Oleh
Asep Setiawan
Pendahuluan
Disiplin hubungan internasional telah lama didominasi oleh paradigma Barat yang berakar pada pengalaman sejarah Eropa, khususnya sejak Perjanjian Westphalia tahun 1648. Namun, ketika dunia bergerak menuju multipolaritas, kebutuhan untuk mempertimbangkan perspektif non-Barat, termasuk perspektif Islam, menjadi semakin penting dalam memahami dinamika global. Islam, sebagai agama dengan lebih dari 1,8 miliar pengikut dan peradaban yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan hubungan antarnegara selama berabad-abad, menawarkan pandangan alternatif tentang tatanan global dan interaksi antar komunitas politik. Hubungan internasional dalam perspektif Islam memiliki landasan yang kuat dalam teks-teks primer keagamaan, praktik historis, dan pemikiran intelektual yang berkembang sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga era kontemporer (Sonn, 2010).
Wacana hubungan internasional dalam Islam memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari teori-teori Barat. Jika teori Barat cenderung berfokus pada negara sebagai unit analisis utama dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama perilaku, perspektif Islam menekankan konsep ummah (komunitas global Muslim), keadilan universal, dan tanggung jawab moral dalam interaksi antarnegara. Prinsip-prinsip seperti tauhid (keesaan Allah), adalah (keadilan), dan rahmah (kasih sayang) membentuk kerangka etis yang memandu praktik hubungan internasional dalam tradisi Islam (Abu-Nimer, 2003).
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi fondasi konseptual hubungan internasional dalam perspektif Islam, dengan merujuk pada sumber-sumber primer seperti Al-Quran dan Hadits, serta karya-karya pemikir Muslim klasik dan kontemporer. Analisis akan mencakup evolusi historis pemikiran Islam tentang hubungan internasional, prinsip-prinsip utama yang mengatur interaksi antarnegara, dan relevansinya dalam menghadapi tantangan global kontemporer. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini menjadi landasan fundamental dalam perspektif Islam mengenai hubungan internasional, yang mengakui keragaman manusia sebagai keniscayaan dan mendorong interaksi positif antar komunitas berbeda untuk saling mengenal dan membangun hubungan berdasarkan mutual respect.
Fondasi Konseptual Hubungan Internasional dalam Islam
Perspektif Islam tentang hubungan internasional berakar pada prinsip-prinsip dasar yang ditemukan dalam sumber-sumber otoritatif Islam. Tauhid, sebagai konsep sentral dalam Islam, menekankan kesatuan kemanusiaan di bawah kedaulatan Ilahi dan menjadi landasan etis bagi interaksi antarnegara. Al-Quran menyatakan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107)
Ayat ini menunjukkan dimensi universal dari misi kenabian Muhammad SAW dan menekankan nilai-nilai inklusif dalam tradisi Islam. Ibn Khaldun (1332-1406 M), seorang sejarawan dan sosiolog Muslim terkemuka, dalam karyanya “Muqaddimah” mengembangkan teori siklus peradaban dan hubungan antarkomunitas yang menekankan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam dinamika hubungan internasional, jauh sebelum berkembangnya ilmu hubungan internasional modern di Barat (Ibn Khaldun, 1377/2015).
Konsep dasar lainnya adalah pembagian dunia dalam perspektif klasik yang membedakan antara Dar al-Islam (wilayah Islam), Dar al-Harb (wilayah perang), dan Dar al-Ahd/Dar al-Sulh (wilayah perjanjian). Meski demikian, pemikir kontemporer seperti Tariq Ramadan (2004) berargumen bahwa dikotomi tradisional ini perlu ditinjau ulang dalam konteks global saat ini, dan mengusulkan konsep Dar al-Shahadah (wilayah kesaksian) sebagai alternatif yang lebih tepat untuk menggambarkan posisi Muslim dalam dunia kontemporer.
Pemikir Muslim klasik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi (972-1058 M) dalam karyanya “Al-Ahkam al-Sultaniyyah” (Hukum-Hukum Pemerintahan) dan Muhammad al-Shaybani (750-805 M) dalam “Kitab al-Siyar al-Kabir” (Buku Besar tentang Hukum Internasional) telah mengembangkan kerangka hukum yang komprehensif untuk mengatur hubungan antarnegara, termasuk aturan perang, perjanjian damai, dan perlakuan terhadap non-Muslim (Hamidullah, 1968). Al-Shaybani bahkan dianggap sebagai bapak hukum internasional Islam yang karyanya mendahului Hugo Grotius, yang sering disebut sebagai bapak hukum internasional dalam tradisi Barat (Khadduri, 1966).
Pemikiran Islam tentang hubungan internasional tidak statis, melainkan mengalami evolusi signifikan dari masa ke masa. Pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), para sarjana Muslim mengembangkan teori hubungan internasional yang canggih, dipengaruhi oleh interaksi intensif dengan peradaban lain. Muhammad ibn Idris al-Shafi’i (767-820 M) dalam “Kitab al-Umm” mengembangkan konsep hukum diplomatik, termasuk imunitas diplomatik dan perlindungan utusan yang mencerminkan kompleksitas hubungan internasional pada zamannya (Al-Shafi’i, 820/1993).
Diplomasi dalam Tradisi Islam: Praktik Historis dan Prinsip Etis
Praktik diplomasi memiliki sejarah panjang dalam tradisi Islam, dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW yang mengirim surat-surat kepada para penguasa di berbagai wilayah, mengundang mereka untuk memeluk Islam. Salah satu contoh penting adalah Perjanjian Hudaibiyah (628 M) antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Mekah, yang sering dianggap sebagai model diplomasi dalam Islam. Meskipun beberapa ketentuan perjanjian tersebut tampak tidak menguntungkan bagi umat Islam pada awalnya, perjanjian ini terbukti menjadi kemenangan strategis yang membuka jalan bagi penyebaran Islam secara damai (Lings, 1983).
Nabi Muhammad SAW menerapkan prinsip-prinsip etis yang kuat dalam praktik diplomatiknya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ”
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan pentingnya menghormati tamu, termasuk utusan dari negara lain, yang menjadi dasar etika diplomasi dalam tradisi Islam. Praktik diplomatik ini berlanjut pada masa Khulafa ar-Rasyidin (632-661 M) dan masa dinasti-dinasti Islam berikutnya, dengan pengembangan lembaga khusus seperti Diwan al-Rasa’il (Departemen Korespondensi) pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah (Kennedy, 2016).
Salahuddin al-Ayyubi (1137-1193 M) merupakan contoh pemimpin Muslim yang terkenal karena keberhasilannya dalam diplomasi, bahkan dengan musuh-musuhnya selama Perang Salib. Kebijakannya yang toleran terhadap tawanan perang dan penduduk non-Muslim di wilayah yang ditaklukkan mencerminkan prinsip-prinsip etis hubungan internasional dalam Islam (Lyons & Jackson, 1982).
Konsep Perang dan Damai dalam Tradisi Islam
Diskusi tentang hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dari konsep perang dan damai. Dalam tradisi Islam, perang (qital) diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu dan dengan batasan ketat. Al-Quran menyatakan:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)
Ayat ini menetapkan prinsip proporsionalitas dan diskriminasi dalam perang, yang sejalan dengan konsep modern ius in bello dalam hukum humaniter internasional. Abu Bakr al-Siddiq, khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, memberikan instruksi terkenal kepada pasukan Muslim:
“Jangan berkhianat, jangan berlebihan, jangan membunuh anak-anak, orang tua, atau perempuan. Jangan merusak pohon kurma, membakar tanaman, atau memotong pohon berbuah. Jangan menyembelih kambing, sapi, atau unta kecuali untuk dimakan.” (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj)
Instruksi ini mencerminkan etika perang dalam Islam yang melarang perusakan berlebihan dan menekankan perlindungan terhadap non-kombatan, jauh sebelum pengembangan Konvensi Jenewa dalam hukum humaniter internasional modern (Weeramantry, 1988).
Meski demikian, Islam menekankan perdamaian sebagai kondisi ideal dalam hubungan internasional. Kata “Islam” sendiri berasal dari akar kata yang sama dengan “salam” (perdamaian). Al-Quran menyatakan:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 61)
Imam al-Ghazali (1058-1111 M) dalam karyanya “Ihya ‘Ulum al-Din” menekankan bahwa perdamaian harus menjadi prinsip dasar dalam hubungan antar komunitas, dan perang hanya diperbolehkan sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan diri atau menghentikan penindasan (Al-Ghazali, 1111/2010).
Perjanjian Internasional dalam Hukum Islam
Penghormatan terhadap perjanjian internasional (mu’ahadat) merupakan prinsip fundamental dalam hukum Islam. Al-Quran secara tegas memerintahkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji (akad-akad).” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)
Ayat ini menjadi dasar prinsip pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati) dalam hukum internasional Islam, yang juga merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional modern. Praktik ini terlihat jelas dalam sejarah diplomasi Islam, di mana pemimpin Muslim secara konsisten menjunjung tinggi komitmen terhadap perjanjian yang telah disepakati, bahkan ketika hal tersebut tidak menguntungkan bagi mereka (Khadduri, 1955).
Tabel 1 di bawah ini mengilustrasikan beberapa perjanjian penting dalam sejarah diplomasi Islam dan prinsip-prinsip yang dikembangkan melalui perjanjian-perjanjian tersebut:
| Perjanjian | Tahun | Pihak-pihak | Prinsip Utama yang Dikembangkan |
| Perjanjian Hudaibiyah | 628 M | Nabi Muhammad SAW dengan Quraisy Mekah | Gencatan senjata, kebebasan beribadah, prinsip negosiasi |
| Piagam Madinah | 622 M | Nabi Muhammad SAW dengan komunitas Madinah | Pluralisme, koeksistensi damai, pertahanan bersama |
| Perjanjian dengan penduduk Jerusalem | 638 M | Khalifah Umar bin Khattab dengan Penduduk Jerusalem | Perlindungan tempat ibadah, kebebasan beragama, keamanan properti |
| Perjanjian Damai Ramla | 1192 M | Salahuddin al-Ayyubi dengan Richard I (Inggris) | Akses peziarah ke tempat suci, pertukaran tawanan, perdagangan bebas |
| Perjanjian Karlowitz | 1699 M | Kekhalifahan Ottoman dengan Liga Suci Eropa | Integritas teritorial, penyelesaian sengketa damai, pemulihan hubungan diplomatik |
Sumber: Disusun berdasarkan karya Hamidullah (1968), Kennedy (2016), dan Khadduri (1955).
Perjanjian-perjanjian ini menunjukkan evolusi praktik diplomatik dalam tradisi Islam dan kontribusinya terhadap pengembangan prinsip-prinsip hukum internasional modern. Perjanjian Hudaibiyah, misalnya, meskipun tampak merugikan umat Islam pada awalnya, menetapkan preseden penting tentang nilai strategis kompromi diplomatik dan penghormatan terhadap perjanjian (Watt, 1961).
Konsep Siyar: Hukum Internasional Islam
Siyar, yang dapat diterjemahkan sebagai “perilaku negara Islam dalam hubungan internasional”, merupakan cabang hukum Islam yang khusus membahas hubungan dengan entitas politik non-Muslim. Muhammad al-Shaybani (750-805 M), murid Imam Abu Hanifah, dianggap sebagai perintis bidang ini melalui karyanya “Kitab al-Siyar al-Kabir”. Karya ini mengatur berbagai aspek hubungan internasional, termasuk deklarasi perang, perlakuan terhadap tawanan, penetapan perdamaian, perjanjian non-agresi, dan aktivitas diplomatik (Khadduri, 1966).
Beberapa prinsip penting dalam siyar meliputi:
- Aman (keamanan): Jaminan keamanan yang diberikan kepada individu atau kelompok non-Muslim di wilayah Islam.
- ‘Isma (tidak dapat diganggu gugat): Perlindungan yang diberikan kepada nyawa, properti, dan hak-hak individu.
- Hudna (gencatan senjata): Penghentian permusuhan sementara untuk tujuan negosiasi.
- Sulh (perjanjian damai): Kesepakatan formal yang mengakhiri konflik dan menetapkan hubungan damai.
Sarjana kontemporer seperti Majid Khadduri (1908-2007) telah melakukan upaya signifikan untuk menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan konsep siyar klasik dalam kerangka hubungan internasional modern. Dalam karyanya “War and Peace in the Law of Islam” (1955), Khadduri mengargumentasikan bahwa siyar mengantisipasi banyak konsep dalam hukum internasional modern, termasuk imunitas diplomatik, perlindungan non-kombatan, dan penyelesaian sengketa secara damai.
Muhammad Hamidullah (1908-2002) dalam karyanya “Muslim Conduct of State” (1968) menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip siyar berkembang dari praktik Nabi Muhammad SAW dan Khulafa ar-Rasyidin, kemudian disistematisasi oleh para fuqaha (ahli hukum Islam) dalam bentuk doktrin yang komprehensif. Ia menunjukkan bahwa hukum internasional Islam klasik, meskipun didasarkan pada premis religius, bersifat pragmatis dan adaptif terhadap realitas politik pada masanya.
Hubungan Ekonomi Internasional dalam Perspektif Islam
Dimensi ekonomi dari hubungan internasional merupakan aspek penting dalam tradisi Islam. Perdagangan internasional telah menjadi bagian integral dari peradaban Islam sejak awal, dengan jaringan perdagangan yang membentang dari Spanyol hingga Cina. Al-Quran mendorong aktivitas perdagangan yang jujur:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 29)
Ibn Khaldun dalam “Muqaddimah” mengembangkan teori ekonomi internasional yang canggih, membahas konsep keunggulan komparatif dalam perdagangan dan dampak kebijakan ekonomi terhadap hubungan antarnegara jauh sebelum David Ricardo dan ekonom klasik Barat lainnya (Ibn Khaldun, 1377/2015).
Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara prinsip-prinsip ekonomi internasional Islam dan ekonomi konvensional:
| Aspek | Perspektif Islam | Ekonomi Konvensional |
| Tujuan Perdagangan | Falah (kesejahteraan dunia dan akhirat), keadilan sosial | Maksimalisasi keuntungan, pertumbuhan ekonomi |
| Instrumen Keuangan | Bebas riba, berbasis ekuitas | Berbasis bunga, spekulasi diperbolehkan |
| Regulasi Pasar | Hisbah (pengawasan pasar), larangan monopoli dan eksploitasi | Deregulasi, kompetisi bebas |
| Transfer Teknologi | Kewajiban berbagi pengetahuan, pembangunan kapasitas | Perlindungan ketat HAKI, transfer teknologi sebagai komoditas |
| Bantuan Luar Negeri | Kewajiban membantu (zakat, sadaqah), tidak mensyaratkan kepentingan politik | Sering terikat dengan kepentingan geopolitik dan ekonomi |
| Pembangunan Berkelanjutan | Khalifah (penjagaan bumi), larangan israf (pemborosan) | Fokus pada keberlanjutan lingkungan, mulai mengintegrasikan dimensi sosial |
Sumber: Diadaptasi dari Chapra (2000), Siddiqi (2004), dan Askari (2013).
Pada era modern, ekonom Muslim seperti Muhammad Nejatullah Siddiqi, M. Umer Chapra, dan Khurshid Ahmad telah mengembangkan kerangka kerja ekonomi internasional Islam yang merespons tantangan globalisasi dan ketimpangan ekonomi global. Chapra (2000) dalam “The Future of Economics: An Islamic Perspective” mengargumentasikan perlunya reformasi sistem ekonomi global berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan berbagi risiko, bukan eksploitasi dan transfer risiko seperti yang sering terjadi dalam sistem konvensional.
Hossein Askari (2013) dalam “Collaborative Colonialism: The Political Economy of Oil in the Persian Gulf” menganalisis hubungan ekonomi negara-negara Muslim, khususnya produsen minyak, dengan kekuatan global dan mengusulkan model integrasi ekonomi yang lebih adil. Ia menekankan pentingnya redistribusi kekayaan global dan transfer teknologi sebagai manifestasi dari prinsip keadilan dalam hubungan ekonomi internasional Islam.
Tantangan Kontemporer dan Relevansi Perspektif Islam
Di era globalisasi, perspektif Islam tentang hubungan internasional menghadapi tantangan sekaligus peluang. Pemikir Muslim kontemporer telah berupaya mengkontekstualisasikan prinsip-prinsip klasik untuk merespons isu-isu seperti hak asasi manusia, intervensi kemanusiaan, perubahan iklim, dan terorisme internasional.
Abdullahi An-Na’im (1990) dalam “Toward an Islamic Reformation” mengusulkan reinterpretasi hukum Islam dalam kerangka hak asasi manusia universal, mencoba menjembatani ketegangan antara universalisme dan partikularisme kultural. Ia berargumen bahwa prinsip-prinsip keadilan dan martabat manusia dalam Islam sejalan dengan norma-norma hak asasi manusia internasional, meskipun formulasi spesifiknya mungkin berbeda.
Khaled Abou El Fadl (2014) dalam “Reasoning with God” mengkritik penggunaan kekerasan atas nama Islam dalam hubungan internasional dan berargumen untuk penafsiran yang lebih nuansir tentang konsep jihad. Ia menekankan bahwa tradisi hukum Islam klasik mengembangkan etika perang yang sangat canggih yang membatasi kekerasan dan mengutamakan solusi damai, yang relevan untuk mengatasi konflik kontemporer.
Organisasi Konferensi Islam (sekarang Organisasi Kerja Sama Islam/OKI), yang dibentuk pada tahun 1969, merupakan upaya institusional untuk mengembangkan kerangka kerja hubungan internasional berdasarkan solidaritas Muslim dan prinsip-prinsip Islam. Meskipun efektivitasnya sering dipertanyakan, OKI telah berupaya untuk menyuarakan kepentingan negara-negara Muslim di forum internasional dan menengahi konflik di dunia Islam (Haynes, 2016).
Pandemi COVID-19 dan krisis iklim global menunjukkan pentingnya solidaritas internasional dan kerja sama lintas batas, yang sejalan dengan prinsip ta’awun (kerja sama) dalam Islam. Al-Quran menyatakan:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2)
Ayat ini menjadi dasar etis untuk kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan global. Pemikir Muslim kontemporer seperti Tariq Ramadan (2004) dan Jasser Auda (2008) telah mengembangkan kerangka kerja etis yang memungkinkan partisipasi Muslim dalam tata kelola global tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Islam fundamental.
Salah satu debat penting dalam hubungan internasional Islam kontemporer adalah tentang universalitas versus partikularisme. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa perspektif Islam menawarkan alternatif terhadap universalisme liberal Barat yang hegemonik, sementara pemikir seperti Abdolkarim Soroush menekankan kompatibilitas antara nilai-nilai Islam dan norma-norma demokratis universal (Kamali, 2015).
Kesimpulan
Perspektif Islam tentang hubungan internasional menawarkan wawasan berharga yang dapat memperkaya disiplin hubungan internasional yang didominasi paradigma Barat. Dari prinsip-prinsip etis yang ditemukan dalam Al-Quran dan Hadits hingga praktik diplomatik dalam sejarah Islam dan pemikiran sarjana Muslim klasik dan kontemporer, tradisi Islam mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan mengatur interaksi antarnegara.
Kontribusi penting dari perspektif Islam meliputi penekanan pada keadilan sebagai prinsip fundamental dalam hubungan internasional, pengakuan terhadap pluralisme dan diversitas sebagai keniscayaan, pengembangan etika perang yang membatasi kekerasan dan melindungi non-kombatan, penghormatan terhadap perjanjian dan komitmen internasional, serta pemahaman tentang kesalingterkaitan antara dimensi material dan spiritual dalam politik global.
Di era globalisasi dan multipolaritas, di mana kebutuhan untuk dialog antar peradaban semakin mendesak, perspektif Islam dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan kerangka kerja hubungan internasional yang lebih inklusif dan berkeadilan. Sebagaimana dinyatakan oleh sarjana hubungan internasional Amitav Acharya (2014), disiplin hubungan internasional perlu mengalami “demokratisasi” dengan mengintegrasikan wawasan dari berbagai tradisi peradaban, termasuk Islam.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip Islam tentang hubungan internasional dalam konteks sistem negara modern dan rezim global yang ada. Ini membutuhkan tidak hanya pemahaman mendalam tentang tradisi intelektual Islam, tetapi juga dialog konstruktif dengan paradigma lain dan adaptasi kreatif terhadap realitas kontemporer. Seperti dinyatakan oleh Ibn Khaldun, “Geografi adalah takdir, tetapi manusia membuat sejarahnya sendiri.” Dalam semangat ini, perspektif Islam tentang hubungan internasional terus berkembang, merespons tantangan baru sambil tetap setia pada prinsip-prinsip fundamental keadilan, perdamaian, dan martabat manusia yang merupakan inti dari ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Abu-Nimer, M. (2003). Nonviolence and peace building in Islam: Theory and practice. University Press of Florida.
Acharya, A. (2014). Global international relations (IR) and regional worlds: A new agenda for international studies. International Studies Quarterly, 58(4), 647-659.
Al-Ghazali, A. H. (2010). Ihya ‘Ulum al-Din (Revival of Religious Sciences). (M. Mahdi, Trans.). Islamic Book Trust. (Karya asli diterbitkan 1111).
Al-Shafi’i, M. I. (1993). Kitab al-Umm. (A. Y. Hassan, Trans.). Dar al-Kutub al-Ilmiyah. (Karya asli diterbitkan 820).
An-Na’im, A. (1990). Toward an Islamic reformation: Civil liberties, human rights, and international law. Syracuse University Press.
Askari, H. (2013). Collaborative colonialism: The political economy of oil in the Persian Gulf. Palgrave Macmillan.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. International Institute of Islamic Thought.
Chapra, M. U. (2000). The future of economics: An Islamic perspective. The Islamic Foundation.
El Fadl, K. A. (2014). Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the modern age. Rowman & Littlefield.
Hamidullah, M. (1968). Muslim conduct of state (5th ed.). Sh. Muhammad Ashraf.
Haynes, J. (2016). Religion and international relations in the Middle East. E. Elgar Publishing.
Ibn Khaldun. (2015). The Muqaddimah: An introduction to history. (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press. (Karya asli diterbitkan 1377).
Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of moderation in Islam: The Qur’anic principle of Wasatiyyah. Oxford University Press.
Kennedy, H. (2016). The Prophet and the age of the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century (3rd ed.). Routledge.
Khadduri, M. (1955). War and peace in the law of Islam. Johns Hopkins Press.
Khadduri, M. (1966). The Islamic law of nations: Shaybani’s Siyar. Johns Hopkins Press.
Lings, M. (1983). Muhammad: His life based on the earliest sources. Islamic Texts Society.
Lyons, M. C., & Jackson, D. E. P. (1982). Saladin: The politics of the holy war. Cambridge University Press.
Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.
Siddiqi, M. N. (2004). Riba, bank interest and the rationale of its prohibition. Islamic Development Bank.
Sonn, T. (2010). Islam: A brief history (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and statesman. Oxford University Press.
Weeramantry, C. G. (1988). Islamic jurisprudence: An international perspective. Palgrave Macmillan.







Tinggalkan komentar