  2. Peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan di beberapa negara seperti Malaysia, Turki, dan Uni Emirat Arab.
  3. Munculnya gerakan “Islam and Science” yang berupaya membangun dialog konstruktif antara tradisi intelektual Islam dan sains modern.
  4. Keberhasilan beberapa sarjana Muslim dalam bidang-bidang ilmiah di tingkat internasional, seperti Ahmed Zewail (kimia), Aziz Sancar (kimia), dan Muhammad Yunus (ekonomi).

Ehsan Masood, seorang jurnalis sains dan penulis, dalam bukunya “Science and Islam: A History” menekankan pentingnya memahami sejarah keemasan sains Islam sebagai sumber inspirasi untuk kebangkitan kontemporer:

“Memahami bagaimana sarjana Muslim di masa lalu mencapai ‘sulṭān’ atau keunggulan ilmiah dapat memberikan wawasan berharga tentang bagaimana umat Islam kontemporer dapat melakukannya kembali. Kisah sains Islam bukanlah sekadar nostalgia, tetapi sumber inspirasi dan pembelajaran untuk masa depan.” (Masood, 2009, p. 214)

Untuk mencapai “sulṭān” atau keunggulan ilmiah yang diisyaratkan dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33, dunia Muslim kontemporer perlu mengembangkan strategi komprehensif yang mencakup:

  1. Reformasi pendidikan yang menekankan pemikiran kritis, inovasi, dan penelitian
  2. Pengembangan ekosistem inovasi yang mendorong kewirausahaan berbasis teknologi
  3. Peningkatan kolaborasi ilmiah internasional dan partisipasi dalam proyek-proyek ilmiah global
  4. Pengembangan teologi Islam yang mengapresiasi sains modern sebagai cara memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda Allah di alam semesta)
  5. Pembangunan kapasitas institusional untuk mendukung penelitian dan pengembangan jangka panjang

Muhammad Iqbal dalam syairnya yang terkenal menulis:

“خودی کو کر بلند اتنا کہ ہر تقدیر سے پہلے خدا بندے سے خود پوچھے بتا تیری رضا کیا ہے”

“Kembangkan dirimu sedemikian rupa sehingga sebelum setiap takdir ditetapkan, Tuhan sendiri bertanya kepada hamba-Nya: ‘Katakan, apa yang kau kehendaki?’” (Iqbal, 1924, p. 12)

Syair ini mengisyaratkan bahwa pencapaian “sulṭān” atau keunggulan ilmiah bukanlah sekadar untuk kepentingan material, tetapi merupakan bagian dari proses pengembangan diri dan masyarakat untuk mencapai tingkat keunggulan yang memungkinkan umat Islam menjadi mitra Allah dalam mewujudkan kehendak-Nya di muka bumi, sebagaimana diisyaratkan dalam konsep kekhalifahan.

Kesimpulan: Menuju Pencapaian “Sulān” sebagai Manifestasi Kekhalifahan

Eksplorasi mendalam terhadap konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 telah mengungkapkan dimensi-dimensi yang kaya dan relevan dengan konteks keilmuan Islam kontemporer. Ayat yang berbunyi “يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ” (Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah)) mengandung pesan multidimensional tentang hubungan antara eksplorasi kosmik, pencarian ilmu pengetahuan, dan ketergantungan pada anugerah ilahi.

Kata kunci “sulṭān” dalam ayat ini, sebagaimana telah dibahas secara komprehensif, memiliki spektrum makna yang luas, mencakup kekuatan ilmu pengetahuan, kemampuan teknologi, otoritas epistemik, dan izin atau pertolongan Allah. Dalam konteks peradaban kontemporer, “sulṭān” ini termanifestasi dalam berbagai pencapaian ilmiah dan teknologi yang memungkinkan manusia menjelajahi ruang angkasa dan memahami rahasia-rahasia alam semesta yang sebelumnya tidak terjangkau.

Implikasi dari pemahaman ini sangat luas, mencakup dimensi teologis, epistemologis, edukasional, dan sosiopolitik. Secara teologis, ayat ini menegaskan bahwa pencarian ilmu pengetahuan dan eksplorasi kosmik tidak bertentangan dengan keimanan, melainkan merupakan bentuk pelaksanaan peran kekhalifahan manusia di muka bumi. Secara epistemologis, ayat ini memberikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang terintegrasi, yang mengatasi dikotomi antara ilmu “agama” dan ilmu “sekuler”. Secara edukasional, ayat ini menuntut reformasi sistem pendidikan yang memungkinkan pengembangan “sulṭān” atau keunggulan ilmiah pada diri peserta didik. Dan secara sosiopolitik, ayat ini memotivasi masyarakat Muslim untuk aktif dalam pengembangan sains dan teknologi sebagai manifestasi dari misi kekhalifahan.

Namun, sebagaimana dibahas dalam bab ini, pencapaian “sulṭān” atau keunggulan ilmiah ini tidak bebas nilai. Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan dan digunakan dalam kerangka nilai-nilai etis dan spiritual yang bersumber dari wahyu. Konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 bukan semata-mata kekuatan material, tetapi juga mencakup dimensi moral dan spiritual yang mengarahkan penggunaan kekuatan tersebut sesuai dengan kehendak Allah.

Dalam konteks dunia Muslim kontemporer yang menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangan sains dan teknologi, ayat ini memberikan inspirasi dan motivasi untuk terus berupaya mencapai keunggulan ilmiah sebagai bagian dari misi kekhalifahan. Meskipun menghadapi kendala historis, institusional, dan sosiokultural, umat Islam memiliki sumber daya konseptual yang kaya dalam tradisi intelektual mereka, termasuk konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33, yang dapat menjadi fondasi bagi kebangkitan ilmiah di masa depan.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa konsep “sulṭān” dalam Surah Ar-Raḥmān ayat 33 merupakan undangan ilahi bagi umat manusia, khususnya umat Islam, untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai manifestasi dari peran kekhalifahan. Undangan ini bukan hanya tentang eksplorasi fisik terhadap alam semesta, tetapi juga tentang eksplorasi intelektual dan spiritual yang memungkinkan manusia memahami dan mengapresiasi tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Sebagaimana diungkapkan dalam Surah Fuṣṣilat ayat 53:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fuṣṣilat [41]:53)

Pencapaian “sulṭān” atau keunggulan ilmiah, dengan demikian, bukan semata-mata tentang kekuasaan atau dominasi, tetapi tentang kemampuan untuk membaca dan memahami “ayat-ayat” atau tanda-tanda Allah di alam semesta, yang pada gilirannya menuntun pada pengenalan yang lebih dalam terhadap Allah SWT.

Daftar Pustaka

Al-Aṣfahānī, A. (2009). Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damaskus: Dār al-Qalam.

Al-Attas, S.M.N. (1999). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Biruni, A. (1954). Al-Qānūn al-Mas’ūdī. Hyderabad: Osmania Oriental Publications Bureau.

Al-Faruqi, I.R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Washington: International Institute of Islamic Thought.

Al-Ghazālī, A.H. (2010). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma’rifah.

Al-Jāḥiẓ, A.U. (1998). Al-Bayān wa al-Tabyīn. Cairo: Maktabat al-Khānjī.

Al-Qaradawi, Y. (2001). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fī al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Mu’assasat al-Risālah.

Al-Qurṭubī, M. (2006). Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān. Beirut: Mu’assasat al-Risālah.

Al-Rāzī, F. (2000). Mafātiḥ al-Ghayb. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Al-Zarnuji, B. (1981). Ta’līm al-Muta’allim Ṭarīq at-Ta’allum. Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.

As-Suyuti, J. (1996). Al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.

Az-Zamakhsyari, M. (2009). Al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Bakar, O. (1999). The History and Philosophy of Islamic Science. Cambridge: Islamic Texts Society.

Bucaille, M. (2003). The Bible, The Qur’an and Science. New York: Tahrike Tarsile Qur’an.

El-Naggar, Z. (2005). Treasures in the Sunnah: A Scientific Approach. Cairo: Al-Falah Foundation.

Golshani, M. (2012). The Holy Quran and the Sciences of Nature. Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies.

Guessoum, N. (2011). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. London: I.B. Tauris.

Ibn Kathīr, I. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyadh: Dār Ṭaybah.

Ibn Manẓūr, M. (1999). Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār Ṣādir.

Ibn Qayyim, M. (1996). Miftāḥ Dār al-Sa’ādah. Mecca: Dār ‘Ālam al-Fawā’id.

Ibn Sina, A. (1952). Al-Shifā’. Cairo: Al-Maṭba’ah al-Amīriyyah.

Iqbal, M. (1989). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Iqbal, M. (1924). Bāng-i Darā. Lahore: Sheikh Mubarak Ali.

Masood, E. (2009). Science and Islam: A History. London: Icon Books.

Nasr, S.H. (2007). Islam and Science. Chicago: ABC International Group.

National Aeronautics and Space Administration. (2022). Space Exploration Timeline. NASA Historical Archives.

Ramadan, T. (2012). Islam and the Arab Awakening. Oxford: Oxford University Press.

Rida, M.R. (1990). Tafsīr al-Manār. Cairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Āmmah li al-Kitāb.

Salam, A. (1987). Ideals and Realities: Selected Essays of Abdus Salam. Singapore: World Scientific.

Sardar, Z. (1989). Explorations in Islamic Science. London: Mansell.

Shihab, M.Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect