Filsafat Ilmu dalam Islam: Mengintegrasi Pengetahuan

Oleh

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pendahuluan

Diskursus mengenai filsafat ilmu dalam perspektif Islam merupakan upaya untuk memahami hakikat, sumber, metode, dan tujuan ilmu pengetahuan berdasarkan worldview Islam. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak hanya dipahami sebagai kumpulan pengetahuan yang terverifikasi melalui metode empiris semata, tetapi juga mencakup dimensi transenden yang bersumber dari wahyu Ilahi. Filsafat ilmu dalam Islam menawarkan suatu paradigma integratif yang menjembatani antara pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu (revealed knowledge) dan pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran dan pengalaman manusia (acquired knowledge). Paradigma ini dibangun di atas fondasi tauhid yang mengakui keesaan Allah sebagai sumber utama segala pengetahuan dan realitas.

Dalam peradaban Islam, tradisi filsafat ilmu telah berkembang secara dinamis sejak abad pertengahan hingga era kontemporer. Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rushd telah memberikan kontribusi signifikan dalam mengembangkan kerangka konseptual mengenai hakikat ilmu, metodologi penelitian, dan klasifikasi disiplin keilmuan. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh para pemikir kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Seyyed Hossein Nasr yang berupaya merevitalisasi tradisi epistemologi Islam dalam konteks modernitas.

Signifikansi kajian filsafat ilmu dalam perspektif Islam semakin relevan di tengah krisis epistemologis yang dihadapi dunia modern. Pandangan dualistik yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu sekuler, serta fragmentasi disiplin keilmuan, telah mengakibatkan hilangnya visi holistik tentang realitas dan pengetahuan. Dalam konteks ini, filsafat ilmu Islam menawarkan pendekatan integratif yang dapat menjembatani dikotomi tersebut dan menyediakan landasan etis-spiritual bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Artikel ini akan mengeksplorasi fondasi konseptual filsafat ilmu dalam Islam dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif Islam seperti Al-Quran, Hadis, serta karya-karya para ulama dan filsuf Muslim klasik maupun kontemporer. Pembahasannya akan mencakup aspek-aspek epistemologi, ontologi, dan aksiologi ilmu dalam perspektif Islam, serta implikasinya terhadap metodologi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di era kontemporer.

Konsep Dasar Ilmu dalam Islam

Dalam tradisi keilmuan Islam, konsep ilmu (‘ilm) memiliki makna yang jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep pengetahuan (knowledge) atau sains (science) dalam tradisi keilmuan Barat modern. Kata ‘ilm dalam bahasa Arab berasal dari akar kata ‘a-li-ma yang bermakna mengetahui, mengenal, atau memahami secara mendalam. Dalam Al-Quran, derivasi dari kata ‘ilm disebutkan lebih dari 800 kali, menunjukkan signifikansi ilmu dalam worldview Islam.

العلم نور يقذفه الله في قلب من يشاء

“Ilmu adalah cahaya yang Allah tanamkan dalam hati orang yang dikehendaki-Nya” (Ungkapan yang sering dikaitkan dengan tradisi Islam)

Definisi ilmu dalam tradisi Islam mencakup dimensi yang lebih luas daripada sekadar pengetahuan faktual atau teoretis. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya “Ihya ‘Ulum al-Din”, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya (ma’rifatu al-shay’ ‘ala ma huwa bihi). Definisi ini mengimplikasikan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif. Ilmu tidak hanya berkaitan dengan “apa” (what is) tetapi juga “bagaimana seharusnya” (what ought to be).

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1995), seorang filsuf Muslim kontemporer, mendefinisikan ilmu sebagai “pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan keberadaan” (Al-Attas, 1995, p. 78). Definisi ini menekankan aspek ontologis dan aksiologis ilmu yang terintegrasi dengan pandangan tauhid.

Dalam perspektif Islam, hakikat ilmu tidak dapat dipisahkan dari konsep tauhid sebagai fondasi metafisik seluruh sistem pengetahuan. Allah sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq) juga merupakan Sumber Pengetahuan Tertinggi (al-‘Alim). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ الرَّحْمَٰنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad)” (QS. Al-Furqan 25:59).

Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah adalah sumber utama pengetahuan tentang realitas, dan manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui petunjuk-Nya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sumber ilmu dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: (1) wahyu (revelation), yang mencakup Al-Quran dan Sunnah Nabi, dan (2) akal dan pengalaman empiris manusia, yang mencakup penalaran logis (qiyas), konsensus ulama (ijma’), dan observasi terhadap alam.

Hirarki ilmu dalam tradisi Islam didasarkan pada prinsip tauhid dan mempertimbangkan tujuan akhir ilmu, yaitu mengenal Allah (ma’rifatullah). Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulum al-Din” membagi ilmu menjadi dua kategori utama: (1) ilmu fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim, seperti ilmu tauhid, fikih ibadah, dan akhlak, dan (2) ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian anggota masyarakat Muslim untuk kebutuhan kolektif, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu-ilmu sosial.

Klasifikasi ilmu yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”. Ia membagi ilmu menjadi dua kategori besar: (1) ilmu naqliyyah (transmitted sciences), yang bersumber dari wahyu dan otoritas agama, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, dan kalam, dan (2) ilmu ‘aqliyyah (rational sciences), yang didasarkan pada penalaran rasional dan investigasi empiris, seperti logika, matematika, fisika, metafisika, dan kedokteran.

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1980) mengusulkan klasifikasi ilmu yang lebih kontemporer dengan membaginya menjadi (1) ilmu fardu ‘ain, yang mencakup ilmu-ilmu tentang Tuhan, wahyu, dan agama, dan (2) ilmu fardu kifayah, yang mencakup ilmu-ilmu tentang manusia dan alam semesta. Namun, al-Attas menekankan bahwa kedua kategori ilmu tersebut tidak terpisah, melainkan terintegrasi dalam kerangka worldview Islam yang berpusat pada tauhid.

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’” (QS. Thaha 20:114).

Ayat ini menekankan pentingnya ilmu dan bahwa penambahan ilmu merupakan anugerah dari Allah yang harus senantiasa dipohonkan. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa proses pencarian ilmu dalam Islam merupakan ibadah dan bagian dari perjalanan spiritual manusia menuju Allah.

Dalam tradisi hadis, pentingnya ilmu juga sangat ditekankan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).

Hadis ini menegaskan bahwa mencari ilmu bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi merupakan kewajiban religius bagi setiap Muslim. Dalam hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له طريقاً إلى الجنة

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

Hadis ini mengindikasikan korelasi antara pencarian ilmu dengan kehidupan spiritual dan nasib akhirat seseorang, menegaskan dimensi transendental ilmu dalam pandangan Islam.

Epistemologi Islam

Epistemologi Islam mengkaji persoalan tentang hakikat pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, validitas pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan manusia dalam kerangka worldview Islam. Berbeda dengan epistemologi Barat modern yang cenderung mendikotomikan antara rasionalisme dan empirisisme, atau antara subjektivisme dan objektivisme, epistemologi Islam menawarkan pendekatan integratif yang mengakui berbagai saluran pengetahuan, termasuk wahyu, penalaran rasional, pengalaman empiris, dan intuisi spiritual.

Dalam epistemologi Islam, wahyu (al-wahy) merupakan sumber pengetahuan tertinggi yang memberikan kerangka nilai dan prinsip-prinsip fundamental tentang realitas. Al-Quran sebagai wahyu Allah mengandung pengetahuan yang bersifat yaqini (pasti) tentang berbagai realitas, baik yang gaib (metafisik) maupun yang syahadah (fisik). Sebagaimana disebutkan dalam ayat:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah 2:2).

Namun, epistemologi Islam tidak memposisikan wahyu sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Al-Quran sendiri secara berulang mendorong manusia untuk menggunakan akal (‘aql), mengobservasi alam (tafakkur), dan melakukan penalaran sistematis (tadabbur). Sebagaimana disebutkan:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad 47:24).

Ayat lain menekankan pentingnya observasi empiris terhadap fenomena alam:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar” (QS. Fussilat 41:53).

Dalam tradisi keilmuan Islam, relasi antara wahyu dan akal telah menjadi diskursus panjang yang melibatkan berbagai aliran pemikiran. Kelompok Mu’tazilah cenderung memberikan otoritas lebih besar kepada akal dalam memahami wahyu, sedangkan kelompok tradisionalis seperti Asy’ariyah lebih menekankan primat wahyu atas akal. Imam Al-Ghazali menawarkan sintesis dengan menekankan komplementaritas antara wahyu dan akal, di mana akal dapat memverifikasi kebenaran wahyu sementara wahyu membimbing akal agar tidak tersesat.

Metodologi memperoleh pengetahuan dalam tradisi epistemologi Islam mencakup berbagai pendekatan yang terintegrasi. Al-Farabi (870-950 M) dalam “Ihsa al-‘Ulum” (Enumerasi Ilmu-Ilmu) mengidentifikasi lima metode untuk memperoleh pengetahuan yang valid: demonstrasi (burhan), dialektika (jadal), retorika (khitabah), puisi (syi’r), dan sofistika (safsatah). Dari kelima metode tersebut, demonstrasi (burhan) dianggap sebagai metode paling superior yang menghasilkan pengetahuan yang pasti (yaqini).

Ibnu Sina (980-1037 M) mengembangkan metodologi ilmiah yang mengintegrasikan observasi, eksperimen, dan penalaran deduktif-induktif. Kontribusi metodologisnya terlihat dalam karyanya di bidang kedokteran, “Al-Qanun fi al-Tibb” (The Canon of Medicine), yang menjadi rujukan di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-17. Ibnu Sina menekankan pentingnya pengamatan sistematis, eksperimen terkontrol, dan generalisasi hati-hati dalam mengembangkan teori medis.

Ibnu Al-Haytham (965-1040 M), yang dikenal di Barat sebagai Alhazen, mengembangkan metode eksperimental yang rigorus dalam bidang optik. Dalam karyanya “Kitab al-Manazir” (Book of Optics), ia mengkritik pendekatan otoriter para pendahulunya dan menekankan pentingnya observasi, eksperimen, dan verifikasi hipotesis. Metodologi yang dikembangkan Ibnu Al-Haytham menunjukkan ciri-ciri metode ilmiah modern jauh sebelum era Renaisans Eropa.

Dalam tradisi Sufisme, metode intuitif (kashf, dhawq) juga diakui sebagai saluran untuk memperoleh pengetahuan langsung tentang realitas spiritual. Al-Ghazali, setelah mengalami krisis epistemologis yang dipaparkan dalam autobiografinya “Al-Munqidh min al-Dalal” (Penyelamat dari Kesesatan), menekankan pentingnya pengalaman spiritual langsung (ma’rifah) sebagai pelengkap pengetahuan diskursif (ilm).

Teori validitas pengetahuan dalam epistemologi Islam juga memiliki karakteristik yang khas. Al-Farabi dan Ibnu Sina mengembangkan teori korespondensi kebenaran, di mana suatu proposisi dianggap benar jika sesuai dengan realitas objektif. Namun, berbeda dengan epistemologi Barat modern yang cenderung membatasi realitas pada fenomena empiris, epistemologi Islam mengakui berbagai tingkatan realitas, termasuk realitas spiritual dan metafisik.

Al-Ghazali dalam “Mi’yar al-Ilm” (Standar Pengetahuan) mengembangkan kriteria validitas pengetahuan yang mencakup: (1) kesaksian indra (shahada), (2) keputusan akal (aqliyyat), dan (3) kesaksian wahyu (sam’iyyat). Ketiga kriteria ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dalam sistem epistemologi integratif.

Dalam epistemologi Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengusulkan konsep “tafakkur bi al-qalb wa al-‘aql” (kontemplasi dengan hati dan akal) sebagai metodologi integratif yang mengatasi keterbatasan epistemologi dualistik Barat. Al-Attas menekankan bahwa organ pengetahuan dalam Islam tidak hanya terdiri dari indra eksternal dan akal, tetapi juga indra internal (hati spiritual) yang mampu menerima iluminasi ilahiah.

Ontologi dalam Perspektif Islam

Ontologi dalam perspektif Islam membahas hakikat realitas dan struktur eksistensi berdasarkan worldview tauhid. Berbeda dengan ontologi materialistik yang mereduksi realitas pada dimensi fisik semata, atau ontologi dualistik yang memisahkan secara tegas antara realitas material dan spiritual, ontologi Islam menawarkan pandangan hirarki realitas yang terintegrasi dengan Allah sebagai Realitas Tertinggi (al-Haqq).

Konsep realitas dalam ontologi Islam didasarkan pada prinsip tauhid yang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Realitas Absolut (wajib al-wujud bi dhatihi), sementara seluruh ciptaan adalah realitas kontingen (mumkin al-wujud) yang bergantung pada Allah untuk eksistensinya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Hadid 57:3).

Ayat ini mengindikasikan dimensi transenden dan imanen Allah sekaligus, yang dalam terminologi filosofis Islam dikenal dengan konsep tanzih (ketakterbandingkan) dan tashbih (keserupaan). Allah bersifat tanzih dalam esensi-Nya (dhat) yang tak terjangkau oleh pemahaman manusia, namun bersifat tashbih melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya (asma wa sifat) yang termanifestasi dalam ciptaan.

Dalam tradisi filosofis Islam, pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina mengembangkan ontologi emanasionistik (fayd) yang menjelaskan bagaimana multiplisitas realitas berasal dari Satu Realitas Absolut melalui proses emanasi. Menurut teori ini, Allah sebagai Intelek Pertama (al-‘Aql al-Awwal) mengemanasikan intelek-intelek kosmik yang kemudian menjadi perantara penciptaan alam semesta material. Teori ini merupakan upaya untuk menjelaskan relasi antara Yang Satu yang transenden dengan multiplisitas ciptaan.

Suhrawardi (1154-1191 M) mengembangkan ontologi iluminasionis (ishraqiyyah) yang menekankan cahaya (nur) sebagai prinsip fundamental realitas. Dalam karyanya “Hikmah al-Ishraq” (Filsafat Iluminasi), ia mendefinisikan Allah sebagai Cahaya di atas Cahaya (Nur al-Anwar), sementara entitas-entitas lain memiliki tingkat cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan kedekatan ontologisnya dengan Sumber Cahaya.

Mulla Sadra (1572-1640 M) mengembangkan ontologi yang lebih dinamis dengan doktrin gerak substansial (al-harakat al-jawhariyyah) dan primalitas eksistensi (asalat al-wujud). Menurut Mulla Sadra, eksistensi (wujud) adalah realitas fundamental yang bersifat gradual dan dinamis, di mana setiap entitas berpartisipasi dalam eksistensi dengan intensitas yang berbeda-beda. Doktrin ini mengatasi dikotomi antara substansi dan aksiden dalam metafisika Aristotelian dengan menekankan bahwa perubahan tidak hanya terjadi pada aksiden, tetapi juga pada substansi itu sendiri.

Hubungan antara alam fisik dan metafisik dalam ontologi Islam dijelaskan melalui konsep tingkatan realitas. Tradisi sufi seperti Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M) mengembangkan doktrin “wahdat al-wujud” (kesatuan eksistensi) yang membagi realitas menjadi lima tingkatan: alam hahut (realm of divine essence), alam lahut (realm of divinity), alam jabarut (realm of divine power), alam malakut (realm of angels), dan alam nasut (physical realm). Tingkatan-tingkatan ini tidak terpisah, melainkan saling terkait dan membentuk kesatuan realitas yang kompleks.

Al-Quran secara eksplisit mengakui eksistensi alam gaib (metafisik) di samping alam syahadah (fisik):

ذَٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Itulah (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang” (QS. As-Sajdah 32:6).

Tauhid sebagai fondasi ontologis berimplikasi pada kesatuan organik seluruh eksistensi. Pandangan ini berbeda secara fundamental dari ontologi mekanistik Cartesian-Newtonian yang mendominasi sains modern, di mana alam semesta dipandang sebagai mesin yang beroperasi secara deterministik tanpa tujuan intrinsik. Dalam ontologi Islam, alam semesta (kosmos) adalah tanda (ayat) yang menunjukkan kepada Penciptanya dan memiliki tujuan teleologis.

مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ

“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” (QS. Al-Anbiya 21:16).

Implikasi ontologi Islam terhadap sains modern dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr (1993) yang mengkritik reduksionisme ontologis sains modern dan menekankan pentingnya memulihkan dimensi sakral dalam studi alam. Menurut Nasr, krisis lingkungan modern berakar pada ontologi yang memisahkan secara tegas antara subjek dan objek, serta mereduksi alam menjadi sekadar sumber daya material yang dapat dieksploitasi. Ontologi Islam menawarkan pandangan alternatif yang memandang alam sebagai teofani (tajalli) yang harus diperlakukan dengan penuh hormat.

Osman Bakar (1998) mengembangkan konsep “tawhidic science” yang didasarkan pada ontologi tauhidik. Menurut Bakar, sains dalam perspektif Islam tidak hanya berkaitan dengan fenomena empiris, tetapi juga dengan dimensi simbolik dan spiritual alam yang menunjuk pada transendensi. Pendekatan ini memungkinkan pengembangan sains yang holistik dan terintegrasi dengan nilai-nilai spiritual.

Aksiologi dalam Perspektif Islam

Aksiologi dalam perspektif Islam membahas teori nilai dan etika dalam pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan aksiologi modern yang cenderung memisahkan antara fakta dan nilai (dichotomy of fact and value), atau menekankan netralitas nilai dalam sains, aksiologi Islam menegaskan bahwa ilmu selalu terikat dengan nilai (value-bound) dan memiliki dimensi etis intrinsik.

Nilai-nilai etika dan moral dalam pencarian ilmu dalam Islam tidak dianggap sebagai elemen eksternal yang ditambahkan pada aktivitas ilmiah, melainkan merupakan dimensi integral dari proses keilmuan itu sendiri. Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulum al-Din” mengelaborasi etika pembelajaran dan pengajaran (adab al-muta’allim wa al-mu’allim) yang mencakup niat (niyyah), kerendahan hati (tawadu’), kesabaran (sabr), dan fokus pada aplikasi praktis ilmu (amal).

Etika keilmuan dalam Islam juga menekankan kejujuran intelektual dan objektivitas dalam mencari kebenaran. Imam Al-Shafi’i terkenal dengan ungkapannya:

رأيي صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar tetapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar.”

Ungkapan ini mencerminkan keterbukaan intelektual dan pengakuan terhadap keterbatasan pengetahuan manusia yang merupakan nilai penting dalam tradisi keilmuan Islam.

Al-Quran sendiri secara eksplisit menegaskan dimensi etis pengetahuan melalui larangan untuk mengikuti asumsi tanpa bukti dan kewajiban untuk memverifikasi informasi:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Isra 17:36).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya” (QS. Al-Hujurat 49:6).

Tujuan ilmu dalam Islam tidak terbatas pada penguasaan teoretis atau aplikasi praktis, tetapi mencakup dimensi spiritual yang lebih tinggi. Dalam tradisi Islam, tujuan tertinggi ilmu adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), mendekatkan diri kepada-Nya, dan merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi.

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqarah 2:30).

Konsep ilmu yang bermanfaat (al-‘ilm al-nafi’) dalam tradisi Islam memiliki dimensi yang lebih luas dari sekadar utilitas pragmatis. Rasulullah SAW sering berdoa:

اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعوة لا يستجاب لها

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak terkabul” (HR. Muslim).

Dalam perspektif Islam, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membawa kesejahteraan holistik (falah) bagi manusia, yang mencakup dimensi material, intelektual, sosial, dan spiritual. Ilmu yang tidak dilandasi nilai-nilai etis dan spiritual bahkan dapat menjadi destruktif, sebagaimana diindikasikan dalam hadis:

إنما العلم ثلاثة: آية محكمة، أو سنة قائمة، أو فريضة عادلة، وما خلا ذلك فهو فضل

“Sesungguhnya ilmu itu ada tiga: ayat yang kukuh (Al-Quran), sunnah yang tegak, atau ketentuan yang adil. Selain itu hanyalah keutamaan (bukan kewajiban)” (HR. Abu Dawud).

Ismail Raji al-Faruqi (1982) dalam proyek Islamisasi ilmunya menekankan bahwa ilmu modern perlu direkonstruksi berdasarkan nilai-nilai tauhid agar memberikan manfaat sejati bagi umat manusia. Menurut al-Faruqi, ilmu yang terpisah dari nilai-nilai wahyu cenderung menjadi alat dominasi dan eksploitasi yang menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya.

Ziauddin Sardar (1985) mengembangkan konsep “nilai-nilai Qurani” sebagai kerangka aksiologis untuk pengembangan ilmu dan teknologi dalam konteks Islam. Nilai-nilai tersebut mencakup tauhid (kesatuan), khilafah (perwalian), ibadah (pengabdian), ‘ilm (pengetahuan), halal (diperbolehkan), haram (dilarang), ‘adl (keadilan), zulm (penindasan), istislah (kepentingan umum), dan dhiya (pemborosan). Menurut Sardar, ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam kerangka nilai-nilai ini akan mengarah pada paradigma keilmuan yang holistik dan berkelanjutan.

Dalam konteks kontemporer, aksiologi Islam menawarkan kerangka etis untuk mengatasi berbagai dilema moral yang muncul akibat perkembangan sains dan teknologi. Misalnya, dalam bidang bioteknologi dan rekayasa genetik, aksiologi Islam menekankan penghormatan terhadap integritas penciptaan Allah, kehormatan manusia (karamah al-insan), dan tanggung jawab generasional. Prinsip-prinsip seperti tidak membahayakan (la darar wa la dirar), pilihan yang lebih kecil dari dua keburukan (akhaff al-dararayn), dan kepentingan umum (maslahah) memberikan panduan untuk mengembangkan bioteknologi yang etis dan bertanggung jawab.

Perkembangan Historis Filsafat Ilmu dalam Islam

Perkembangan filsafat ilmu dalam Islam telah mengalami dinamika yang kompleks sejak masa awal peradaban Islam hingga era kontemporer. Evolusi pemikiran filosofis tentang ilmu dalam tradisi Islam mencerminkan interaksi dinamis dengan berbagai tradisi intelektual serta respons terhadap tantangan internal dan eksternal yang dihadapi dunia Muslim pada berbagai periode sejarah.

Periode klasik (abad ke-8 hingga ke-13 M) ditandai dengan transmisi dan asimilasi kreatif warisan intelektual dari peradaban-peradaban sebelumnya, terutama Yunani, Persia, dan India, ke dalam kerangka worldview Islam. Gerakan penerjemahan besar-besaran yang disponsori oleh Khalifah Abbasiyah, terutama di era Al-Ma’mun dengan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)-nya, memainkan peran penting dalam mengenalkan karya-karya Aristoteles, Plato, Galen, dan Ptolemy ke dunia Islam.

Al-Kindi (801-873 M), yang dikenal sebagai “Filsuf Arab Pertama”, menjadi pionir dalam mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Dalam karyanya “Risalah fi Hudud al-Ashya’ wa Rusumiha” (Treatise on Definitions), Al-Kindi mengembangkan klasifikasi ilmu yang sistematis dan menekankan kompatibilitas antara wahyu dan penalaran filosofis. Ia berpendapat bahwa kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran lainnya, sehingga kebenaran filosofis tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran wahyu.

Al-Farabi (870-950 M) mengembangkan filsafat ilmu yang lebih sistematis dalam karyanya “Ihsa al-‘Ulum” (Enumerasi Ilmu-Ilmu). Ia mengklasifikasikan ilmu menjadi lima kategori utama: ilmu bahasa, logika, matematika, fisika, dan metafisika/politik. Al-Farabi juga mengembangkan konsep “intelek aktif” (al-‘aql al-fa”al) yang berperan dalam transformasi pengetahuan potensial menjadi pengetahuan aktual dalam jiwa manusia.

Ibnu Sina (980-1037 M) menyempurnakan sistem filsafat peripatetik dalam Islam melalui karyanya “Kitab al-Shifa’” (Buku Penyembuhan), yang mencakup logika, fisika, matematika, dan metafisika. Kontribusi signifikan Ibnu Sina terhadap filsafat ilmu mencakup teori abstraksi, di mana pengetahuan diperoleh melalui proses abstraksi bentuk universal dari data partikular yang diterima indra, serta teori silogisme yang menyempurnakan logika Aristotelian.

Kritik terhadap pendekatan peripatetik datang dari Al-Ghazali (1058-1111 M) yang dalam karyanya “Tahafut al-Falasifah” (Inkoherensi Para Filsuf) mengkritik 20 proposisi metafisik para filsuf Muslim yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, dalam karya-karya lainnya seperti “Ihya ‘Ulum al-Din” dan “Mi’yar al-Ilm”, Al-Ghazali mengembangkan teori pengetahuan yang komprehensif yang mengintegrasikan elemen-elemen rasional, empiris, dan spiritual.

Ibnu Rushd (1126-1198 M) memberikan jawaban atas kritik Al-Ghazali dalam karyanya “Tahafut al-Tahafut” (Inkoherensi dari Inkoherensi). Ia menegaskan kembali rasionalitas filosofis dan mengembangkan doktrin “kebenaran ganda” (double truth) yang membedakan antara kebenaran demonstratif yang dicapai melalui penalaran filosofis dan kebenaran alegoris yang diungkapkan melalui wahyu. Menurut Ibnu Rushd, kedua bentuk kebenaran ini tidak bertentangan jika dipahami secara tepat sesuai dengan tingkat kapasitas intelektual yang berbeda.

Periode pertengahan (abad ke-14 hingga ke-18) ditandai dengan sintesis baru antara teologi, filsafat, dan tasawuf. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) mengembangkan filsafat ilmu sosial dalam karyanya “Muqaddimah”. Ia mengusulkan metodologi empiris-historis untuk memahami dinamika sosial-politik dan mengkritik pendekatan spekulatif dalam studi sejarah. Ibnu Khaldun juga mengembangkan konsep “asabiyah” (solidaritas kelompok) sebagai faktor kunci dalam dinamika peradaban.

Pada periode ini juga berkembang tradisi filsafat iluminasionis (ishraqiyyah) yang diprakarsai oleh Suhrawardi (1154-1191 M) dan filsafat teosofi transendental (al-hikmah al-muta’aliyah) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra (1572-1640 M). Kedua tradisi ini menawarkan alternatif terhadap filsafat peripatetik dengan lebih menekankan dimensi spiritual pengetahuan dan mengintegrasikan elemen-elemen dari tasawuf, teologi, dan filsafat.

Tabel 1 berikut menggambarkan perkembangan historis filsafat ilmu dalam Islam pada periode klasik dan pertengahan:

PeriodeTokoh UtamaKarya PentingKontribusi terhadap Filsafat Ilmu
Awal (8-9 M)Al-Kindi (801-873 M)“Risalah fi Hudud al-Ashya’ wa Rusumiha”Integrasi awal filsafat Yunani dengan ajaran Islam; klasifikasi ilmu
Klasik Tengah (10-11 M)Al-Farabi (870-950 M)“Ihsa al-‘Ulum”Klasifikasi sistematis ilmu pengetahuan; teori intelek
Ibnu Sina (980-1037 M)“Kitab al-Shifa’”Teori abstraksi; epistemologi komprehensif; metodologi ilmiah
Ibnu al-Haytham (965-1040 M)“Kitab al-Manazir”Metode eksperimental; kritik terhadap otoritas
Klasik Akhir (11-13 M)Al-Ghazali (1058-1111 M)“Tahafut al-Falasifah”, “Mi’yar al-Ilm”Kritik terhadap filsafat peripatetik; epistemologi integral
Ibnu Rushd (1126-1198 M)“Tahafut al-Tahafut”, “Fasl al-Maqal”Pembelaan rasionalitas filosofis; harmoni iman dan rasio
Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M)“Futuhat al-Makkiyyah”Epistemologi irfani; konsep kesatuan wujud
Pertengahan (14-18 M)Ibnu Khaldun (1332-1406 M)“Muqaddimah”Metodologi ilmu sosial; filsafat sejarah
Suhrawardi (1154-1191 M)“Hikmah al-Ishraq”Filsafat iluminasionis; epistemologi intuisi
Mulla Sadra (1572-1640 M)“al-Asfar al-Arba’ah”Filsafat teosofi transendental; doktrin gerak substansial

Sumber: Diadaptasi dari Nasr, S.H. (1996). History of Islamic Philosophy dan Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy.

Periode modern (abad ke-19 hingga sekarang) ditandai dengan respons terhadap hegemoni epistemologi Barat dan upaya revitalisasi tradisi keilmuan Islam. Pada fase awal periode modern, pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) berupaya merekonsiliasi Islam dengan rasionalisme dan sains modern. Mereka menekankan bahwa kemajuan ilmiah Eropa sebenarnya berakar pada prinsip-prinsip yang serupa dengan yang diajarkan Islam, dan karenanya umat Islam perlu mengadopsi metode ilmiah modern tanpa harus meninggalkan identitas keagamaannya.

Muhammad Iqbal (1877-1938) dalam karyanya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” mengajukan reformulasi filsafat Islam yang mengintegrasikan wawasan dari filsafat modern dan sains. Iqbal mengkritik determinisme ilmiah dan menekankan pentingnya mempertahankan dimensi spiritual dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ia juga mengembangkan konsep “ijtihad kolektif” sebagai metodologi untuk mengembangkan pemikiran Islam kontemporer.

Sejak paruh kedua abad ke-20, muncul berbagai pendekatan dalam mengembangkan filsafat ilmu Islam kontemporer. Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986) mengusulkan proyek “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang bertujuan untuk merekonstruksi disiplin-disiplin ilmu modern dalam kerangka worldview Islam. Al-Faruqi menekankan pentingnya integrasi antara dua sistem pendidikan yang telah terpisah di dunia Muslim: sistem tradisional yang berfokus pada ilmu-ilmu keislaman dan sistem modern yang mengadopsi epistemologi Barat.

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931-) mengembangkan konsep “dewesternisasi ilmu” dan “Islamisasi ilmu kontemporer” melalui karyanya “Islam and Secularism” (1978) dan “The Concept of Education in Islam” (1980). Al-Attas menekankan bahwa permasalahan utama dalam ilmu modern bukanlah pada level metodologis, melainkan pada level worldview dan epistemologis. Ia mengajukan integrasi ilmu berdasarkan tauhid yang mengakui hierarki realitas dan ilmu.

Seyyed Hossein Nasr (1933-) menawarkan pendekatan tradisionalis yang menekankan revitalisasi “sains sakral” (sacred science) sebagai alternatif terhadap sains sekular modern. Dalam karyanya “Knowledge and the Sacred” (1981) dan “The Need for a Sacred Science” (1993), Nasr mengkritik epistemologi reduksionistik sains modern dan mengajukan pemulihan dimensi spiritual dalam studi alam.

Ziauddin Sardar (1951-) mengembangkan pendekatan “rekonstruksi pemikiran Muslim” yang lebih berorientasi pada permasalahan kontemporer. Dalam karyanya “Explorations in Islamic Science” (1989), Sardar mengusulkan pengembangan epistemologi Islam yang responsif terhadap tantangan kontemporer seperti krisis lingkungan, globalisasi, dan kemajuan teknologi.

Tabel 2 berikut menggambarkan perkembangan filsafat ilmu Islam pada periode modern dan kontemporer:

PeriodeTokoh UtamaKarya PentingPendekatan/Kontribusi
Modern Awal (19-awal 20 M)Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897)“Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin”Rekonsiliasi Islam dengan sains modern; kritik terhadap materialisme
Muhammad Abduh (1849-1905)“Risalat al-Tawhid”Reformasi pemikiran Islam; rasionalisme religius
Muhammad Iqbal (1877-1938)“The Reconstruction of Religious Thought in Islam”Integrasi wawasan filsafat modern dengan pemikiran Islam; kritik determinisme ilmiah
Kontemporer (pertengahan-akhir 20 M)Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986)“Islamization of Knowledge”Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan; rekonstruksi disiplin ilmu modern
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931-)“Islam and Secularism”, “The Concept of Education in Islam”Dewesternisasi ilmu; Islamisasi ilmu kontemporer; kritik sekularisme
Seyyed Hossein Nasr (1933-)“Knowledge and the Sacred”, “The Need for a Sacred Science”Pendekatan tradisionalis; revitalisasi sains sakral; kritik terhadap sains modern
Ziauddin Sardar (1951-)“Explorations in Islamic Science”, “Islamic Futures”Rekonstruksi pemikiran Muslim; pengembangan epistemologi Islam kontemporer
Era Global (akhir 20-awal 21 M)Mehdi Golshani (1939-)“From Physics to Metaphysics”, “Issues in Islam and Science”Integrasi sains dan teologi; reinterpretasi filsafat sains
Alparslan Açikgenç (1952-)“Islamic Science: Towards a Definition”Rekonstruksi metodologis ilmu dari perspektif Islam
Osman Bakar (1946-)“Classification of Knowledge in Islam”, “Tawhid and Science”Revitalisasi klasifikasi ilmu Islam; pengembangan sains tauhidik

Sumber: Diadaptasi dari Iqbal, M. (2007). Science and Islam dan Setia, A. (2007). Three Meanings of Islamic Science.

Perkembangan terkini dalam filsafat ilmu Islam menunjukkan tren ke arah pendekatan yang lebih interdisipliner dan kontekstual. Para pemikir kontemporer seperti Mehdi Golshani, Alparslan Açikgenç, dan Osman Bakar berupaya mengembangkan kerangka konseptual yang tidak hanya menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan sains modern, tetapi juga memberikan solusi terhadap berbagai persoalan global seperti krisis lingkungan, etika bioteknologi, dan kecerdasan artifisial.

Perbandingan Filsafat Ilmu Islam dengan Tradisi Keilmuan Barat

Perbandingan antara filsafat ilmu Islam dengan tradisi keilmuan Barat merupakan kajian penting untuk memahami keunikan dan kontribusi masing-masing tradisi, serta untuk mengidentifikasi area-area di mana kedua tradisi dapat berdialog dan saling memperkaya. Meskipun terdapat beberapa titik persamaan, kedua tradisi ini memiliki perbedaan fundamental dalam asumsi metafisik, epistemologis, dan aksiologis yang mendasari konsepsi mereka tentang ilmu.

Dari segi asumsi metafisik, filsafat ilmu Islam dibangun di atas fondasi tauhid yang mengakui Allah sebagai Realitas Tertinggi dan sumber segala eksistensi. Pandangan ini mengimplikasikan kesatuan realitas (wahdat al-wujud) di mana alam fisik dan metafisik membentuk hierarki realitas yang terintegrasi. Sebaliknya, tradisi keilmuan Barat modern, terutama sejak era Pencerahan, cenderung mengadopsi materialisme ontologis yang mereduksi realitas pada dimensi fisik yang dapat diobservasi dan diukur secara empiris. Dalam pandangan ini, dimensi metafisik dan spiritual dianggap berada di luar ruang lingkup investigasi ilmiah.

Dari perspektif epistemologis, filsafat ilmu Islam mengakui berbagai saluran pengetahuan yang saling melengkapi, termasuk wahyu (wahy), penalaran rasional (‘aql), observasi empiris (hawass), dan intuisi spiritual (kashf, dhawq). Wahyu ditempatkan sebagai sumber pengetahuan tertinggi yang memberikan kerangka nilai dan prinsip-prinsip fundamental, sementara akal, pengalaman, dan intuisi beroperasi dalam kerangka tersebut. Sebaliknya, epistemologi Barat modern cenderung memberikan primat pada penalaran rasional (rasionalisme) atau pengalaman empiris (empirisisme) sebagai sumber pengetahuan utama, sementara wahyu dan intuisi spiritual dianggap subjektif dan berada di luar domain ilmu.

Mengenai metodologi, filsafat ilmu Islam mengembangkan pendekatan integratif yang mengkombinasikan metode deduksi, induksi, dan ‘irfani (gnostik). Tradisi keilmuan Islam klasik sangat menekankan ketelitian dalam transmisi pengetahuan (isnad), verifikasi multi-sumber, dan kritik internal-eksternal dalam mengevaluasi validitas informasi, terutama dalam disiplin ilmu hadis. Sementara itu, metodologi ilmu Barat modern didominasi oleh pendekatan eksperimental-matematika yang menekankan kuantifikasi, kontrol variabel, dan replikabilitas hasil.

Dari segi aksiologis, filsafat ilmu Islam memandang ilmu sebagai sarana untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam pandangan ini, ilmu tidak pernah dipisahkan dari nilai moral dan spiritual, dan tujuan tertinggi ilmu adalah untuk mencapai kesejahteraan holistik (falah) manusia. Sebaliknya, tradisi keilmuan Barat modern cenderung menekankan netralitas nilai (value-neutrality) dalam sains, di mana ilmu dipandang sebagai aktivitas objektif yang terpisah dari pertimbangan moral dan spiritual. Tujuan utama ilmu dalam paradigma ini adalah untuk meningkatkan kontrol manusia atas alam dan menghasilkan teknologi yang efisien.

Tabel 3 berikut merangkum perbandingan utama antara filsafat ilmu Islam dan tradisi keilmuan Barat modern:

AspekFilsafat Ilmu IslamTradisi Keilmuan Barat Modern
Fondasi MetafisikTauhid (kesatuan Tuhan); hierarki realitas; integrasi alam fisik-metafisikMaterialisme ontologis; dualisme subjek-objek; reduksionisme
Sumber PengetahuanWahyu, akal, pengalaman empiris, intuisi spiritualDominasi rasio (rasionalisme) atau pengalaman empiris (empirisisme)
Hubungan Iman-RasioKomplementaritas; integratifPemisahan atau bahkan pertentangan
Objek IlmuRealitas fisik dan metafisik; dimensi kuantitatif dan kualitatifDominasi fenomena fisik yang dapat diukur secara kuantitatif
MetodologiDeduksi-induksi-‘irfani; tradisi isnad; verifikasi multi-sumberEksperimental-matematis; kuantifikasi; kontrol variabel
Tujuan IlmuMa’rifatullah (mengenal Allah); kesejahteraan holistik (falah)Kontrol atas alam; efisiensi teknologis; progres material
Status NilaiValue-laden; integrasi fakta dan nilaiKlaim value-neutrality; pemisahan fakta dan nilai
Peran IlmuwanUlama-ilmuwan; tanggung jawab moral-spiritualProfesional netral; tanggung jawab terbatas pada komunitas ilmiah

Sumber: Diadaptasi dari Golshani, M. (2003). The Holy Quran and the Sciences of Nature dan Bakar, O. (2008). Tawhid and Science.

Meskipun terdapat perbedaan fundamental, kedua tradisi keilmuan ini juga memiliki titik-titik persamaan yang dapat menjadi landasan dialog konstruktif. Keduanya mengakui pentingnya koherensi logis, konsistensi internal, dan kesesuaian dengan realitas empiris sebagai kriteria validitas pengetahuan. Keduanya juga menghargai objektivitas, kejujuran intelektual, dan kritisisme dalam proses pengembangan ilmu.

Selain itu, perkembangan mutakhir dalam filsafat ilmu Barat menunjukkan pergeseran dari positivisme logis ke arah pandangan yang lebih holistik dan kontekstual. Tokoh-tokoh seperti Thomas Kuhn, Michael Polanyi, dan Paul Feyerabend telah mengkritik klaim objektivitas absolut dan netralitas nilai dalam sains, serta menekankan dimensi sosial-historis dan nilai-nilai implisit yang melandasi aktivitas ilmiah. Pergeseran ini membuka ruang dialog yang lebih konstruktif dengan filsafat ilmu Islam yang sejak awal mengakui dimensi nilai dalam pengembangan ilmu.

Demikian pula, tren kontemporer dalam filsafat ilmu Islam menunjukkan keterbukaan terhadap metodologi dan temuan sains modern sambil tetap mempertahankan fondasi metafisik dan etis Islam. Pemikir seperti Mehdi Golshani, misalnya, menekankan bahwa tidak ada konflik inheren antara Islam dan sains modern pada level metodologis, asalkan asumsi-asumsi metafisik materialistik yang sering menyertai sains modern tidak dianggap sebagai bagian integral dari sains itu sendiri.

Area-area di mana kedua tradisi dapat berdialog dan saling memperkaya mencakup: (1) pengembangan metodologi penelitian yang mengintegrasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif; (2) eksplorasi dimensi etis sains dan teknologi; (3) respons terhadap tantangan global seperti krisis lingkungan dan bioetika; dan (4) pengembangan paradigma keilmuan yang lebih holistik dan humanistik.

Dalam konteks globalisasi pengetahuan, dialog konstruktif antara filsafat ilmu Islam dan Barat menjadi semakin penting untuk mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam menghadapi berbagai tantangan kompleks yang dihadapi umat manusia. Filsafat ilmu Islam dapat memberikan kontribusi signifikan dalam memperkaya diskursus global tentang etika ilmiah, integrasi nilai spiritual dalam sains, dan pengembangan ilmu yang berorientasi pada kesejahteraan holistik umat manusia.

Isu Kontemporer dalam Filsafat Ilmu Islam

Filsafat ilmu Islam kontemporer menghadapi berbagai isu dan tantangan dalam merespons perkembangan sains, teknologi, dan perubahan sosial-budaya global. Diskursus filsafat ilmu Islam saat ini tidak hanya berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan klasik tentang hakikat dan sumber ilmu, tetapi juga dengan isu-isu praktis terkait pengembangan dan aplikasi ilmu pengetahuan dalam konteks modernitas.

Salah satu isu sentral dalam filsafat ilmu Islam kontemporer adalah Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge). Konsep ini pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Ismail Raji al-Faruqi pada awal 1980-an sebagai respons terhadap dualisme sistem pendidikan di dunia Muslim dan dominasi epistemologi sekuler Barat. Al-Faruqi (1982) mendefinisikan Islamisasi ilmu sebagai “mengintegrasikan kembali pengetahuan ke dalam kesatuan yang mengakui wahyu sebagai sumber pengetahuan untuk mengoreksi kekeliruan metodologis dan kesimpulan yang ditarik dari peradaban kontemporer” (Al-Faruqi, 1982, p. 30).

Al-Faruqi mengidentifikasi lima aspek krisis dalam pendidikan dan keilmuan di dunia Muslim: (1) dualisme sistem pendidikan; (2) hilangnya identitas; (3) hilangnya otoritas yang jelas; (4) kebingungan visi; dan (5) ketidakmampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pengetahuan modern. Untuk mengatasi krisis ini, ia mengusulkan rencana kerja Islamisasi ilmu yang mencakup 12 langkah sistematis, mulai dari penguasaan disiplin ilmu modern hingga penilaian kritis dan rekonstruksinya berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Pendekatan al-Faruqi terhadap Islamisasi ilmu cenderung berfokus pada aspek metodologis dan epistemologis, di mana ia menekankan pentingnya mengintegrasikan fakta-fakta yang dihasilkan oleh metodologi ilmiah modern ke dalam kerangka nilai Islam. Pendekatan ini telah memberikan inspirasi bagi berdirinya lembaga-lembaga seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berdedikasi untuk mengembangkan proyek Islamisasi ilmu.

Syed Muhammad Naquib al-Attas mengembangkan konsep yang serupa namun berbeda dalam penekanannya. Al-Attas lebih menekankan “dewesternisasi ilmu” yang melibatkan pembebasan ilmu dari interpretasi berdasarkan ideologi sekuler Barat dan pengintegrasiannya kembali dengan elemen-elemen kunci dari worldview Islam. Menurut al-Attas (1978):

“Islamisasi ilmu kontemporer melibatkan dua proses yang saling terkait: pertama, isolasi elemen-elemen dan konsep-konsep yang membentuk peradaban Barat, dan kedua, infusi elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam. Kedua proses ini melibatkan eliminasi, perubahan, penafsiran ulang, dan adaptasi komponen-komponen ilmu kontemporer” (Al-Attas, 1978, p. 44).

Pendekatan al-Attas bersifat lebih fundamental karena ia memandang bahwa masalah utama bukan pada level metodologis, melainkan pada level worldview dan konseptual. Ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah netral secara nilai dan selalu terikat dengan asumsi metafisik tertentu, sehingga Islamisasi ilmu harus dimulai dari reformulasi fondasi ontologis dan epistemologis ilmu itu sendiri.

Proyek Islamisasi ilmu telah mendapatkan berbagai tanggapan dari komunitas intelektual Muslim. Pendukungnya memandang proyek ini sebagai upaya penting untuk mengatasi alienasi kultural dan krisis identitas yang dihadapi umat Muslim dalam menghadapi modernitas. Para kritikus, di sisi lain, mempertanyakan apakah Islamisasi ilmu seperti yang diusulkan al-Faruqi dan al-Attas benar-benar dapat diterapkan dalam praktik, atau hanya tetap sebagai program ideologis dengan sedikit dampak praktis pada pengembangan ilmu.

Sardar (1985) mengkritik pendekatan al-Faruqi dengan menyatakan bahwa Islamisasi ilmu tidak dapat dilakukan hanya dengan “mengislamkan” disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, karena disiplin tersebut dibangun di atas asumsi-asumsi epistemologis dan ontologis yang mungkin tidak kompatibel dengan worldview Islam. Sebagai gantinya, Sardar mengusulkan pendekatan “rekonstruksi pemikiran Muslim” yang menekankan pengembangan paradigma keilmuan baru berdasarkan nilai-nilai Qurani yang merespons secara langsung permasalahan kontemporer.

Isu kontemporer lainnya dalam filsafat ilmu Islam adalah integrasi ilmu dan agama. Berbeda dengan pemikiran sekuler yang memisahkan secara tegas antara domain ilmu dan agama, tradisi Islam memandang keduanya sebagai dimensi yang saling melengkapi dalam pencarian kebenaran yang komprehensif. Pertanyaan tentang bagaimana mengintegrasikan kedua domain ini dalam konteks modernitas menjadi perdebatan penting dalam diskursus filsafat ilmu Islam.

Mehdi Golshani, seorang fisikawan dan filsuf Iran, mengembangkan konsep “sains Islam” (Islamic science) yang tidak menolak metodologi sains modern, tetapi mengintegrasikannya dengan worldview metafisik Islam. Menurut Golshani (2003):

“Sains Islam bukanlah tipe baru sains yang berbeda dari sains konvensional dalam metodologi dan struktur, melainkan sains yang beroperasi dalam kerangka metafisik Islam yang mengakui realitas di luar domain fisik dan mengaitkan seluruh eksistensi dengan Tuhan” (Golshani, 2003, p. 52).

Golshani membedakan antara “ilmu sekular” dan “ilmu sakral” bukan berdasarkan metodologi atau objek studinya, melainkan berdasarkan kerangka interpretasinya. Ia berpendapat bahwa saintis Muslim dapat menggunakan metodologi ilmiah konvensional sambil menafsirkan temuannya dalam kerangka metafisik Islam yang lebih luas.

Sebaliknya, Seyyed Hossein Nasr mengambil posisi yang lebih kritis terhadap sains modern. Nasr berpendapat bahwa sains modern tidak hanya berbeda dari tradisi keilmuan Islam dalam interpretasi metafisiknya, tetapi juga dalam metodologi dan asumsi dasarnya. Menurut Nasr (1993), sains modern dibangun di atas reduksionisme metodologis yang memisahkan subjek dari objek dan mereduksi realitas pada aspek kuantitatif yang dapat diukur, sehingga mengabaikan dimensi kualitatif dan simbolik alam.

Nasr mengusulkan revitalisasi “sains sakral” (sacred science) yang memandang alam tidak hanya sebagai objek untuk dimanipulasi dan dikontrol, tetapi sebagai teofani (tajalli) yang mencerminkan sifat-sifat Ilahi. Pendekatan Nasr mengimplikasikan perubahan fundamental dalam metodologi dan praktik sains, yang menurut kritiknya, cenderung utopis dan sulit diterapkan dalam konteks sains kontemporer.

Nidhal Guessoum, seorang astrofisikawan Aljazair, mengambil posisi yang lebih moderat dengan mengusulkan “dialog harmonis” antara Islam dan sains modern. Menurut Guessoum (2011), baik penolakan total terhadap sains modern atas nama Islam maupun penerimaan tidak kritis terhadap segala aspek sains modern adalah sikap yang tidak produktif. Sebagai gantinya, ia mengusulkan pendekatan yang ia sebut “Islam Kuantum” (Quantum Islam) yang mengakui bahwa baik sains maupun interpretasi agama bersifat tentatif dan terbuka untuk revisi, sehingga memungkinkan dialog yang dinamis antara keduanya.

Tantangan dan kritik terhadap filsafat ilmu Islam juga datang dari berbagai arah. Kritik internal menyoroti kecenderungan beberapa pendekatan filsafat ilmu Islam untuk terjebak dalam idealisasi masa lalu atau retorika anti-Barat tanpa menghasilkan alternatif praktis yang viable. Kritik lain menunjukkan bahwa banyak diskursus filsafat ilmu Islam masih didominasi oleh pendekatan normatif-tekstual yang kurang memperhatikan dimensi empiris-historis perkembangan ilmu di dunia Muslim.

Kritik eksternal, terutama dari perspektif sekularisme dan universalisme sains, mempertanyakan relevansi label “Islam” pada aktivitas ilmiah yang seharusnya bersifat objektif dan universal. Para kritikus ini berpendapat bahwa upaya untuk mengembangkan “sains Islam” yang berbeda dari “sains Barat” cenderung mengarah pada relativisme epistemologis dan isolasi intelektual.

Merespons berbagai kritik tersebut, beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Naquib al-Attas, Osman Bakar, dan Alparslan Açikgenç menekankan bahwa filsafat ilmu Islam tidak bermaksud untuk menciptakan “sains alternatif” yang menolak temuan-temuan empiris sains modern, melainkan untuk memberikan kerangka interpretatif yang berbeda terhadap temuan tersebut. Mereka berpendapat bahwa universalitas sains tidak bertentangan dengan diversitas kerangka metafisik dan nilai yang melandasi aktivitas ilmiah.

Implikasi Filsafat Ilmu Islam untuk Pengembangan Ilmu Kontemporer

Filsafat ilmu Islam memiliki implikasi signifikan untuk pengembangan ilmu kontemporer, terutama dalam menawarkan panduan etis, kontribusi metodologis, dan visi holistik tentang realitas. Dalam konteks global yang ditandai dengan berbagai krisis multidimensi—mulai dari krisis lingkungan hingga krisis moral dan spiritual—perspektif Islam tentang ilmu dapat memberikan wawasan berharga untuk pengembangan paradigma keilmuan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Salah satu implikasi penting filsafat ilmu Islam adalah dalam menyediakan panduan etis untuk penelitian ilmiah dan aplikasi teknologi. Berbeda dengan pandangan yang memisahkan fakta dari nilai (fact-value dichotomy), filsafat ilmu Islam menekankan bahwa aktivitas ilmiah selalu memiliki dimensi etis intrinsik. Prinsip-prinsip etika Islam seperti tauhid (kesatuan Tuhan), khilafah (perwalian manusia), mizan (keseimbangan), dan maslahah (kepentingan umum) menawarkan kerangka normatif untuk mengevaluasi arah penelitian dan aplikasi teknologi.

Dalam konteks bioetika, misalnya, prinsip penghormatan terhadap kemuliaan manusia (karamah al-insan) memberikan panduan untuk mengevaluasi teknologi reproduksi dan rekayasa genetik. Berbeda dengan bioetika sekular yang cenderung berfokus pada prinsip otonomi individual, bioetika Islam menekankan keseimbangan antara hak individual dan tanggung jawab kolektif, serta antara inovasi teknologi dan penghormatan terhadap batasan-batasan yang ditetapkan oleh syariah.

Abdulaziz Sachedina (2009) dalam karyanya “Islamic Biomedical Ethics” mendemonstrasikan bagaimana prinsip-prinsip etika Islam dapat diterapkan untuk mengatasi berbagai dilema bioetika kontemporer, mulai dari eutanasia hingga kloning manusia. Sachedina menekankan bahwa pendekatan Islam terhadap bioetika tidak bersifat statis atau dogmatis, melainkan didasarkan pada proses ijtihad (penalaran independen) yang dinamis dalam merespons perkembangan teknologi dan perubahan sosial.

Dalam bidang etika lingkungan, filsafat ilmu Islam menawarkan perspektif yang berbeda dari antroposentrisme modern yang cenderung memandang alam semata-mata sebagai sumber daya untuk dieksploitasi. Al-Quran menekankan bahwa manusia adalah khalifah (pemelihara) di bumi, bukan pemilik absolut yang bebas melakukan eksploitasi tanpa batasan:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’” (QS. Al-Baqarah 2:30).

Ibrahim Ozdemir (2003) dalam “Environmental Ethics from a Quranic Perspective” mengembangkan etika lingkungan Islam yang didasarkan pada konsep tauhid (kesatuan Tuhan), khilafah (perwalian manusia), mizan (keseimbangan), dan konsep bahwa seluruh ciptaan memuliakan Allah dan memiliki nilai intrinsik. Ozdemir berpendapat bahwa perspektif Islam dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi krisis lingkungan global dengan menawarkan alternatif terhadap pandangan dunia materialistik yang mendominasi hubungan manusia-alam dalam modernitas.

Implikasi kedua dari filsafat ilmu Islam adalah kontribusi metodologisnya terhadap pengembangan ilmu kontemporer. Tradisi keilmuan Islam klasik telah mengembangkan metodologi yang canggih dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu hadis hingga matematika dan kedokteran. Metodologi ini mencakup verifikasi multi-sumber, kritik internal-eksternal, dan pendekatan interdisipliner yang dapat memperkaya metodologi penelitian kontemporer.

Dalam ilmu sosial, misalnya, metodologi yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah” menawarkan pendekatan yang mengintegrasikan analisis empiris, teoretis, dan historis. Ibnu Khaldun tidak hanya mengumpulkan data historis, tetapi juga menganalisis pola-pola kausalitas dan mengembangkan teori sosial tentang dinamika peradaban. Pendekatan integratif ini dapat memberikan alternatif terhadap fragmentasi metodologis yang sering terjadi dalam ilmu sosial modern, di mana metode kuantitatif dan kualitatif, atau pendekatan mikro dan makro, sering diperlakukan sebagai paradigma yang terpisah.

Mouton, J. S. (1996) dalam “Understanding Social Research” telah menunjukkan keserupaan struktural antara metodologi Ibnu Khaldun dan pendekatan interdisipliner dalam ilmu sosial kontemporer. Ia berpendapat bahwa revitalisasi metodologi Khaldunian dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi dikotomi metodologis dalam ilmu sosial dan memfasilitasi dialog yang lebih konstruktif antara berbagai tradisi penelitian.

Dalam bidang ilmu alam, pendekatan eksperimental yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim klasik seperti Ibnu al-Haytham (Alhazen) memiliki relevansi kontemporer. Ibnu al-Haytham tidak hanya menekankan pentingnya observasi dan eksperimen, tetapi juga introspeksi kritis terhadap potensi bias dalam proses penelitian. Metodologi ini mencerminkan kesadaran tentang dimensi subjektif dalam aktivitas ilmiah yang selaras dengan perkembangan mutakhir dalam filsafat ilmu post-positivis.

Omar Khaleefa (1999) dalam “Who is the Founder of Psychophysics and Experimental Psychology?” berpendapat bahwa metodologi eksperimental Ibnu al-Haytham mengantisipasi banyak aspek metodologi ilmiah modern, termasuk desain eksperimental terkontrol, replikasi, dan verifikasi intersubjektif. Khaleefa menekankan bahwa pengakuan terhadap kontribusi historis ini penting bukan hanya untuk keadilan historiografis, tetapi juga untuk membuka kemungkinan dialog antara tradisi metodologis yang berbeda.

Implikasi ketiga dari filsafat ilmu Islam adalah dalam menawarkan visi holistik tentang realitas yang dapat mengatasi fragmentasi pengetahuan dalam tradisi keilmuan modern. Sistem klasifikasi ilmu dalam tradisi Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, menekankan keterkaitan organik antara berbagai cabang ilmu dan mengakui hierarki ilmu berdasarkan objek kajian dan metodologinya.

Osman Bakar (1998) dalam “Classification of Knowledge in Islam” berpendapat bahwa sistem klasifikasi ilmu Islam dapat memberikan kerangka konseptual untuk mengatasi fragmentasi disiplin keilmuan dalam sistem pendidikan modern. Ia menekankan bahwa sistem klasifikasi ini tidak bersifat statis atau dogmatis, melainkan terbuka untuk adaptasi dan pengembangan dalam merespons perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer.

Implikasi keempat adalah dalam pengembangan model pendidikan yang integratif. Filsafat ilmu Islam menawarkan kerangka konseptual untuk mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu (revealed knowledge) dengan pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran dan pengalaman (acquired knowledge). Model pendidikan integratif ini bertujuan untuk membentuk individu yang tidak hanya memiliki keterampilan profesional, tetapi juga kematangan spiritual dan moral.

International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang didirikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan International Islamic University Malaysia (IIUM) merupakan contoh lembaga pendidikan tinggi yang berupaya mengimplementasikan model pendidikan integratif berdasarkan filsafat ilmu Islam. Model pendidikan ini mencakup integrasi ilmu-ilmu naqliyyah (revealed sciences) dan ‘aqliyyah (rational sciences), serta penekanan pada pengembangan intelektual, spiritual, dan moral yang seimbang.

Rosnani Hashim (2005) dalam “Educational Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice” menganalisis tantangan dan prospek model pendidikan integratif di Malaysia. Ia berpendapat bahwa meskipun menghadapi berbagai kendala struktural dan historis, upaya untuk mengintegrasikan tradisi keilmuan Islam dengan ilmu modern tetap penting untuk mengatasi alienasi kultural dan krisis identitas yang dihadapi oleh masyarakat Muslim dalam menghadapi modernitas.

Implikasi kelima adalah dalam pengembangan ekonomi yang etis dan berkelanjutan. Filsafat ilmu Islam menekankan bahwa aktivitas ekonomi tidak dapat dipisahkan dari dimensi etis dan spiritual. Berbeda dengan ekonomi neoliberal yang cenderung memisahkan antara pertimbangan ekonomi dan etis, ekonomi Islam menekankan integrasi keduanya melalui prinsip-prinsip seperti keadilan (‘adl), kesejahteraan bersama (falah), dan larangan terhadap eksploitasi (riba, gharar).

Muhammad Umer Chapra (2000) dalam “The Future of Economics: An Islamic Perspective” mengembangkan kritik terhadap ekonomi neoklasik dari perspektif Islam dan mengusulkan paradigma ekonomi alternatif yang mengintegrasikan dimensi moral, sosial, dan spiritual. Chapra berpendapat bahwa krisis ekonomi global tidak hanya disebabkan oleh kegagalan mekanisme pasar atau regulasi, tetapi juga oleh kegagalan paradigmatik ekonomi konvensional yang memisahkan antara ekonomi dan etika.

Implikasi keenam adalah dalam pengembangan psikologi yang mengakui dimensi spiritual manusia. Berbeda dengan psikologi Barat mainstream yang cenderung berfokus pada dimensi fisik, kognitif, dan emosional, psikologi Islam mengakui dimensi ruhani (spiritual) sebagai aspek fundamental dalam memahami psike manusia.

Malik Badri (2000) dalam “Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study” mengembangkan pendekatan psikologis yang mengintegrasikan wawasan dari tradisi spiritual Islam dengan temuan-temuan psikologi modern. Badri mengkritik reduksionisme psikologi Barat yang cenderung mengabaikan dimensi spiritual dan mengusulkan model psikologi yang mengakui hierarki kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan fisik hingga spiritual.

Secara keseluruhan, filsafat ilmu Islam menawarkan perspektif alternatif yang dapat memperkaya diskursus global tentang peran ilmu pengetahuan dalam masyarakat kontemporer. Di tengah berbagai krisis yang dihadapi dunia modern—mulai dari krisis lingkungan hingga krisis makna—perspektif Islam tentang ilmu dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengembangkan paradigma keilmuan yang lebih holistik, etis, dan berkelanjutan.

Kesimpulan dan Refleksi

Filsafat ilmu dalam perspektif Islam menawarkan kerangka konseptual yang komprehensif untuk memahami hakikat, sumber, metode, dan tujuan ilmu pengetahuan berdasarkan worldview tauhid. Berbeda dengan tradisi keilmuan Barat modern yang cenderung memisahkan antara ilmu dan nilai, atau antara fakta dan makna, filsafat ilmu Islam menekankan integrasi berbagai dimensi realitas dan pengetahuan dalam kesatuan organik yang berpusat pada pengakuan terhadap Allah sebagai Sumber segala eksistensi dan pengetahuan.

Dalam perspektif epistemologis, filsafat ilmu Islam mengakui berbagai saluran pengetahuan yang saling melengkapi, termasuk wahyu, penalaran rasional, pengalaman empiris, dan intuisi spiritual. Pendekatan integratif ini mengatasi dikotomi epistemologis yang sering terjadi dalam tradisi keilmuan Barat, di mana rasionalisme dan empirisisme, atau objektivisme dan subjektivisme, sering diperlakukan sebagai paradigma yang terpisah dan bahkan bertentangan.

Dari perspektif ontologis, filsafat ilmu Islam didasarkan pada konsep hierarki realitas yang mengakui dimensi fisik dan metafisik sebagai aspek-aspek realitas yang saling terkait. Pandangan ini berbeda secara fundamental dari materialisme ontologis yang mendominasi sains modern, yang cenderung mereduksi realitas pada dimensi fisik yang dapat diobservasi dan diukur. Ontologi Islam menawarkan kerangka yang lebih komprehensif untuk memahami kompleksitas realitas dan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Dari perspektif aksiologis, filsafat ilmu Islam menekankan bahwa ilmu selalu terikat dengan nilai dan memiliki dimensi etis intrinsik. Tujuan tertinggi ilmu dalam perspektif Islam adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi. Pandangan ini memberikan orientasi teleologis bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menegaskan tanggung jawab moral dan spiritual ilmuwan dalam menerapkan pengetahuannya untuk kesejahteraan umat manusia dan seluruh ciptaan.

Dalam perkembangan historisnya, filsafat ilmu dalam tradisi Islam telah mengalami dinamika yang kompleks sejak masa awal peradaban Islam hingga era kontemporer. Pada periode klasik, filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina berhasil mengintegrasikan warisan intelektual dari peradaban-peradaban sebelumnya ke dalam kerangka worldview Islam, sementara pada periode modern, pemikir seperti Muhammad Iqbal, Ismail Raji al-Faruqi, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas berupaya merevitalisasi tradisi keilmuan Islam dalam konteks modernitas.

Dalam dialog dengan tradisi keilmuan Barat, filsafat ilmu Islam menawarkan perspektif alternatif yang dapat memperkaya diskursus global tentang hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan. Meskipun terdapat perbedaan fundamental dalam asumsi metafisik dan epistemologis, kedua tradisi ini juga memiliki titik-titik persamaan yang dapat menjadi landasan dialog konstruktif, terutama dalam merespons berbagai tantangan global yang dihadapi umat manusia saat ini.

Isu-isu kontemporer dalam filsafat ilmu Islam, seperti Islamisasi ilmu pengetahuan dan integrasi ilmu dan agama, mencerminkan upaya para pemikir Muslim untuk mengembangkan paradigma keilmuan yang responsif terhadap tantangan modernitas tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendekatan dalam merespons isu-isu ini, para pemikir Muslim kontemporer umumnya sepakat tentang pentingnya mengembangkan pendekatan integratif yang menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler, serta antara tradisi dan modernitas.

Implikasi filsafat ilmu Islam untuk pengembangan ilmu kontemporer sangat luas dan mencakup berbagai bidang, mulai dari pengembangan etika penelitian dan teknologi hingga revitalisasi metodologi penelitian integratif dan pengembangan model pendidikan holistik. Dalam konteks global yang ditandai dengan berbagai krisis multidimensi—mulai dari krisis lingkungan hingga krisis makna—perspektif Islam tentang ilmu dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengembangkan paradigma keilmuan yang lebih seimbang, etis, dan berkelanjutan.

Sebagai refleksi akhir, perlu ditekankan bahwa filsafat ilmu Islam bukanlah entitas monolitik yang statis, melainkan tradisi intelektual yang dinamis dan terus berkembang dalam merespons berbagai tantangan internal dan eksternal. Seperti tradisi intelektual lainnya, filsafat ilmu Islam tidak bebas dari ketegangan dan kontradiksi internal, serta dari pengaruh konteks sosial-historis di mana ia berkembang. Namun, justru dalam ketegangan kreatif inilah terletak vitalitas tradisi filsafat ilmu Islam yang memungkinkannya untuk terus beradaptasi dan memberikan kontribusi yang relevan dalam diskursus global tentang peran ilmu pengetahuan dalam masyarakat kontemporer.

Pada akhirnya, signifikansi filsafat ilmu Islam tidak terletak pada klaim eksklusif atas kebenaran atau superioritas terhadap tradisi keilmuan lainnya, melainkan pada kemampuannya untuk menawarkan perspektif alternatif yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas realitas dan pengetahuan manusia. Dalam konteks dunia yang semakin plural dan saling terhubung, dialog konstruktif antara berbagai tradisi filsafat ilmu—termasuk tradisi Islam—menjadi semakin penting untuk mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif dan nuansir tentang hakikat dan tujuan ilmu pengetahuan dalam melayani kesejahteraan umat manusia dan seluruh ciptaan.

Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Al-Attas, S. M. N. (1980). The concept of education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge: General principles and work plan. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.

Badri, M. (2000). Contemplation: An Islamic psychospiritual study. London: International Institute of Islamic Thought.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.

Bakar, O. (2008). Tawhid and science: Islamic perspectives on religion and science. Shah Alam: Arah Pendidikan.

Chapra, M. U. (2000). The future of economics: An Islamic perspective. Leicester: The Islamic Foundation.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Golshani, M. (2003). The holy Qur’an and the sciences of nature. Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies.

Guessoum, N. (2011). Islam’s quantum question: Reconciling Muslim tradition and modern science. London: I.B. Tauris.

Hashim, R. (2005). Educational dualism in Malaysia: Implications for theory and practice. Kuala Lumpur: The Other Press.

Iqbal, M. (1934/2007). The reconstruction of religious thought in Islam. Stanford, CA: Stanford University Press.

Iqbal, M. (2007). Science and Islam. Westport, CT: Greenwood Press.

Khaleefa, O. (1999). Who is the founder of psychophysics and experimental psychology? American Journal of Islamic Social Sciences, 16(2), 1-26.

Mouton, J. S. (1996). Understanding social research. Pretoria: Van Schaik Publishers.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the sacred. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). History of Islamic philosophy. London: Routledge.

Ozdemir, I. (2003). Environmental ethics from a Quranic perspective. In R. C. Foltz, F. M. Denny, & A. Baharuddin (Eds.), Islam and ecology: A bestowed trust (pp. 65-82). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sachedina, A. (2009). Islamic biomedical ethics: Principles and application. Oxford: Oxford University Press.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of ideas to come. London: Mansell.

Sardar, Z. (1989). Explorations in Islamic science. London: Mansell.

Setia, A. (2007). Three meanings of Islamic science: Toward operationalizing Islamization of science. Islam & Science, 5(1), 23-52.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect