Diplomasi Kemanusiaan dalam Islam: Konsep dan Praktik

Oleh

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

1. Pendahuluan

Diplomasi kemanusiaan merupakan dimensi penting dalam hubungan internasional kontemporer yang semakin mendapat perhatian di tengah berbagai krisis global. Menurut definisi Komite Internasional Palang Merah, diplomasi kemanusiaan mencakup upaya meyakinkan para pengambil keputusan dan pemimpin opini untuk bertindak demi kepentingan masyarakat rentan dan dengan penuh penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan fundamental (ICRC, 2009). Dalam konteks ini, Islam sebagai sistem nilai komprehensif memiliki khazanah pemikiran dan praktik yang kaya mengenai diplomasi kemanusiaan yang belum sepenuhnya dieksplorasi dalam kajian akademis kontemporer.

Artikel ini bertujuan menganalisis konsep, prinsip, dan praktik diplomasi kemanusiaan dari perspektif Islam, dengan mengintegrasikan landasan doktrinal dari sumber-sumber primer (Al-Quran dan Hadis) dengan pengalaman historis dan aplikasi kontemporer. Sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah Ahmad an-Na’im (2008) dalam karyanya “Islam and the Secular State“, nilai-nilai kemanusiaan universal dalam Islam dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap diskursus global tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan, termasuk dalam konteks diplomasi.

Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang dianugerahi martabat inheren, sebagaimana tercermin dalam ayat Al-Quran:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’ [17]: 70)

Ayat ini menegaskan prinsip fundamental bahwa martabat manusia bersifat universal, melampaui batas-batas identitas agama, etnis, atau nasional. Prinsip ini membentuk landasan doktrinal bagi pendekatan Islam terhadap diplomasi kemanusiaan.

Dalam konteks historis, praktik diplomasi kemanusiaan dapat ditelusuri sejak masa awal Islam. Nabi Muhammad SAW, sebagai kepala negara Madinah, menerapkan berbagai kebijakan yang mencerminkan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan dengan komunitas dan entitas politik lainnya. Piagam Madinah (622 M), misalnya, menjamin perlindungan terhadap kelompok minoritas dan menetapkan kerangka kerja untuk koeksistensi damai dalam masyarakat yang heterogen (Hamidullah, 1968).

Signifikansi studi ini terletak pada potensinya untuk memperkaya diskursus global tentang diplomasi kemanusiaan dengan perspektif yang bersumber dari tradisi Islam. Di tengah berbagai krisis kemanusiaan kontemporer yang mempengaruhi banyak masyarakat Muslim—seperti konflik berkepanjangan, perpindahan paksa, dan bencana alam—pemahaman yang lebih dalam tentang perspektif Islam mengenai diplomasi kemanusiaan menjadi semakin relevan, baik bagi sarjana hubungan internasional maupun praktisi kemanusiaan.

Yusuf al-Qaradawi, sarjana Islam kontemporer, dalam karyanya “Fiqh al-Awlawiyyat” (Fikih Prioritas) menekankan bahwa:

“الإنسانية قبل الإسلامية، فلا يمكن أن يكون المرء مسلماً حقاً قبل أن يكون إنساناً حقاً”

“Kemanusiaan mendahului keislaman, seseorang tidak bisa menjadi Muslim sejati sebelum menjadi manusia sejati” (Al-Qaradawi, 1996, p. 27).

Pernyataan ini menyoroti prioritas nilai kemanusiaan dalam etika Islam, yang menjadi fondasi bagi pendekatan Islam terhadap diplomasi kemanusiaan.

Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dapat memberikan kerangka etis dan praktis untuk diplomasi kemanusiaan dalam konteks global. Dengan mengintegrasikan perspektif normatif yang berakar dalam sumber-sumber Islam dengan analisis empiris terhadap praktik historis dan kontemporer, kajian ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang lebih nuansir tentang diplomasi kemanusiaan dari perspektif Islam.

2. Landasan Konseptual Diplomasi Kemanusiaan dalam Islam

2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Diplomasi Kemanusiaan

Diplomasi kemanusiaan, sebagai konsep modern, merujuk pada aktivitas diplomatik yang dipandu oleh kepentingan kemanusiaan, bertujuan melindungi dan memenuhi kebutuhan populasi rentan, serta memelihara martabat manusia dalam situasi krisis. Menurut Régnier (2011) dalam “The emerging concept of humanitarian diplomacy“, diplomasi kemanusiaan meliputi negosiasi akses kemanusiaan, promosi prinsip-prinsip kemanusiaan, dan advokasi untuk perlindungan kelompok rentan.

Dalam konteks Islam, konsep ini dapat diartikulasikan sebagai “al-diblumasiyyah al-insaniyyah” (الدبلوماسية الإنسانية), yang mencakup upaya-upaya diplomatik yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan universal (insaniyyah) yang berakar dalam nilai-nilai Islam. Meskipun terminologi spesifik ini merupakan konstruksi modern, praktik dan prinsip yang mendasarinya memiliki preseden dalam tradisi Islam.

Muhammad Abu Zahra (1898-1974), sarjana hukum Islam terkemuka, dalam “al-‘Alaqat al-Dawliyyah fi al-Islam” (Hubungan Internasional dalam Islam) menjelaskan bahwa Islam menetapkan kerangka etis yang komprehensif untuk interaksi dengan komunitas lain berdasarkan prinsip kemanusiaan bersama:

“الأصل في علاقات المسلمين بغيرهم هو السلام والتعاون على البر والتقوى، والغاية النهائية هي تحقيق المصالح الإنسانية المشتركة”

“Prinsip dasar dalam hubungan Muslim dengan non-Muslim adalah perdamaian dan kerja sama dalam kebajikan dan kesalehan, dengan tujuan akhir mewujudkan kepentingan kemanusiaan bersama” (Abu Zahra, 1964, p. 45).

Ruang lingkup diplomasi kemanusiaan dalam Islam meliputi berbagai dimensi, termasuk:

  1. Perlindungan bagi yang Rentan: Mencakup perlindungan terhadap pengungsi, korban perang, dan kelompok minoritas.
  2. Bantuan Kemanusiaan: Penyediaan bantuan material dan non-material bagi populasi yang terkena dampak krisis.
  3. Resolusi Konflik: Upaya mediasi dan rekonsiliasi untuk mengakhiri permusuhan dan mempromosikan perdamaian.
  4. Advokasi Hak Asasi: Pembelaan terhadap hak dan martabat semua manusia berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
  5. Kerja Sama Lintas Budaya: Memfasilitasi dialog dan pertukaran antarperadaban untuk kesejahteraan bersama.

Abdul Karim Zaidan dalam “Majmu’at Buhuth Fiqhiyyah” (Kumpulan Kajian Fikih) menyoroti bahwa diplomasi kemanusiaan dalam Islam tidak terbatas pada hubungan antarnegara, tetapi mencakup interaksi antara berbagai entitas sosial dan politik, termasuk komunitas agama, kelompok etnis, dan organisasi masyarakat sipil (Zaidan, 1986).

2.2 Konsep Insaniyah dalam Al-Quran dan Hadis

Insaniyah (kemanusiaan) merupakan konsep sentral dalam Al-Quran dan Hadis yang menjadi landasan bagi diplomasi kemanusiaan Islam. Al-Quran secara berulang menekankan kesatuan asal dan tujuan manusia, sebagaimana tercermin dalam ayat:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini menetapkan tiga prinsip fundamental yang relevan dengan diplomasi kemanusiaan:

  1. Kesatuan Asal: Semua manusia berasal dari sumber yang sama, menegaskan kesetaraan fundamental.
  2. Diversitas Sebagai Desain: Keragaman etnis, budaya, dan nasional merupakan bagian dari rancangan ilahi untuk memfasilitasi interaksi dan saling mengenal (lita’arafu).
  3. Kriteria Nilai: Nilai seseorang ditentukan bukan oleh identitas etnis, nasional, atau agama, melainkan oleh kualitas moral dan spiritual.

Dalam konteks hadis, Nabi Muhammad SAW menegaskan universalitas kemanusiaan dalam berbagai kesempatan. Dalam Khutbah Perpisahan (Khutbah Wada’), beliau menyatakan:

“أيها الناس، ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأحمر على أسود، ولا لأسود على أحمر، إلا بالتقوى”

“Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian (Adam) satu. Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, atau bagi non-Arab atas Arab, atau bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, atau bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menetapkan prinsip egalitarianisme radikal yang menolak hierarki berbasis etnis atau ras, memberikan landasan kuat bagi pendekatan kemanusiaan universal dalam diplomasi Islam.

Fazlur Rahman (1919-1988), sarjana Islam terkemuka, dalam “Major Themes of the Qur’an” menyoroti bahwa konsep insaniyah dalam Al-Quran tidak hanya bersifat deskriptif tetapi juga normatif, menetapkan tanggung jawab moral untuk memperlakukan semua manusia dengan martabat dan keadilan (Rahman, 1980). Interpretasi ini memiliki implikasi langsung terhadap praktik diplomasi kemanusiaan Islam yang menekankan solidaritas lintas batas identitas.

2.3 Kerangka Etis dan Normatif

Diplomasi kemanusiaan dalam Islam berpijak pada kerangka etis dan normatif yang komprehensif, yang menggabungkan prinsip-prinsip fundamental dengan aturan spesifik untuk situasi berbeda. Kerangka ini dapat dikonseptualisasikan dalam tiga tingkatan:

  1. Prinsip-Prinsip Universal (Mabadi’ Kulliyyah): Mencakup konsep dasar seperti martabat manusia (karamah insaniyah), keadilan (‘adl), dan kebajikan (ihsan).
  2. Aturan Umum (Qawa’id ‘Ammah): Pedoman yang diturunkan dari prinsip universal, seperti larangan menyerang warga sipil, kewajiban membantu yang membutuhkan, dan penghormatan terhadap perjanjian.
  3. Aturan Spesifik (Ahkam Tafsiliyyah): Regulasi terperinci untuk situasi khusus, seperti perlakuan terhadap tawanan perang, distribusi bantuan kemanusiaan, dan prosedur untuk memberikan suaka.

Muhammad Hashim Kamali, dalam “Principles of Islamic Jurisprudence” (2003), menjelaskan bahwa kerangka etis Islam dibangun di atas konsep maqasid al-shariah (tujuan syariah), yang mencakup perlindungan terhadap lima nilai fundamental: agama (din), nyawa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, konsep ini menyediakan dasar untuk mengevaluasi kebijakan dan praktik berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan manusia.

Ibn Ashur (1879-1973), sarjana Tunisia dan perumus teori maqasid modern, dalam “Maqasid al-Shariah al-Islamiyyah” menambahkan dimensi sosial pada teori maqasid tradisional, termasuk perlindungan terhadap kebebasan (hurriyah), kesetaraan (musawah), dan solidaritas sosial (takaful ijtima’i), yang memiliki implikasi langsung terhadap diplomasi kemanusiaan (Ibn Ashur, 2006).

Tariq Ramadan, sarjana Islam kontemporer, dalam “Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation” (2009) mengusulkan reinterpretasi maqasid untuk mencakup perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan global, memperluas cakupan etika Islam untuk menghadapi tantangan kemanusiaan kontemporer.

Kerangka etis Islam juga mencakup konsep maslahah (kepentingan publik) dan dar’ al-mafasid (pencegahan bahaya), yang menjadi dasar bagi evaluasi kebijakan diplomatik dari perspektif kemanusiaan. Al-Shatibi (d. 1388 M) dalam “Al-Muwafaqat” mengembangkan teori maslahah yang memberi prioritas pada kesejahteraan umum di atas kepentingan partikular, menjadi landasan untuk pendekatan Islam terhadap krisis kemanusiaan global (Al-Shatibi, 1997).

3. Prinsip-Prinsip Fundamental Diplomasi Kemanusiaan Islam

3.1 Karamah Insaniyah (Martabat Kemanusiaan)

Karamah insaniyah (martabat kemanusiaan) merupakan prinsip fundamental dalam Islam yang menjadi landasan bagi pendekatan terhadap diplomasi kemanusiaan. Konsep ini berakar pada ayat Al-Quran yang secara eksplisit menyatakan pemuliaan Allah terhadap manusia (QS. Al-Isra’ [17]: 70), menetapkan bahwa martabat manusia bersifat inheren dan tidak dapat dicabut.

Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam “The Heart of Islam” (2002), konsep karamah dalam Islam lebih dari sekadar pengakuan terhadap hak-hak dasar, tetapi mencakup dimensi spiritual yang melihat manusia sebagai manifestasi kehadiran ilahi (khalifatullah) di bumi, yang memiliki potensi untuk mencerminkan sifat-sifat Allah.

Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, prinsip karamah insaniyah memiliki beberapa implikasi praktis:

  1. Universalitas Perlindungan: Semua manusia, terlepas dari identitas agama, etnis, atau nasional, berhak atas perlindungan dan bantuan dalam situasi krisis.
  2. Holisme Kebutuhan: Pendekatan terhadap kebutuhan kemanusiaan harus mencakup dimensi material dan non-material, termasuk kebutuhan spiritual, psikologis, dan kultural.
  3. Subjektivitas: Penerima bantuan kemanusiaan harus diperlakukan sebagai subjek dengan agensi dan martabat, bukan sekadar objek intervensi.

Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam “Ihya’ ‘Ulum al-Din” (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) mengembangkan perspektif holistik tentang kebutuhan manusia yang mencakup kebutuhan primer (daruriyyat), sekunder (hajiyyat), dan tersier (tahsiniyyat), menyediakan kerangka untuk prioritisasi dalam intervensi kemanusiaan (Al-Ghazali, 1993).

Mohammad Hashim Kamali dalam “The Dignity of Man: An Islamic Perspective” (2002) mengeksplorasi bagaimana konsep karamah dapat diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip hukum dan kebijakan praktis yang melindungi martabat manusia dalam berbagai konteks, termasuk krisis kemanusiaan.

3.2 Rahmatan lil-‘Alamin (Rahmat bagi Semesta)

Konsep rahmatan lil-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) berasal dari deskripsi Al-Quran tentang misi Nabi Muhammad SAW:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107)

Prinsip ini menetapkan bahwa nilai-nilai dan ajaran Islam dimaksudkan untuk membawa manfaat universal, melampaui batas-batas komunitas Muslim. Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, prinsip ini memiliki beberapa implikasi:

  1. Inklusivitas Bantuan: Bantuan kemanusiaan Islam harus disalurkan tanpa diskriminasi berdasarkan identitas agama atau etnis.
  2. Motivasi Positif: Intervensi kemanusiaan harus dimotivasi oleh keinginan tulus untuk meringankan penderitaan, bukan agenda politik tersembunyi.
  3. Pendekatan Holistik: Upaya kemanusiaan harus mencakup dimensi material dan spiritual, mencerminkan pemahaman komprehensif tentang kesejahteraan manusia.

Yusuf al-Qaradawi dalam “Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami” (Non-Muslim dalam Masyarakat Islam) mengembangkan argumen bahwa konsep rahmah (kasih sayang) dalam Islam tidak membedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam konteks bantuan kemanusiaan (Al-Qaradawi, 1985).

Dalam konteks historis, prinsip ini tercermin dalam kebijakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang memperluas bantuan kemanusiaan kepada komunitas non-Muslim. Umar bin Khattab, khalifah kedua, misalnya, memerintahkan pemberian bantuan dari baitul mal (kas negara) kepada penduduk Yahudi yang miskin di Madinah, menegaskan bahwa bantuan sosial dalam Islam tidak dibatasi oleh identitas agama (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj).

3.3 Ukhuwwah Insaniyah (Persaudaraan Kemanusiaan)

Ukhuwwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) merupakan perluasan dari konsep persaudaraan dalam Islam yang mencakup seluruh umat manusia berdasarkan kesatuan asal dan tujuan eksistensial. Konsep ini berakar pada berbagai ayat Al-Quran yang menekankan kesatuan kemanusiaan, termasuk QS. Al-Hujurat [49]: 13 dan QS. Al-Nisa’ [4]: 1.

Dalam hadis terkenal, Nabi Muhammad SAW mengajarkan:

“الخلق عيال الله وأحبهم إلى الله أنفعهم لعياله”

“Semua makhluk adalah keluarga Allah, dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya.” (HR. Al-Bayhaqi)

Hadis ini menetapkan prinsip bahwa semua manusia membentuk satu “keluarga” di hadapan Allah, dan nilai tertinggi terletak pada pelayanan terhadap kemanusiaan.

Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, prinsip ukhuwwah insaniyah mendorong:

  1. Solidaritas Universal: Kepedulian aktif terhadap penderitaan manusia di mana pun, terlepas dari identitas agama atau nasional.
  2. Empati Lintas Budaya: Kemampuan untuk memahami dan merespons pengalaman dan kebutuhan komunitas yang berbeda.
  3. Kerangka Kerja Kolaboratif: Kerja sama dengan berbagai aktor kemanusiaan berdasarkan tujuan bersama meringankan penderitaan.

Hassan Hanafi, filsuf Mesir kontemporer, dalam “Al-Turath wa al-Tajdid” (Tradisi dan Pembaruan) mengembangkan konsep “teologi antroposentris” yang menekankan persaudaraan kemanusiaan sebagai manifestasi iman autentik (Hanafi, 1980).

Muhammad Abduh (1849-1905), reformis Mesir, menekankan bahwa nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan kemanusiaan universal harus menjadi dasar bagi kerja sama lintas agama untuk kesejahteraan bersama, sebuah pandangan yang memiliki implikasi signifikan untuk diplomasi kemanusiaan kontemporer (Rida, Tarikh al-Ustadh al-Imam).

3.4 ‘Adl (Keadilan) dan Ihsan (Kebajikan)

Al-Quran menegaskan pentingnya keadilan (‘adl) dan kebajikan (ihsan) sebagai prinsip moral fundamental:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]: 90)

Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, ‘adl dan ihsan memiliki makna dan implikasi spesifik:

  1. ‘Adl (Keadilan): Merujuk pada distribusi bantuan berdasarkan kebutuhan, tanpa diskriminasi atau favoritisme, serta upaya mengatasi penyebab struktural krisis kemanusiaan.
  2. Ihsan (Kebajikan): Melampaui keadilan formal untuk mencakup empati, kemurahan hati, dan perhatian proaktif terhadap kesejahteraan orang lain, memandu cara bantuan diberikan.

Mahathir Mohamad dan Ishak Rejab dalam “Islam and the Muslim Ummah” (2003) menyoroti bahwa keadilan dalam perspektif Islam memiliki dimensi distributional dan prosedural, yang keduanya relevan dengan praktik diplomasi kemanusiaan.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350 M) dalam “Al-Turuq al-Hukmiyyah” (Metode-metode Peradilan) menekankan bahwa keadilan merupakan tujuan utama syariat Islam, dan semua sistem dan praktik yang gagal mewujudkan keadilan bertentangan dengan esensi Islam, terlepas dari justifikasi formal (Ibn Qayyim, 1995).

Dalam konteks bantuan kemanusiaan, prinsip-prinsip ini mendorong pendekatan yang tidak hanya mengatasi gejala langsung krisis tetapi juga faktor-faktor struktural yang mendasarinya, sambil memastikan bahwa bantuan diberikan dengan cara yang menjaga martabat penerima.

3.5 Tasamuh (Toleransi) dan Ta’awun (Kerja Sama)

Tasamuh (toleransi) dan ta’awun (kerja sama) merupakan prinsip operasional dalam diplomasi kemanusiaan Islam yang memfasilitasi interaksi produktif dengan berbagai aktor dan komunitas.

Al-Quran mendorong kerja sama dalam kebajikan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2)

Ayat ini menyediakan landasan doktrinal untuk kerja sama lintas batas identitas dalam isu-isu kemanusiaan, yang dianggap sebagai bentuk “kebajikan” (birr).

Terkait toleransi, Al-Quran menetapkan prinsip tidak ada paksaan dalam agama:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Prinsip ini menjadi dasar bagi pendekatan inklusif dalam diplomasi kemanusiaan yang menghormati diversitas agama dan budaya.

Dalam konteks praktis, prinsip-prinsip ini memiliki beberapa implikasi:

  1. Kerja Sama Multi-Aktor: Kesediaan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk organisasi non-Muslim, dalam mengatasi krisis kemanusiaan.
  2. Penghormatan terhadap Diversitas: Sensitivitas terhadap kebutuhan kultural dan religius spesifik komunitas yang terkena dampak krisis.
  3. Pendekatan Inklusif: Melibatkan komunitas lokal dan berbagai pemangku kepentingan dalam perencanaan dan implementasi inisiatif kemanusiaan.

Fethullah Gülen, sarjana dan aktivis Turki kontemporer, dalam “Toward a Global Civilization of Love and Tolerance” (2004) mengembangkan konsep “toleransi aktif” yang melampaui sikap pasif menjadi keterlibatan proaktif dengan berbagai tradisi untuk mengidentifikasi nilai-nilai bersama dan membangun aliansi strategis untuk kebaikan bersama.

4. Landasan Historis: Diplomasi Kemanusiaan dalam Sejarah Islam

4.1 Era Kenabian

Era kenabian Muhammad SAW (610-632 M) menyaksikan implementasi awal prinsip-prinsip diplomasi kemanusiaan dalam Islam. Beberapa contoh penting termasuk:

  1. Piagam Madinah (622 M): Dokumen konstitusional yang mengatur hubungan antara berbagai kelompok di Madinah, termasuk klausa tentang perlindungan minoritas, bantuan bersama dalam krisis, dan resolusi konflik secara damai. Montgomery Watt dalam “Muhammad at Medina” (1956) menggambarkannya sebagai “dokumen luar biasa” yang menciptakan “masyarakat tunggal (ummah)” dari kelompok-kelompok yang beragam.
  2. Perlakuan terhadap Tawanan Perang: Nabi Muhammad SAW menetapkan standar perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang, termasuk penyediaan makanan dan pakaian yang layak, perlindungan dari penyiksaan, dan mekanisme untuk pembebasan. Al-Quran menyatakan:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan [76]: 8)

  1. Perjanjian Hudaibiyah (628 M): Meskipun pada awalnya tampak merugikan bagi Muslim, perjanjian ini menunjukkan prioritas Nabi terhadap perdamaian dan dialog di atas konfrontasi. Akram Diya al-Umari dalam “Madinan Society at the Time of the Prophet” (1991) menyoroti bagaimana perjanjian ini mencerminkan diplomasi preventif yang menghindari kekerasan lebih lanjut.
  2. Respons terhadap Bencana Alam: Terdapat catatan tentang respons kolaboratif terhadap kekeringan dan kelaparan, di mana sumber daya dikumpulkan dan didistribusikan berdasarkan kebutuhan, bukan afiliasi agama atau kesukuan.

Martin Lings dalam biografinya “Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources” (1983) mencatat bahwa pendekatan Nabi terhadap hubungan dengan komunitas lain didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan pengakuan terhadap kemanusiaan bersama, yang menjadi fondasi bagi tradisi diplomatik Islam selanjutnya.

4.2 Masa Khulafaur Rasyidin

Masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) menyaksikan perluasan prinsip-prinsip diplomasi kemanusiaan Islam ke wilayah yang lebih luas. Beberapa contoh signifikan termasuk:

  1. Perjanjian Yerusalem (638 M): Ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan Patriark Sophronius, perjanjian ini menjamin keamanan penduduk, perlindungan tempat ibadah, dan kebebasan beragama bagi warga non-Muslim. Menurut Karen Armstrong dalam “Jerusalem: One City, Three Faiths” (1996), perjanjian ini menjadi model bagi koeksistensi damai antarpemeluk agama di wilayah-wilayah Muslim.
  2. Kebijakan Perlindungan Minoritas: Khalifah Ali bin Abi Thalib terkenal dengan pernyataannya kepada gubernurnya:

“الناس صنفان: إما أخ لك في الدين أو نظير لك في الخلق”

“Manusia terbagi dua: saudara seagama atau saudara sesama makhluk.” (Nahjul Balaghah, Surat 53)

Pernyataan ini menjadi dasar bagi kebijakan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan kemanusiaan bersama, bukan identitas agama.

  1. Respons terhadap Bencana: Selama masa kekeringan pada era Umar bin Khattab, dikenal sebagai “‘Am al-Ramada” (Tahun Abu), khalifah menerapkan serangkaian kebijakan kemanusiaan, termasuk penundaan pajak, distribusi bantuan dari provinsi yang tidak terkena dampak, dan pembukaan gudang makanan publik. Mohammad Hashim Kamali dalam “The Right to Life, Security, Privacy and Ownership in Islam” (2008) mencatat bahwa respons ini mencerminkan pemahaman sistemik tentang ketahanan masyarakat dalam menghadapi krisis.

Hugh Kennedy dalam “The Great Arab Conquests” (2007) menyoroti bahwa meskipun era ini ditandai oleh ekspansi militer, kebijakan pasca-penaklukan sering mencerminkan prinsip-prinsip diplomasi kemanusiaan, dengan penekanan pada perlindungan warga sipil, penghormatan terhadap tempat ibadah, dan pembentukan sistem administratif yang adil.

4.3 Dinasti-Dinasti Islam

Era dinasti-dinasti besar Islam—Umayyah (661-750 M), Abbasiyah (750-1258 M), dan lainnya—menandai pelembagaan lebih lanjut dari praktik diplomasi kemanusiaan. Beberapa perkembangan penting termasuk:

  1. Waqf (Wakaf) sebagai Instrumen Kemanusiaan: Institusi wakaf berkembang pesat sebagai mekanisme untuk mendanai berbagai layanan sosial dan kemanusiaan, termasuk rumah sakit (bimaristan), tempat penginapan untuk musafir (khan), dan sarana publik. Adam Sabra dalam “Poverty and Charity in Medieval Islam” (2000) menyoroti bagaimana sistem wakaf berfungsi sebagai jaringan kesejahteraan transnasional yang melampaui batas-batas politik.
  2. Diplomasi Ilmu Pengetahuan: Gerakan penerjemahan dan pertukaran ilmiah yang disponsori oleh khalifah-khalifah Abbasiyah seperti Al-Ma’mun mencerminkan bentuk diplomasi kultural yang berdampak kemanusiaan jangka panjang. Dimitri Gutas dalam “Greek Thought, Arabic Culture” (1998) menggambarkan bagaimana inisiatif ini memfasilitasi transfer pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia secara luas.
  3. Perlindungan Pengungsi: Berbagai dinasti Islam mengembangkan tradisi memberikan perlindungan kepada kelompok yang teraniaya dari wilayah lain. Sebagai contoh, kekhalifahan Umayyah di Spanyol (Al-Andalus) menerima pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan di Eropa Kristen. María Rosa Menocal dalam “The Ornament of the World” (2002) mendokumentasikan bagaimana kebijakan ini menciptakan masyarakat plural yang dinamis.
  4. Bimaristans (Rumah Sakit) sebagai Institusi Kemanusiaan: Rumah sakit publik yang didirikan oleh berbagai penguasa Muslim menyediakan perawatan medis tanpa memandang identitas agama atau status sosial. Peter Pormann dan Emilie Savage-Smith dalam “Medieval Islamic Medicine” (2007) mencatat bahwa bimaristan menjadi “institusi sosial utama” yang mencerminkan komitmen terhadap kesejahteraan universal.

Richard Bulliet dalam “The Case for Islamo-Christian Civilization” (2004) berpendapat bahwa era ini ditandai oleh “koeksistensi kreatif” antara berbagai komunitas agama dan etnis, yang difasilitasi oleh pendekatan pragmatis terhadap hubungan antarkelompok yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan bersama.

4.4 Imperium Ottoman

Imperium Ottoman (1299-1922) mengembangkan sistem diplomasi yang canggih yang mencakup dimensi kemanusiaan signifikan. Beberapa aspek penting termasuk:

  1. Sistem Millet: Kerangka administratif yang memberikan otonomi internal kepada komunitas non-Muslim dalam urusan agama, pendidikan, dan hukum keluarga. Karen Barkey dalam “Empire of Difference” (2008) menggambarkan sistem ini sebagai “teknologi kekuasaan” yang memungkinkan manajemen diversitas secara damai di wilayah yang luas.
  2. Diplomasi Pengungsi: Ottoman secara konsisten menerima pengungsi dari berbagai konflik, termasuk Yahudi yang terusir dari Spanyol pada 1492. Marc David Baer dalam “The Ottoman Jews” (2020) mendokumentasikan bagaimana kebijakan ini tidak hanya mencerminkan motivasi kemanusiaan tetapi juga strategi untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru.
  3. Bantuan Kelaparan Lintas Benua: Selama kelaparan Irlandia pada 1840-an, Sultan Abdülmecid I mengirimkan bantuan keuangan dan lima kapal berisi makanan, menunjukkan jangkauan global diplomasi kemanusiaan Ottoman. Christine Kinealy dalam “Charity and the Great Hunger in Ireland” (2013) menyoroti signifikansi simbolis dan material dari bantuan ini.
  4. Reformasi Tanzimat dan Hukum Humaniter: Periode reformasi Ottoman (Tanzimat) pada abad ke-19 mencakup adopsi norma-norma humaniter internasional yang muncul, termasuk Konvensi Jenewa pertama. Davison Roderic dalam “Reform in the Ottoman Empire” (1963) menyoroti bagaimana reformasi ini mencerminkan adaptasi tradisi kemanusiaan Islam dengan standar internasional yang berkembang.

Donald Quataert dalam “The Ottoman Empire, 1700-1922” (2005) menekankan bahwa meskipun sering digambarkan sebagai “orang sakit Eropa” dalam historiografi Barat, Imperium Ottoman mempertahankan tradisi diplomatik yang canggih hingga masa-masa akhirnya, dengan dimensi kemanusiaan yang signifikan.

5. Instrumen dan Mekanisme Diplomasi Kemanusiaan Islam

5.1 Aman (Perlindungan dan Suaka)

Konsep aman (perlindungan) dalam tradisi Islam menyediakan kerangka normatif dan institusional bagi praktik pemberian suaka dan perlindungan terhadap individu atau kelompok yang menghadapi ancaman. Al-Quran menegaskan:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (QS. At-Taubah [9]: 6)

Ayat ini menetapkan prinsip dasar bahwa permintaan perlindungan harus dihormati bahkan dari pihak yang dianggap berseberangan secara ideologis atau politik.

Dalam fikih Islam klasik, aman dikembangkan menjadi lembaga hukum dengan aturan dan prosedur spesifik. Al-Sarakhsi (d. 1090), yuris Hanafi, dalam “al-Mabsut” menjelaskan bahwa aman dapat diberikan oleh setiap Muslim dewasa yang berakal sehat, dan sekali diberikan menjadi mengikat bagi seluruh komunitas (Al-Sarakhsi, 1993).

Dalam praktiknya, aman memiliki beberapa bentuk:

  1. Aman Individual: Perlindungan yang diberikan kepada individu tertentu yang mencari suaka.
  2. Aman Kolektif: Perlindungan untuk kelompok atau komunitas, seperti dalam kasus pengungsian massal.
  3. Aman Teritorial: Deklarasi wilayah tertentu sebagai zona aman di mana kekerasan dilarang.

Khadija Elmadmad dalam “Asylum in Islam and in Modern Refugee Law” (2008) mengidentifikasi bahwa konsep aman mencakup elemen-elemen yang menjadi dasar bagi hukum pengungsi modern, termasuk prinsip non-refoulement (larangan mengembalikan pengungsi ke tempat di mana mereka mungkin menghadapi penganiayaan).

Dalam konteks diplomasi kemanusiaan kontemporer, konsep aman dapat diterjemahkan menjadi advokasi untuk zona aman kemanusiaan, kampanye perlindungan pengungsi, dan inisiatif penyelamatan lintas batas.

5.2 Mu’ahadat (Perjanjian) Kemanusiaan

Mu’ahadat (perjanjian) dalam tradisi Islam menyediakan mekanisme formal untuk menetapkan komitmen kemanusiaan antar berbagai entitas politik dan sosial. Al-Quran secara konsisten menekankan kesucian perjanjian dan kewajiban untuk menepatinya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)

Dalam sejarah Islam, berbagai jenis perjanjian kemanusiaan telah dikembangkan, termasuk:

  1. Mu’ahadat al-Sulh (Perjanjian Perdamaian): Mengatur penghentian permusuhan dan perlindungan warga sipil.
  2. Mu’ahadat al-Aman (Perjanjian Keamanan): Menjamin keamanan dan perlindungan bagi kelompok tertentu.
  3. Mu’ahadat al-Ta’awun (Perjanjian Kerja Sama): Menetapkan kerja sama dalam bidang kemanusiaan seperti bantuan bencana atau penanggulangan wabah.

Muhammad Hamidullah dalam “The Muslim Conduct of State” (1953) menyoroti bahwa tradisi perjanjian dalam Islam didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati), yang menjadi dasar bagi kerangka hukum internasional modern.

Najib Armanazi dalam “al-Shar’ al-Duwali fi al-Islam” (Hukum Internasional dalam Islam, 1930) menunjukkan bagaimana praktek perjanjian dalam sejarah Islam mencerminkan pengakuan terhadap pluralitas entitas politik dan kebutuhan untuk mengatur hubungan mereka berdasarkan prinsip-prinsip yang disepakati bersama, termasuk di bidang kemanusiaan.

Dalam konteks kontemporer, konsep mu’ahadat dapat menginformasikan pendekatan terhadap perjanjian kemanusiaan internasional, dengan penekanan pada komitmen moral dan etis di samping kewajiban hukum formal.

5.3 Waqf dan Lembaga Filantropi Islam

Waqf (wakaf) merupakan institusi filantropi Islam yang telah berperan penting dalam diplomasi kemanusiaan sepanjang sejarah. Secara hukum, wakaf didefinisikan sebagai dedikasi permanen properti untuk tujuan keagamaan atau sosial, dengan aset yang diwakafkan menjadi tidak dapat dialihkan dan keuntungannya dialokasikan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemberi wakaf (waqif).

Amy Singer dalam “Charity in Islamic Societies” (2008) menunjukkan bagaimana wakaf telah berfungsi sebagai “institusi total” yang mendukung berbagai kebutuhan sosial dan kemanusiaan sejak abad ke-8, menciptakan jaringan kesejahteraan transnasional yang melampaui batas-batas politik.

Beberapa karakteristik wakaf yang relevan dengan diplomasi kemanusiaan termasuk:

  1. Keberlanjutan: Sifat permanen wakaf memungkinkan dukungan jangka panjang untuk inisiatif kemanusiaan, melampaui respons krisis ad hoc.
  2. Otonomi: Wakaf sering beroperasi secara independen dari otoritas politik, memungkinkan fleksibilitas dan netralitas dalam operasi kemanusiaan.
  3. Lintas Batas: Wakaf historis sering mendukung penerima manfaat di berbagai wilayah geografis dan politik, menciptakan mekanisme untuk solidaritas transnasional.

Dalam sejarah, wakaf telah mendukung berbagai institusi kemanusiaan, termasuk:

  • Bimaristan (rumah sakit): Menyediakan perawatan medis gratis tanpa diskriminasi
  • Takaya (dapur umum): Memberikan makanan bagi yang membutuhkan
  • Siqayah (fasilitas air): Memastikan akses terhadap air bersih
  • Madaris (sekolah): Menyediakan pendidikan

Timur Kuran dalam “The Provision of Public Goods under Islamic Law” (2001) menganalisis bagaimana wakaf telah berfungsi sebagai mekanisme untuk penyediaan barang publik di masyarakat Muslim historis, melayani fungsi yang dalam masyarakat modern sering dijalankan oleh negara atau organisasi kemanusiaan internasional.

Dalam konteks kontemporer, revitalisasi wakaf sebagai instrumen diplomasi kemanusiaan dapat dilihat dalam inisiatif seperti World Waqf Fund yang dibentuk oleh Islamic Development Bank, yang menggunakan model wakaf untuk mendanai intervensi kemanusiaan jangka panjang.

5.4 Diplomasi Kesehatan dan Bantuan Medis

Diplomasi kesehatan memiliki akar historis dalam tradisi Islam melalui pengembangan institusi medis yang melayani berbagai komunitas. Bimaristan (rumah sakit) yang didirikan di seluruh dunia Muslim historis tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas kesehatan tetapi juga sebagai simbol komitmen terhadap kesejahteraan universal.

Peter Pormann dalam “Islamic Hospitals in the Time of al-Muqtadir” (2017) menjelaskan bahwa bimaristan seperti Bimaristan al-Muqtadiri di Baghdad (abad ke-10) menerima pasien dari semua latar belakang agama dan etnis, dan bahkan menyediakan bantuan keuangan bagi pasien yang membutuhkan selama masa pemulihan.

Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pengobatan dan perawatan kesehatan:

“تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً”

“Berobatlah, karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menjadi dasar bagi tradisi kedokteran Islam yang berkembang dan memiliki dampak global melalui karya-karya seperti “Al-Qanun fi al-Tibb” (Canon of Medicine) oleh Ibn Sina (980-1037) dan “Al-Tasrif” oleh Al-Zahrawi (936-1013).

Dalam konteks diplomatik, pertukaran pengetahuan medis antara dunia Islam dan wilayah lain menjadi bentuk diplomasi kultural dan kemanusiaan yang efektif. Nancy Gallagher dalam “Medicine and Power in Tunisia” (1983) mendokumentasikan bagaimana transfer pengetahuan medis antara Andalusia, Tunisia, dan Italia memperkuat hubungan lintas Mediterania dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai wilayah.

Dalam era modern, diplomasi kesehatan Islam dapat dilihat dalam inisiatif seperti:

  1. Islamic Organization for Medical Sciences: Didirikan di Kuwait pada 1984, menggabungkan perspektif Islam dengan standar medis global dalam menangani isu-isu kesehatan publik.
  2. Program Kesehatan Islamic Relief: Menyediakan layanan medis di zona konflik dan daerah terpencil, mencerminkan tradisi bimaristan dalam konteks kontemporer.
  3. Misi Medis Haji: Layanan kesehatan selama haji tidak hanya berfungsi praktis tetapi juga sebagai simbol komitmen Saudi Arabia terhadap diplomasi kesehatan Islam.

Abdul Aziz Sachedina dalam “Islamic Biomedical Ethics” (2009) mengusulkan bahwa etika kedokteran Islam, dengan penekanannya pada keadilan distributif dalam akses kesehatan, dapat memberikan kerangka normatif bagi diplomasi kesehatan global.

5.5 Diplomasi Pangan dan Air

Akses terhadap pangan dan air merupakan dimensi penting dalam diplomasi kemanusiaan Islam. Al-Quran dan Hadis secara konsisten menekankan pentingnya berbagi makanan dan menyediakan air sebagai manifestasi iman dan solidaritas kemanusiaan.

Dalam Hadis qudsi yang terkenal, Allah SWT berfirman:

“يا ابن آدم، استطعمتك فلم تطعمني… أما علمت أن عبدي فلاناً استطعمك فلم تطعمه، أما علمت أنك لو أطعمته لوجدت ذلك عندي”

“Wahai anak Adam, Aku meminta makanan kepadamu tetapi kamu tidak memberi-Ku makan… Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku meminta makanan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan? Tidakkah kamu tahu bahwa jika kamu memberinya makan, kamu akan mendapati (pahala) itu di sisi-Ku?” (HR. Muslim)

Hadis ini menghubungkan respons terhadap kebutuhan pangan orang lain dengan hubungan transendental dengan Allah, memberikan dimensi spiritual pada diplomasi pangan.

Dalam sejarah Islam, beberapa institusi dan praktik terkait diplomasi pangan dan air telah dikembangkan:

  1. Siqayah: Penyediaan air minum, khususnya untuk musafir dan peziarah. Sebelum Islam, keluarga Abbas bin Abdul Muttalib memegang posisi kehormatan sebagai penyedia siqayah bagi peziarah Ka’bah.
  2. It’am al-Ta’am (Memberi Makan): Praktik memberi makan orang yang membutuhkan, yang ditekankan sebagai kebajikan utama dalam Al-Quran:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan [76]: 8)

  1. Imarah al-Sabil: Pemeliharaan jalan dan penyediaan fasilitas bagi para musafir, termasuk sumur dan tempat berlindung.

Anas Malik dalam “Food Security and Insecurity: A Global Perspective” (2016) menyoroti bagaimana konsep tradisional Islam seperti infaq (pengeluaran untuk kebaikan) dan it’am (memberi makan) dapat diintegrasikan ke dalam kerangka diplomasi pangan kontemporer untuk mengatasi kelaparan global.

Dalam konteks kontemporer, diplomasi pangan dan air Islam dapat dilihat dalam inisiatif seperti:

  • Program Air Islamic Relief: Mengebor sumur dan membangun sistem air di Afrika dan Asia
  • Iftar Diplomacy: Penggunaan jamuan berbuka puasa selama Ramadhan sebagai forum untuk diplomasi informal dan kerja sama kemanusiaan
  • Qurban International: Distribusi daging kurban kepada komunitas yang membutuhkan di seluruh dunia

Naser Faruqui dalam “Islam and Water Management” (2001) mengusulkan bahwa etika Islam terkait pengelolaan dan distribusi air dapat memberikan kerangka alternatif bagi diplomasi air global yang menekankan akses universal dan keberlanjutan.

6. Aktor dan Institusi Diplomasi Kemanusiaan Islam

6.1 Peran Negara dan Pemimpin

Dalam tradisi Islam, negara dan pemimpin memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan kesejahteraan manusia, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksi mereka. Konsep ri’ayah (pengasuhan/kepemimpinan) menegaskan bahwa penguasa bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

“كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ”

“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Mawardi (972-1058 M), sarjana politik Islam klasik, dalam “Al-Ahkam as-Sultaniyyah” (Hukum-Hukum Pemerintahan) menetapkan bahwa salah satu fungsi utama negara Islam adalah “hirasah ad-din wa siyasah ad-dunya” (melindungi agama dan mengatur urusan duniawi), yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak dasar semua warga dan memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi (Al-Mawardi, 1996).

Dalam konteks diplomasi kemanusiaan, peran negara Islam mencakup:

  1. Perlindungan Warga: Negara bertanggung jawab melindungi warganya yang berada di luar negeri dan mengambil tindakan diplomatik untuk memastikan keselamatan mereka dalam situasi krisis.
  2. Bantuan Lintas Batas: Menyediakan bantuan kemanusiaan kepada populasi yang terkena dampak krisis di luar wilayahnya, berdasarkan prinsip solidaritas Islam.
  3. Advokasi Global: Menggunakan posisi diplomatiknya untuk mengadvokasi hak-hak dan kesejahteraan populasi rentan di seluruh dunia.
  4. Mediasi Konflik: Bertindak sebagai mediator dalam konflik yang berdampak kemanusiaan, mencerminkan peran tradisional pemimpin Muslim sebagai muslih (pembawa damai).

Contoh historis diplomasi kemanusiaan negara Islam termasuk surat-surat Sultan Muhammad al-Fatih kepada Raja Ferdinand terkait perlakuan terhadap minoritas Muslim dan Yahudi setelah Reconquista Spanyol, yang mencerminkan perhatian terhadap kesejahteraan manusia melampaui batas wilayah kekuasaan.

Dalam konteks kontemporer, beberapa negara dengan mayoritas Muslim telah mengembangkan mekanisme spesifik untuk diplomasi kemanusiaan:

  • Turki: Melalui TIKA (Turkish Cooperation and Coordination Agency) dan AFAD (Disaster and Emergency Management Presidency)
  • Indonesia: Melalui kebijakan “diplomasi kemanusiaan” sebagai pilar politik luar negeri
  • Qatar: Melalui Qatar Charity dan Qatar Fund for Development

Ibrahim Kalin, Penasihat Senior Presiden Turki, dalam “Islam and Peace” (2005) berpendapat bahwa diplomasi kemanusiaan oleh negara-negara Muslim kontemporer harus dipahami sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai Islam tradisional dalam konteks sistem internasional modern.

6.2 Ulama dan Intelektual

Ulama dan intelektual Islam memainkan peran penting dalam diplomasi kemanusiaan sebagai formulasi, legitimasi, dan implementasi kerangka normatif. Sejak masa klasik, ulama tidak hanya berfungsi sebagai otoritas religius tetapi juga sebagai jembatan antara berbagai komunitas dan mediator dalam konflik.

Dalam sejarah, beberapa contoh peran ulama dalam diplomasi kemanusiaan termasuk:

  1. Imam al-Awza’i (707-774 M): Intervensinya kepada penguasa Abbasiyah terkait perlakuan terhadap tawanan perang dan penduduk sipil, yang menjadi dasar bagi pengembangan hukum humaniter dalam tradisi Islam.
  2. Al-Ghazali (1058-1111 M): Kontribusinya terhadap etika pemerintahan dalam “Nasihat al-Muluk” (Nasihat untuk Raja-Raja) yang mencakup aspek tanggung jawab penguasa terhadap kesejahteraan semua kelompok, termasuk non-Muslim.
  3. Ibn Khaldun (1332-1406 M): Analisisnya tentang solidaritas sosial (asabiyyah) dan pentingnya keadilan dalam memelihara stabilitas sosial, yang mempengaruhi pemikiran politik dan diplomatik Islam.

Mohammad Hashim Kamali dalam “Principles of Islamic Jurisprudence” (2003) menyoroti bahwa ulama tradisional memiliki fungsi ifta (pemberian fatwa) yang sering mencakup panduan tentang masalah kemanusiaan dalam konteks internasional, seperti perlakuan terhadap pengungsi atau respons terhadap bencana lintas batas.

Dalam era kontemporer, ulama dan intelektual Muslim seperti Sheikh Yusuf al-Qaradawi, Abdullah bin Bayyah, dan Mustafa Ceric telah aktif dalam berbagai forum internasional, mempromosikan perspektif Islam tentang isu-isu kemanusiaan global dan memfasilitasi dialog antara aktor kemanusiaan Islam dan non-Islam.

International Islamic Fiqh Academy, yang berafiliasi dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), secara rutin mengeluarkan resolusi tentang isu-isu kemanusiaan kontemporer, memberikan kerangka normatif bagi aktor kemanusiaan Islam.

Ebrahim Moosa dalam “What Is a Madrasa?” (2015) menyoroti potensi institusi pendidikan Islam tradisional untuk ditransformasikan menjadi pusat diplomasi kemanusiaan dengan memperbarui kurikulum mereka untuk mencakup isu-isu global kontemporer dan mengembangkan keterampilan mediasi dan resolusi konflik.

6.3 Lembaga Kemanusiaan Berbasis Islam

Organisasi kemanusiaan berbasis Islam telah berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, menjadi aktor penting dalam diplomasi kemanusiaan global. Organisasi-organisasi ini menggabungkan nilai-nilai Islam dengan standar profesional internasional dalam operasi kemanusiaan mereka.

Beberapa organisasi kemanusiaan Islam terkemuka termasuk:

  1. Islamic Relief Worldwide: Didirikan pada 1984, beroperasi di lebih dari 40 negara dengan fokus pada bantuan darurat, pengembangan jangka panjang, dan advokasi kemanusiaan.
  2. Qatar Charity: Salah satu organisasi kemanusiaan terbesar dari dunia Arab, aktif dalam respons bencana, pengurangan kemiskinan, dan pendidikan.
  3. Turkish Red Crescent (Kızılay): Meskipun secara teknis sekuler, organisasi ini dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dalam operasi globalnya.
  4. International Islamic Relief Organization: Afiliasi dengan Rabithah Alam Islami (Muslim World League), fokus pada bantuan darurat dan proyek pembangunan.

Marie Juul Petersen dalam “For Humanity or for the Umma?” (2015) mengidentifikasi karakteristik unik organisasi kemanusiaan Islam, termasuk:

  • Penekanan pada martabat dan pemberdayaan penerima bantuan
  • Integrasi dimensi material dan spiritual dalam intervensi kemanusiaan
  • Penggunaan mekanisme pendanaan Islam seperti zakat dan wakaf
  • Kemampuan untuk mengakses populasi yang sulit dijangkau melalui jaringan berbasis masjid

Jonathan Benthall dalam “Islamic Charities and Islamic Humanism in Troubled Times” (2016) mencatat bahwa organisasi-organisasi ini sering berfungsi sebagai “cultural brokers” (perantara budaya) dalam konteks kemanusiaan kompleks, menjembatani kesenjangan antara komunitas lokal dan sistem bantuan internasional.

Tantangan yang dihadapi organisasi kemanusiaan Islam termasuk stigmatisasi pasca-11 September, kendala regulasi terkait pendanaan, dan ketegangan antara prinsip netralitas kemanusiaan dengan solidaritas keagamaan. Namun, organisasi-organisasi ini telah menunjukkan ketahanan dan kemampuan adaptasi yang signifikan.

6.4 Diplomasi Multi-jalur dalam Konteks Islam

Diplomasi multi-jalur (multi-track diplomacy) mengakui bahwa berbagai aktor—pemerintah, organisasi non-pemerintah, akademisi, pemimpin agama, media, dan lainnya—memiliki peran dalam proses diplomatik, termasuk diplomasi kemanusiaan. Pendekatan ini sangat relevan dengan tradisi Islam yang mengakui peran berbagai entitas sosial dalam mempromosikan kesejahteraan umum.

Tradisi Islam menekankan konsep fardh kifayah (kewajiban kolektif) dalam merespons kebutuhan kemanusiaan, di mana berbagai segmen masyarakat memiliki peran yang saling melengkapi, mencerminkan pendekatan multi-jalur terhadap diplomasi kemanusiaan.

Dalam konteks Islam kontemporer, diplomasi multi-jalur dapat dilihat dalam interaksi berbagai aktor:

  1. Jalur Satu (Pemerintahan Resmi): Negara-negara Muslim dan organisasi antarpemerintah seperti OKI
  2. Jalur Dua (Diplomasi Non-Pemerintah): Dialog yang difasilitasi oleh organisasi seperti Center for Humanitarian Dialogue dengan melibatkan perspektif Islam
  3. Jalur Tiga (Bisnis): Peran perusahaan Muslim dalam tanggung jawab sosial perusahaan dan investasi sosial
  4. Jalur Empat (Warga Negara Privat): Inisiatif diaspora Muslim global dalam advokasi kemanusiaan
  5. Jalur Lima (Penelitian dan Akademik): Kajian tentang diplomasi kemanusiaan Islam di institusi seperti International Institute of Islamic Thought
  6. Jalur Enam (Aktivisme): Kampanye berbasis agama untuk isu-isu kemanusiaan
  7. Jalur Tujuh (Agama): Peran ulama dan lembaga agama dalam memobilisasi respons kemanusiaan
  8. Jalur Delapan (Pendanaan): Penggunaan instrumen keuangan Islam untuk mendukung inisiatif kemanusiaan
  9. Jalur Sembilan (Media dan Komunikasi): Peran media Islam dalam meningkatkan kesadaran tentang krisis kemanusiaan

Amitai Etzioni dalam “From Empire to Community” (2004) berpendapat bahwa tradisi komunitarian dalam Islam dapat memberikan fondasi normatif bagi pendekatan multi-jalur terhadap diplomasi global yang mengatasi keterbatasan model Westphalia yang berpusat pada negara.

Joseph Camilleri dalam “Religion and Culture in Asia Pacific: Violence or Healing?” (2001) menyoroti bagaimana aktor keagamaan Islam dapat melengkapi diplomasi resmi dalam konflik dengan dimensi keagamaan, dengan menyediakan pemahaman kultural dan legitimasi moral yang sering tidak dimiliki oleh aktor negara.

7. Model Konseptual Diplomasi Kemanusiaan Islam

7.1 Kerangka Teoretis

Diplomasi kemanusiaan Islam dapat dikonseptualisasikan dalam kerangka teoretis yang mengintegrasikan prinsip-prinsip normatif Islam dengan dinamika hubungan internasional kontemporer. Model ini berakar pada ontologi Islam yang melihat kesatuan kemanusiaan sebagai realitas fundamental dan menganggap tindakan kemanusiaan sebagai manifestasi ibadah dan khalifah (penatalayanan) di bumi.

Tabel 1: Fondasi Teoretis Diplomasi Kemanusiaan Islam

DimensiKonsep KunciSumber NormatifImplikasi Praktis
OntologisTauhid (Keesaan)Al-Quran 4:1, 49:13Kesatuan kemanusiaan; solidaritas universal
EpistemologisIlm al-Waqi’ (Pengetahuan Realitas)Hadis dan IjtihadPendekatan berbasis bukti; kontekstualitas
AksiologisMaslahah (Kepentingan Publik)Maqasid al-ShariahPrioritas berdasarkan kebutuhan; kebaikan universal
MetodologisWasatiyyah (Moderasi)Al-Quran 2:143Keseimbangan idealisme-pragmatisme; inklusivitas
TeleologisRahmatan lil-‘Alamin (Rahmat Universal)Al-Quran 21:107Orientasi hasil; dampak berkelanjutan

Seyyed Hossein Nasr dalam “Religion and the Order of Nature” (1996) menyoroti bahwa pendekatan Islam terhadap kemanusiaan didasarkan pada “antropologi sakral” yang melihat manusia sebagai makhluk dengan dimensi material dan spiritual yang tak terpisahkan, yang mempengaruhi pemahaman tentang kebutuhan kemanusiaan dan respons terhadapnya.

Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam “Toward an Islamic Reformation” (1990) berpendapat bahwa prinsip-prinsip Islam tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan dapat direinterpretasi untuk mengatasi tantangan kontemporer melalui metodologi yang menggabungkan kesetiaan pada nilai-nilai inti dengan adaptasi terhadap konteks sosial-historis yang berubah.

Kerangka teoretis ini mengatasi dikotomi tradisional dalam hubungan internasional antara realisme yang berfokus pada kepentingan nasional dan idealisme yang menekankan norma universal, dengan mengusulkan pendekatan “realisme etis” yang mengakui realitas politik sambil berusaha mentransformasinya berdasarkan nilai-nilai moral.

7.2 Pendekatan Holistik

Diplomasi kemanusiaan Islam mengadopsi pendekatan holistik terhadap kesejahteraan manusia yang mencakup dimensi material, sosial, dan spiritual. Pendekatan ini mencerminkan pemahaman Islam tentang manusia sebagai entitas multidimensional dengan kebutuhan yang saling terkait.

Model holistik ini dapat dikonseptualisasikan sebagai lingkaran konsentris yang terdiri dari tiga tingkatan intervensi kemanusiaan:

  1. Daruriyyat (Kebutuhan Dasar): Mencakup perlindungan terhadap lima nilai fundamental dalam maqasid al-shariah:
    • Hifdh al-Din (Perlindungan Agama/Kepercayaan)
    • Hifdh al-Nafs (Perlindungan Nyawa)
    • Hifdh al-‘Aql (Perlindungan Intelektual)
    • Hifdh al-Nasl (Perlindungan Keturunan/Keluarga)
    • Hifdh al-Mal (Perlindungan Properti/Mata Pencaharian)
  2. Hajiyyat (Kebutuhan Sekunder): Mencakup faktor-faktor yang memfasilitasi kehidupan yang baik:
    • Pendidikan dan Pengembangan Kapasitas
    • Kesehatan Masyarakat dan Preventif
    • Kohesi Sosial dan Rekonsiliasi
    • Infrastruktur Ekonomi
  3. Tahsiniyyat (Kebutuhan Tersier): Mencakup elemen-elemen yang meningkatkan kualitas hidup:
    • Revitalisasi Budaya dan Warisan
    • Pemberdayaan Psikososial
    • Kesejahteraan Lingkungan
    • Partisipasi Sosial-Politik

Jasser Auda dalam “Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law” (2008) mengembangkan pendekatan sistem terhadap maqasid yang menekankan interkoneksi berbagai dimensi kesejahteraan manusia, relevan dengan pendekatan holistik dalam diplomasi kemanusiaan.

Imam Feisal Abdul Rauf dalam “Defining Islamic Statehood” (2015) mengusulkan model “kecukupan holistik” (holistic sufficiency) untuk mengukur kesuksesan intervensi kemanusiaan berbasis Islam, yang menilai dampak material, sosial, dan spiritual secara terpadu.

Gambar 1: Model Holistik Diplomasi Kemanusiaan Islam

Pendekatan holistik ini mengatasi keterbatasan model “kebutuhan dasar” yang dominan dalam bantuan kemanusiaan konvensional, dengan mengakui aspek sosial, psikologis, dan spiritual dari pengalaman manusia dalam krisis.

7.3 Model Implementasi

Implementasi diplomasi kemanusiaan Islam melibatkan proses dan mekanisme yang sistematis yang menerjemahkan prinsip-prinsip normatif menjadi tindakan praktis. Model implementasi yang efektif perlu menggabungkan elemen-elemen tradisi Islam dengan praktik terbaik kontemporer dalam aksi kemanusiaan.

Tabel 2: Model Implementasi Diplomasi Kemanusiaan Islam

FaseProses KunciInstrumen IslamPrinsip Operasional
PersiapanAnalisis Konteks & KebutuhanFiqh al-Waqi’ (Pemahaman Realitas)Relevansi; Sensitivitas Kontekstual
Perencanaan & DesainIstisharah (Konsultasi)Partisipasi; Kepemilikan Lokal
Mobilisasi Sumber DayaZakat; Sadaqah; WaqfKeberlanjutan; Transparansi
ImplementasiIntervensi DaruratIghathah (Bantuan)Kecepatan; Efektivitas
Pembangunan KapasitasTa’lim (Pendidikan)Transfer Pengetahuan; Pemberdayaan
Advokasi & DiplomasiDa’wah (Ajakan kepada Kebaikan)Persuasi Moral; Solidaritas
Pasca-IntervensiEvaluasiMuhasabah (Introspeksi)Akuntabilitas; Pembelajaran
KeberlanjutanIstidamah (Kesinambungan)Exit Strategy; Transfer Kepemilikan
Pengetahuan & PembelajaranHikmah (Kebijaksanaan)Dokumentasi; Berbagi Pengetahuan

Model implementasi ini mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam seperti shura (konsultasi), adalah (keadilan), dan ihsan (keunggulan) dengan standar kemanusiaan internasional seperti prinsip Do No Harm dan Core Humanitarian Standard.

Abdullah al-Ahsan dalam “The Organization of the Islamic Conference: An Introduction to an Islamic Political Institution” (2009) mengusulkan mekanisme koordinasi berbasis OKI untuk diplomasi kemanusiaan Islam yang memungkinkan kolaborasi antara aktor pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.

Amr Abdalla dalam “Principles of Islamic Interpersonal Conflict Intervention” (2002) mengembangkan model intervensi konflik berbasis Islam yang dapat diintegrasikan ke dalam diplomasi kemanusiaan, dengan menekankan rekonsiliasi (sulh), pengampunan (‘afw), dan keadilan restoratif (‘adl).

8. Studi Kasus Diplomasi Kemanusiaan Islam

8.1 Penanganan Pengungsi dalam Sejarah Islam

Sejarah Islam kaya dengan contoh penerimaan dan perlindungan pengungsi, dimulai dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ke Abyssinia (615 M) dan kemudian ke Madinah (622 M). Pengalaman menjadi pengungsi ini membentuk etika Islam terhadap perlindungan mereka yang mencari suaka.

Contoh signifikan penanganan pengungsi dalam sejarah Islam termasuk:

  1. Penerimaan Yahudi Andalusia: Setelah pengusiran Yahudi dari Spanyol pada 1492, Kesultanan Ottoman di bawah Bayezid II menerima ribuan pengungsi Yahudi, dengan sultan konon menyatakan keheranannya terhadap Ferdinand dari Spanyol yang “memiskinkan negaranya sendiri dan memperkaya milik kami” dengan mengusir populasi yang produktif. Mark Mazower dalam “Salonica, City of Ghosts” (2004) mendokumentasikan bagaimana komunitas Yahudi Sephardic ini berkembang di bawah perlindungan Ottoman.
  2. Muhajirin di Madinah: Penerimaan pengungsi Mekah (Muhajirin) oleh penduduk Madinah (Ansar) menetapkan preseden untuk integrasi pengungsi berdasarkan prinsip persaudaraan (mu’akhah). Model ini mencakup pembagian sumber daya, integrasi sosial, dan pemeliharaan identitas kultural pengungsi.
  3. Pengungsi Circassia: Pada abad ke-19, Imperium Ottoman menerima lebih dari satu juta pengungsi Muslim Circassia yang melarikan diri dari ekspansi Rusia, menyediakan tanah dan dukungan untuk pemukiman kembali. Andrew Robarts dalam “Migration and Disease in the Black Sea Region” (2016) menganalisis bagaimana Ottoman mengelola krisis pengungsi besar ini meskipun menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan.

Praktik historis ini mencerminkan beberapa prinsip penanganan pengungsi dalam tradisi Islam:

  • Al-Aman (Perlindungan): Kewajiban memberikan keamanan kepada mereka yang mencari suaka
  • Al-Iwaa (Penampungan): Penyediaan tempat tinggal dan kebutuhan dasar
  • Al-Muwasat (Solidaritas): Pembagian sumber daya dengan pengungsi
  • Al-Indimaj (Integrasi): Memfasilitasi penyatuan sosial sambil menghormati identitas

Dawn Chatty dalam “Displacement and Dispossession in the Modern Middle East” (2010) menyoroti bagaimana konsep tradisional seperti karam (kemurahhatian) dan diyafa (keramahtamahan) telah membentuk respons masyarakat Muslim terhadap pengungsi, meskipun sering dihambat oleh keterbatasan ekonomi dan politik negara modern.

Dalam konteks kontemporer, organisasi seperti Islamic Relief dan Qatar Charity telah mengembangkan program berbasis Islam untuk pengungsi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip tradisional dengan standar perlindungan internasional, menciptakan model holistik untuk penanganan pengungsi.

8.2 Respons Kemanusiaan terhadap Bencana

Tradisi Islam memiliki sejarah panjang dalam merespons bencana alam dan krisis kemanusiaan lainnya. Berbagai preseden historis dan prinsip teologis telah membentuk pendekatan distinktif terhadap manajemen bencana dan bantuan kemanusiaan.

Contoh historis respons bencana dalam sejarah Islam termasuk:

  1. ‘Am al-Ramada (Tahun Abu): Terjadi selama kekhalifahan Umar bin Khattab (r. 638 M), ketika kekeringan parah melanda Jazirah Arab. Respons khalifah mencakup:
    • Penundaan pengumpulan zakat dari daerah yang terkena dampak
    • Redistribusi sumber daya dari provinsi yang tidak terkena dampak
    • Pembukaan gudang makanan publik
    • Pengorganisasian bantuan langsung bagi yang paling rentan

Hassan Abedin dalam “Poverty and the Poor in the Early Islamic Community” (1997) menyoroti bagaimana manajemen krisis ini menetapkan preseden untuk kebijakan kemanusiaan dalam tradisi Islam.

  1. Wabah Amwas (639-640 M): Salah satu wabah paling awal yang dihadapi masyarakat Muslim, terjadi di Suriah selama kekhalifahan Umar. Respons terhadap wabah ini menggabungkan tindakan praktis seperti karantina dan evakuasi dengan dukungan spiritual, menetapkan keseimbangan yang kemudian menjadi karakteristik manajemen krisis dalam Islam.
  2. Bimaristans sebagai Respons Institusional: Pengembangan rumah sakit publik (bimaristan) di seluruh dunia Muslim, dari Damaskus hingga Cordoba, mencerminkan pendekatan sistemik terhadap krisis kesehatan. Sebagaimana diteliti oleh Michael Dols dalam “The Origins of the Islamic Hospital” (1987), institusi-institusi ini berfungsi sebagai komponen kunci dalam sistem tanggap bencana yang lebih luas.

Dalam konteks kontemporer, respons bencana berbasis Islam telah berkembang menjadi pendekatan yang menggabungkan prinsip-prinsip tradisional dengan metodologi modern. Beberapa karakteristik utama termasuk:

  1. Integrasi Dukungan Material dan Spiritual: Organisasi kemanusiaan Islam seperti Islamic Relief dan Muslim Aid menyediakan dukungan psikososial dan spiritual di samping bantuan material.
  2. Mobilisasi Sumber Daya Berbasis Agama: Penggunaan zakat, sadaqah, dan wakaf untuk pendanaan respons bencana, dengan inovasi seperti “wakaf tunai” dan “wakaf bencana” yang dikembangkan oleh lembaga seperti Tabung Wakaf Indonesia.
  3. Pendekatan Komunitas: Pemanfaatan jaringan masjid dan lembaga keagamaan lokal sebagai pusat distribusi bantuan dan koordinasi relawan, sebagaimana terlihat dalam respons terhadap gempa 2005 di Pakistan dan tsunami 2004 di Aceh.

Abdul Ghafar Ismail dan Bayu Taufiq Possumah dalam “Waqf as Alternative for Disaster Management” (2014) mengusulkan model wakaf khusus untuk manajemen bencana yang mengatasi keterbatasan pendanaan kemanusiaan konvensional dengan menyediakan sumber pendanaan berkelanjutan.

8.3 Resolusi Konflik Berbasis Nilai-Nilai Islam

Resolusi konflik merupakan komponen penting dalam diplomasi kemanusiaan Islam, dengan tradisi kaya dalam mediasi (wasata), rekonsiliasi (sulh), dan keadilan transisional. Model-model resolusi konflik yang berakar dalam nilai-nilai Islam telah diimplementasikan dalam berbagai konteks kontemporer.

Landasan Quranic untuk resolusi konflik terlihat dalam ayat:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49]: 9)

Ayat ini menetapkan prinsip dasar intervensi pihak ketiga dalam konflik, menekankan tujuan akhir rekonsiliasi (islah) dan keadilan (qist).

Studi kasus signifikan resolusi konflik berbasis nilai Islam termasuk:

  1. Mediasi di Aceh: Peran Ulama dalam Perjanjian Helsinki (2005) yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh, Indonesia. Sebagaimana dianalisis oleh Kamarulzaman Askandar dalam “The Aceh Peace Process” (2007), ulama memainkan peran penting dalam membangun legitimasi proses perdamaian dan memfasilitasi rekonsiliasi pasca-konflik.
  2. Proses Perdamaian Mindanao: Keterlibatan Organisasi Konferensi Islam (sekarang OKI) dalam mediasi konflik antara Pemerintah Filipina dan Moro Islamic Liberation Front, menghasilkan Kesepakatan Kerangka Kerja Bangsamoro 2014. Abhoud Syed M. Lingga dalam “Role of Third Parties in Mindanao Peace Process” (2016) menyoroti bagaimana diplomasi berbasis Islam berkontribusi pada terobosan dalam proses perdamaian.
  3. Inisiatif Rekonsiliasi di Somalia: Pendekatan berbasis adat dan Syariah untuk resolusi konflik antar-klan yang dikembangkan oleh Ulama Somalia dan pemimpin tradisional. Ibrahim Mahmud dalam “Traditional Conflict Resolution in Somalia” (2010) mendokumentasikan bagaimana prinsip-prinsip Islam seperti diyah (kompensasi), ‘afw (pengampunan), dan sulh (rekonsiliasi) diintegrasikan ke dalam proses perdamaian lokal.

Mohammed Abu-Nimer, sarjana resolusi konflik Muslim-Amerika, dalam “Nonviolence and Peace Building in Islam” (2003) mengidentifikasi beberapa prinsip kunci dalam resolusi konflik Islam:

  • ‘Adl wa Ihsan (Keadilan dan Kebajikan): Keseimbangan antara hak dan pengampunan
  • Shura (Konsultasi): Proses pengambilan keputusan partisipatif
  • Tasamuh (Toleransi): Pengakuan terhadap pluralisme dan perbedaan
  • Rahma (Kasih Sayang): Pendekatan yang berpusat pada kemanusiaan
  • Islah (Rekonsiliasi): Fokus pada pemulihan hubungan, bukan hanya penyelesaian perselisihan

Model-model ini menawarkan alternatif terhadap pendekatan resolusi konflik liberal yang dominan, dengan menekankan rekonsiliasi komunal di atas penyelesaian individual dan keadilan restoratif di atas keadilan retributif.

8.4 Inisiatif Kontemporer

Beberapa inisiatif kontemporer mencerminkan penerapan prinsip-prinsip diplomasi kemanusiaan Islam dalam merespons tantangan global. Inisiatif-inisiatif ini menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan metodologi modern untuk mengatasi krisis kemanusiaan kompleks.

  1. Humanitarian Forum: Didirikan pada 2004 untuk memfasilitasi koordinasi antara organisasi kemanusiaan berbasis agama (Islam, Kristen, dan lainnya) dan aktor kemanusiaan konvensional. Forum ini menciptakan platform untuk dialog, berbagi praktik terbaik, dan pengembangan standar bersama yang menghormati nilai-nilai agama sambil mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
  2. Alliance of Civilizations: Inisiatif PBB yang diprakarsai oleh Spanyol dan Turki pada 2005, bertujuan menjembatani kesenjangan pemahaman dan kerjasama antara dunia Muslim dan Barat. Meskipun lebih luas dari sekadar diplomasi kemanusiaan, aliansi ini mencakup proyek-proyek yang mengatasi akar penyebab krisis kemanusiaan melalui dialog antarbudaya dan antaragama.
  3. Zakat untuk Pengungsi: UNHCR’s Refugee Zakat Fund, diluncurkan pada 2019, mengubah mekanisme filantropi Islam tradisional menjadi instrumen bantuan kemanusiaan modern. Inisiatif ini memungkinkan Muslim untuk menyalurkan zakat mereka untuk mendukung pengungsi, sambil memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Pada 2020, dana ini telah mengumpulkan lebih dari $43 juta dan mendukung lebih dari satu juta pengungsi.
  4. Wakaf Global: Global Wakaf Foundation mengembangkan model wakaf kontemporer untuk mengatasi tantangan kemanusiaan jangka panjang. Inisiatifnya termasuk “wakaf air” untuk mengatasi kelangkaan air di Afrika dan Asia, “wakaf pangan” untuk ketahanan pangan, dan “wakaf pendidikan” untuk akses terhadap pendidikan di komunitas yang terpinggirkan.
  5. International Humanitarian City Dubai: Hub logistik kemanusiaan terbesar di dunia, yang didirikan oleh Pemerintah Dubai untuk memfasilitasi respons kemanusiaan yang cepat dan efisien terhadap krisis global. Meskipun tidak secara eksplisit berbasis Islam, inisiatif ini mencerminkan nilai-nilai Islam tentang solidaritas global dan bantuan kemanusiaan.
  6. Muslim Humanitarian Network: Koalisi organisasi kemanusiaan berbasis Islam yang bekerja untuk mengembangkan standar profesional, memperkuat kapasitas, dan meningkatkan koordinasi dalam bantuan kemanusiaan Islam. Jaringan ini mencakup lebih dari 30 organisasi dari berbagai negara.

Abbas Barzegar dan Nagham El Karhili dalam “Islamic Social Finance and Humanitarian Action” (2017) menyoroti bagaimana inisiatif-inisiatif ini merepresentasikan “metamorfosis” diplomasi kemanusiaan Islam yang mengadaptasi instrumen tradisional untuk konteks global kontemporer.

Jonathan Benthall dalam “Islamic Aid in a North-South Context” (2016) mencatat bahwa inisiatif-inisiatif ini merupakan bagian dari “kebangkitan kembali” tradisi kemanusiaan Islam yang telah mengalami marginalisasi selama era kolonial dan pasca-kolonial awal.

9. Tantangan dan Peluang Diplomasi Kemanusiaan Islam di Era Global

9.1 Tantangan Internal dan Eksternal

Diplomasi kemanusiaan Islam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam tradisi Islam sendiri maupun dari lingkungan global yang lebih luas. Identifikasi dan analisis tantangan ini penting untuk pengembangan pendekatan yang lebih efektif.

Tantangan Internal:

  1. Fragmentasi Institusional: Kurangnya koordinasi antara berbagai aktor kemanusiaan Islam, termasuk organisasi berbasis negara, NGO, dan inisiatif filantropi swasta. Sebagaimana dicatat oleh Marie Juul Petersen dalam “For Humanity or for the Umma?” (2015), fragmentasi ini sering mengakibatkan duplikasi upaya dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien.
  2. Ketegangan Doktrinal: Perbedaan interpretasi teologis mengenai engagement dengan aktor non-Muslim, netralitas dalam konflik yang melibatkan Muslim, dan prioritisasi penerima bantuan. Muhittin Ataman dalam “Islamic Perspective on Humanitarian Intervention” (2003) mengidentifikasi bagaimana ketegangan ini dapat menghambat respons yang koheren terhadap krisis kemanusiaan.
  3. Kesenjangan Kapasitas Teknis: Meskipun terdapat kemajuan signifikan, banyak organisasi kemanusiaan Islam masih menghadapi keterbatasan dalam kapasitas teknis, termasuk dalam analisis kebutuhan, perencanaan strategis, dan monitoring dan evaluasi.
  4. Reformasi Mekanisme Pendanaan: Tantangan dalam mengadaptasi instrumen pendanaan Islam tradisional seperti zakat dan wakaf untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan kontemporer, termasuk isu-isu transparansi, akuntabilitas, dan kecepatan distribusi.

Tantangan Eksternal:

  1. Stigmatisasi dan Islamofobia: Pasca-11 September, organisasi kemanusiaan Islam menghadapi pengawasan yang meningkat dan pembatasan operasional berdasarkan kekhawatiran tentang pendanaan terorisme. Tom Keatinge dalam “Uncharitable Behavior” (2014) mendokumentasikan dampak regulasi kontraterorisme terhadap lembaga amal Islam di Barat.
  2. Sekuritisasi Bantuan Kemanusiaan: Kecenderungan global untuk mengintegrasikan bantuan kemanusiaan ke dalam agenda keamanan yang lebih luas, yang dapat mengkompromikan prinsip-prinsip netralitas dan kemandirian.
  3. Dominasi Model Barat: Hegemoni epistemologis model kemanusiaan Barat dalam sistem bantuan global, yang sering mengabaikan atau meremehkan pendekatan berbasis agama. Abdulfatah Said Mohamed dalam “Western Versus Islamic Human Rights Conceptions” (2001) membahas bagaimana ketegangan ini mempengaruhi operasi kemanusiaan.
  4. Kompleksitas Krisis Kontemporer: Sifat yang semakin kompleks dari krisis kemanusiaan kontemporer, termasuk konflik berkepanjangan, perubahan iklim, dan pandemi, yang memerlukan pendekatan yang lebih canggih dan multidisiplin.

Petersen dan Marie Juul dalam “International Muslim NGOs: ‘Added Value’ or ‘Fifth Column’?” (2012) menganalisis bagaimana organisasi Muslim harus bernavigasi dalam “lanskap kemanusiaan yang sangat dipolitisasi” di mana identitas mereka dapat menjadi baik aset maupun kewajiban tergantung pada konteksnya.

9.2 Kesenjangan antara Idealisme dan Realitas

Salah satu tantangan utama dalam diplomasi kemanusiaan Islam adalah kesenjangan antara prinsip-prinsip normatif yang diidealkan dan realitas implementasi di lapangan. Kesenjangan ini memiliki beberapa dimensi:

  1. Ketegangan antara Universalisme dan Partikularisme: Islam mengajarkan solidaritas universal berdasarkan kemanusiaan bersama, namun dalam praktiknya, bantuan kemanusiaan Muslim sering diprioritaskan untuk komunitas Muslim. Mashood Baderin dalam “International Human Rights and Islamic Law” (2003) mengeksplorasi dialektika antara universalisme dan relativisme budaya dalam konteks Islam.
  2. Politisasi Bantuan Kemanusiaan: Meskipun prinsip-prinsip Islam menekankan netralitas dan kemanusiaan murni, dalam praktiknya bantuan kemanusiaan sering terjalin dengan agenda politik. Jonathan Benthall dalam “The Red Cross and Red Crescent Movement and Islamic Societies” (1997) menganalisis bagaimana pertimbangan politik mempengaruhi operasi kemanusiaan di negara-negara Muslim.
  3. Keterbatasan Struktural: Cita-cita Islam tentang keadilan global dan solidaritas sering dibatasi oleh realitas sistem negara-bangsa dan ketidaksetaraan ekonomi global. Muddathir Abdel-Rahim dalam “The Development of Fiqh in the Modern Muslim World” (2008) membahas bagaimana hukum Islam kontemporer berusaha mengadaptasi prinsip-prinsip klasik dengan realitas geopolitik modern.
  4. Tantangan Implementasi: Prinsip-prinsip abstrak seperti karamah insaniyah (martabat manusia) dan ‘adalah (keadilan) harus diterjemahkan ke dalam protokol operasional konkret, suatu proses yang sering menghadapi hambatan praktis. Nezar AlSayyad dan Manuel Castells dalam “Muslim Europe or Euro-Islam” (2002) mengeksplorasi tantangan dalam mengoperasionalkan nilai-nilai Islam dalam konteks institusi modern.

Talal Asad dalam “Formations of the Secular” (2003) berpendapat bahwa kesenjangan ini sebagian mencerminkan “ketidaksesuaian epistemologis” antara wacana kemanusiaan sekular modern dan tradisi Islam, di mana konsep seperti “kemanusiaan”, “bantuan”, dan “pembangunan” dapat memiliki konotasi yang berbeda.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, beberapa sarjana dan praktisi mengusulkan:

  • Ijtihad Kemanusiaan: Reinterpretasi kontekstual prinsip-prinsip Islam untuk menghadapi tantangan kemanusiaan kontemporer, sebagaimana diusulkan oleh Khaled Abou El Fadl dalam “Speaking in God’s Name” (2001).
  • Komunikasi Lintas Budaya: Dialog yang ditingkatkan antara tradisi kemanusiaan Islam dan konvensional untuk mengidentifikasi nilai-nilai bersama dan praktik terbaik, sebagaimana diadvokasi oleh Hisham Hellyer dalam “Muslims of Europe: The ‘Other’ Europeans” (2009).
  • Refleksi Kritis: Evaluasi berkelanjutan terhadap praktik kemanusiaan Islam untuk memastikan konsistensi dengan prinsip-prinsip normatif, seperti yang dimodelkan oleh Islamic Relief dalam “Islamic Relief Worldwide’s Integrated Sustainable Development” (2014).

9.3 Potensi Kontribusi Islam terhadap Diplomasi Kemanusiaan Global

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, tradisi Islam memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap diplomasi kemanusiaan global kontemporer. Perspektif Islam dapat memperkaya dan melengkapi pendekatan dominan dengan berbagai cara:

  1. Kerangka Etis Alternatif: Islam menawarkan landasan normatif untuk tindakan kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai transenden, melengkapi pendekatan berbasis hak sekuler. Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam “Human Rights in Cross-Cultural Perspectives” (1992) menyoroti bagaimana perspektif Islam tentang kewajiban sosial dapat memperkuat wacana hak asasi manusia internasional.
  2. Model Filantropi Berkelanjutan: Instrumen seperti wakaf menawarkan model pendanaan kemanusiaan alternatif yang menekankan keberlanjutan jangka panjang, mengatasi keterbatasan model bantuan yang bersifat reaktif dan jangka pendek. Habib Ahmed dalam “Waqf-Based Microfinance” (2007) mendemonstrasikan bagaimana instrumen finansial Islam dapat diterapkan pada tantangan pembangunan kontemporer.
  3. Pendekatan Holistik terhadap Kesejahteraan: Perspektif Islam tentang kesejahteraan manusia yang mencakup dimensi material, sosial, dan spiritual dapat memperkaya pendekatan kemanusiaan konvensional yang sering berfokus terutama pada kebutuhan fisik. Seyyed Hossein Nasr dalam “Islamic Life and Thought” (2010) mengelaborasi konsep “ekologi integral” yang menghubungkan kesejahteraan manusia dengan harmoni lingkungan dan spiritual.
  4. Jaringan Transnasional: Komunitas Muslim global (ummah) menyediakan jaringan solidaritas transnasional yang dapat memobilisasi dukungan untuk krisis kemanusiaan di luar batasan negara-bangsa. Peter Mandaville dalam “Transnational Muslim Politics” (2001) menganalisis bagaimana jaringan ini beroperasi dalam konteks global.
  5. Legitimasi Lokal: Di komunitas yang mayoritas Muslim, pendekatan kemanusiaan yang secara eksplisit mencerminkan nilai-nilai Islam dapat memperoleh penerimaan dan partisipasi yang lebih besar. Jemilah Mahmood, mantan Sekretaris Jenderal Adjunct IFRC, dalam “Faith-Based Humanitarian Action” (2016) mendokumentasikan bagaimana engagement dengan nilai-nilai lokal dapat meningkatkan efektivitas intervensi kemanusiaan.
  6. Dialog Antarperadaban: Diplomasi kemanusiaan Islam dapat menjadi platform untuk dialog antarperadaban yang bermakna yang mengatasi stereotip dan kesalahpahaman. Richard Falk dalam “Religion and Humane Global Governance” (2001) mengusulkan model “tata kelola global yang manusiawi” yang menggabungkan wawasan dari berbagai tradisi agama, termasuk Islam.

Oliver Roy dalam “Globalized Islam” (2004) berpendapat bahwa pengalaman Muslim kontemporer dalam menegosiasikan universalisme dan partikularisme, tradisi dan modernitas, menjadikan mereka posisi unik untuk berkontribusi terhadap solusi tantangan global yang memerlukan pendekatan nuansa serupa.

9.4 Strategi Revitalisasi

Untuk mewujudkan potensi penuh diplomasi kemanusiaan Islam dalam konteks kontemporer, diperlukan strategi revitalisasi yang komprehensif yang mengatasi tantangan internal dan eksternal yang diidentifikasi sebelumnya. Strategi ini mencakup beberapa dimensi:

  1. Reformasi Institusional: Penguatan koordinasi dan kolaborasi antara berbagai aktor kemanusiaan Islam melalui:
    • Pengembangan platform koordinasi regional dan global
    • Standardisasi prosedur operasional dan indikator kinerja
    • Berbagi pengetahuan dan praktik terbaik

Organization of Islamic Cooperation’s Humanitarian Affairs Department (ICHAD) dan Islamic Committee of the International Crescent (ICIC) memiliki potensi untuk menjadi hub koordinasi yang efektif, seperti yang diusulkan oleh Nasir Uddin dalam “The OIC, International Humanitarian Law and Humanitarian Diplomacy” (2019).

  1. Revitalisasi Intelektual: Pengembangan kerangka konseptual kontemporer untuk diplomasi kemanusiaan Islam melalui:
    • Ijtihad kolektif tentang isu-isu kemanusiaan kontemporer
    • Dialog antara ulama tradisional dan profesional kemanusiaan modern
    • Integrasi wawasan dari ilmu sosial dan kajian pembangunan

Jasser Auda dalam “Maqasid al-Shariah and Public Policy” (2015) mendemonstrasikan bagaimana pendekatan berbasis maqasid dapat menjembatani kesenjangan antara prinsip-prinsip Islam klasik dan tantangan kebijakan kontemporer.

  1. Pengembangan Kapasitas: Memperkuat kapasitas teknis dan profesional organisasi kemanusiaan Islam melalui:
    • Program pelatihan terintegrasi yang menggabungkan nilai-nilai Islam dan standar profesional
    • Kolaborasi dengan institusi akademik untuk penelitian dan pengembangan
    • Mentoring dan pertukaran staf dengan organisasi kemanusiaan internasional

Islamic Relief Academy dan Humanitarian Academy for Development menjadi contoh lembaga yang memfokuskan pada pengembangan kapasitas berbasis nilai untuk organisasi kemanusiaan Islam.

  1. Inovasi Finansial: Modernisasi instrumen pendanaan Islam untuk kebutuhan kemanusiaan kontemporer:
    • Digitalisasi pengumpulan dan distribusi zakat
    • Pengembangan model wakaf kontemporer untuk tanggap bencana dan pemulihan
    • Integrasi dengan instrumen keuangan sosial Islam lainnya seperti sukuk kemanusiaan

Habib Ahmed dan Ak Md Hasnol Alwee Pg Md dalam “Financing Disaster Management Using Islamic Financial Instruments” (2016) mengeksplorasi penggunaan sukuk berbasis wakaf untuk pendanaan manajemen bencana.

  1. Diplomasi Publik: Meningkatkan kesadaran global tentang kontribusi Islam terhadap diplomasi kemanusiaan:
    • Dokumentasi dan komunikasi inisiatif kemanusiaan Islam
    • Engagement dengan media internasional dan platform digital
    • Partisipasi aktif dalam forum kemanusiaan global

Abbas Barzegar dalam “The Muslim World’s Contribution to Global Governance” (2016) menekankan pentingnya “diplomasi narratif” dalam mengubah persepsi global tentang Islam dan kemanusiaan.

  1. Kerja Sama Multi-Pemangku Kepentingan: Membangun aliansi strategis dengan berbagai aktor:
    • Kolaborasi dengan organisasi kemanusiaan berbasis agama lainnya
    • Kemitraan dengan lembaga multilateral seperti UN OCHA, UNHCR
    • Engagement dengan sektor swasta untuk inovasi dan skalabilitas

Lucy V. Moore dalam “Faith-Sensitive Humanitarian Response” (2018) mengusulkan kerangka kerja untuk kolaborasi efektif antara aktor kemanusiaan berbasis agama dan sekuler.

Anwar Ibrahim, intelektual dan politisi Malaysia, dalam “The Ummah and Global Challenges” (2012) berpendapat bahwa revitalisasi pemikiran dan praktik kemanusiaan Islam bukan hanya kebutuhan internal komunitas Muslim, tetapi merupakan kontribusi penting terhadap “pencarian global untuk kemanusiaan bersama” di tengah berbagai krisis yang saling terkait.

10. Kesimpulan dan Rekomendasi

Diplomasi kemanusiaan dalam perspektif Islam mencerminkan tradisi kaya yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang martabat manusia (karamah insaniyah), keadilan (‘adl), dan kasih sayang (rahmah). Dari landasan doktrinal dalam Al-Quran dan Hadis hingga implementasi kontemporer oleh berbagai aktor, tradisi ini menawarkan perspektif dan pendekatan yang dapat memperkaya wacana dan praktik kemanusiaan global.

Temuan Utama:

  1. Fondasi Doktrinal yang Komprehensif: Islam menyediakan kerangka etis yang kokoh untuk diplomasi kemanusiaan, yang berakar pada konsep universal tentang martabat manusia dan tanggung jawab sosial.
  2. Kekayaan Preseden Historis: Sejarah Islam memiliki contoh signifikan praktik kemanusiaan yang mencerminkan penerapan prinsip-prinsip normatif dalam berbagai konteks historis dan geografis.
  3. Institusi dan Mekanisme yang Unik: Instrumen seperti wakaf, zakat, dan konsep aman (perlindungan) menyediakan alat inovatif untuk mengatasi tantangan kemanusiaan yang dapat melengkapi pendekatan konvensional.
  4. Potensi Pendekatan Holistik: Model diplomasi kemanusiaan Islam yang mengintegrasikan dimensi material, sosial, dan spiritual kesejahteraan manusia menawarkan alternatif terhadap pendekatan yang lebih sempit dan teknokratis.
  5. Tantangan Implementasi: Kesenjangan antara prinsip-prinsip ideal dan realitas praktis, fragmentasi institusional, dan hambatan eksternal tetap menjadi tantangan signifikan yang harus diatasi.

Implikasi Teoretis:

Kajian diplomasi kemanusiaan dari perspektif Islam memperluas wacana kemanusiaan internasional dengan mengintegrasikan suara dan tradisi yang sering terpinggirkan dalam literatur akademis dominan. Pendekatan ini selaras dengan panggilan yang lebih luas untuk “dekolonisasi” studi humaniter dan pengembangan teori yang lebih inklusif yang mencerminkan keragaman pengalaman dan perspektif global.

Sebagaimana ditekankan oleh Talal Asad dalam “Formations of the Secular” (2003), pemahaman yang lebih nuansir tentang tradisi kemanusiaan non-Barat, termasuk Islam, dapat menghasilkan reevaluasi kritis terhadap asumsi dan kategori yang mendasari wacana kemanusiaan “universal” kontemporer.

Rekomendasi untuk Penelitian Lebih Lanjut:

  1. Studi Komparatif: Perbandingan sistematis antara pendekatan kemanusiaan Islam, Barat, dan lainnya untuk mengidentifikasi area konvergensi dan komplementaritas potensial.
  2. Pengembangan Metrik: Penciptaan kerangka evaluasi yang secara adekuat menangkap dampak holistik intervensi kemanusiaan Islam, termasuk dimensi sosial dan spiritual yang sering diabaikan dalam metrik konvensional.
  3. Studi Kasus Mendalam: Analisis mendalam tentang intervensi kemanusiaan berbasis Islam kontemporer untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan dan kegagalan.
  4. Penelitian Interdisipliner: Kolaborasi antara sarjana kajian Islam, hubungan internasional, dan studi pembangunan untuk mengembangkan kerangka konseptual yang lebih terintegrasi.

Rekomendasi Praktis:

  1. Untuk Organisasi Kemanusiaan Islam:
    • Memperkuat koordinasi dan kolaborasi melalui pengembangan platform bersama
    • Berinvestasi dalam pengembangan kapasitas teknis dan profesional
    • Mendokumentasikan dan mengkomunikasikan dampak untuk meningkatkan visibilitas global
    • Mengembangkan pendekatan inovatif untuk mobilisasi sumber daya tradisional seperti zakat dan wakaf
  2. Untuk Pembuat Kebijakan di Negara-Negara Muslim:
    • Mengintegrasikan prinsip-prinsip diplomasi kemanusiaan Islam ke dalam kebijakan luar negeri
    • Memperkuat kerangka hukum dan regulasi untuk organisasi kemanusiaan Islam
    • Memfasilitasi dialog antara ulama dan profesional kemanusiaan untuk mengembangkan respons berbasis nilai terhadap krisis kontemporer
  3. Untuk Sistem Kemanusiaan Global:
    • Mengakui dan mengintegrasikan pendekatan berbasis agama, termasuk Islam, dalam kerangka kemanusiaan internasional
    • Mengembangkan sensitivitas yang lebih besar terhadap nilai-nilai dan perspektif lokal dalam intervensi kemanusiaan
    • Membangun kemitraan yang lebih inklusif dengan aktor kemanusiaan berbasis agama

Penutup:

Diplomasi kemanusiaan dari perspektif Islam tidak hanya menawarkan lensa alternatif untuk memahami dan mengatasi tantangan kemanusiaan kontemporer tetapi juga menyediakan landasan untuk dialog antarperadaban yang bermakna tentang nilai-nilai dan tujuan bersama. Di tengah berbagai krisis global yang saling terkait—dari konflik berkepanjangan hingga perubahan iklim, dari ketimpangan struktural hingga pandemi—pendekatan yang mengintegrasikan beragam tradisi kemanusiaan menjadi semakin penting.

Sebagaimana dinyatakan oleh Mohammed Abu-Nimer dalam “Values of Peacebuilding and Nonviolence in Islam” (2001), tradisi kemanusiaan Islam, dengan penekanannya pada keadilan sosial, solidaritas, dan martabat universal, memiliki “daya transformatif potensial” tidak hanya untuk komunitas Muslim tetapi juga untuk tatanan global yang lebih luas. Merealisasikan potensi ini membutuhkan dialog berkelanjutan antara tradisi dan modernitas, antara prinsip-prinsip universal dan aplikasi kontekstual, serta antara berbagai aktor yang berkomitmen pada kesejahteraan kemanusiaan bersama.

11. Daftar Pustaka

Abdalla, A. (2002). Principles of Islamic interpersonal conflict intervention: A search within Islam and Western literature. Journal of Law and Religion, 15(1/2), 151-184.

Abdel-Rahim, M. (2008). The development of fiqh in the modern Muslim world. Cambridge: Islamic Texts Society.

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God’s name: Islamic law, authority and women. Oxford: Oneworld Publications.

Abu-Nimer, M. (2001). Values of peacebuilding and nonviolence in Islam: Ideals and reality. United States Institute of Peace Special Report, 1-8.

Abu-Nimer, M. (2003). Nonviolence and peace building in Islam: Theory and practice. Gainesville: University Press of Florida.

Abu Yusuf. (1979). Kitab al-Kharaj (A. Ben Shemesh, Trans.). Leiden: Brill.

Abu Zahra, M. (1964). *Al-‘alaq

Abu Zahra, M. (1964). Al-‘alaqat al-dawliyyah fi al-Islam [Hubungan internasional dalam Islam]. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Abedin, H. (1997). Poverty and the poor in the early Islamic community. Journal of Islamic Studies, 8(2), 167-185.

Ahmed, H. (2007). Waqf-based microfinance: Realizing the social role of Islamic finance. Paper presented at the International Seminar on Integrating Awqaf in the Islamic Financial Sector, Singapore.

Ahmed, H., & Pg Md, A. M. H. A. (2016). Financing disaster management using Islamic financial instruments. International Journal of Islamic Finance, 8(1), 37-55.

al-Ahsan, A. (2009). The organization of the Islamic Conference: An introduction to an Islamic political institution. Herndon: International Institute of Islamic Thought.

Al-Ghazali, A. H. (1993). Ihya ‘ulum al-din [The revival of religious sciences]. Beirut: Dar al-Khayr.

Al-Mawardi, A. (1996). Al-ahkam as-sultaniyyah [The laws of Islamic governance] (A. Yate, Trans.). London: Ta-Ha Publishers.

al-Qaradawi, Y. (1985). Ghair al-muslimin fi al-mujtama’ al-Islami [Non-Muslims in Islamic society]. Beirut: Mu’assasat al-Risalah.

al-Qaradawi, Y. (1996). Fiqh al-awlawiyyat [Jurisprudence of priorities]. Cairo: Maktabat Wahbah.

al-Sayyad, N., & Castells, M. (Eds.). (2002). Muslim Europe or Euro-Islam: Politics, culture, and citizenship in the age of globalization. Lanham: Lexington Books.

Al-Sarakhsi, S. (1993). Al-Mabsut. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Shatibi, I. (1997). Al-Muwafaqat fi usul al-shari’ah [The reconciliation of the fundamentals of Islamic law]. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

An-Na’im, A. A. (1990). Toward an Islamic reformation: Civil liberties, human rights, and international law. Syracuse: Syracuse University Press.

An-Na’im, A. A. (1992). Human rights in cross-cultural perspectives: A quest for consensus. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of Shari’a. Cambridge: Harvard University Press.

Armstrong, K. (1996). Jerusalem: One city, three faiths. New York: Ballantine Books.

Asad, T. (2003). Formations of the secular: Christianity, Islam, modernity. Stanford: Stanford University Press.

Askandar, K. (2007). The Aceh peace process: A lesson for peace negotiators. In A. C. Svensson & M. Utas (Eds.), The peace in between: Post-war violence and peacebuilding (pp. 232-247). London: Routledge.

Ataman, M. (2003). Islamic perspective on humanitarian intervention. The Quarterly Journal, 2(2), 33-41.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Auda, J. (2015). Maqasid al-shariah and public policy. Doha: Qatar Faculty of Islamic Studies.

Baderin, M. (2003). International human rights and Islamic law. Oxford: Oxford University Press.

Baer, M. D. (2020). The Ottoman Jews: A study in imperial policy. Stanford: Stanford University Press.

Barkey, K. (2008). Empire of difference: The Ottomans in comparative perspective. Cambridge: Cambridge University Press.

Barzegar, A. (2016). The Muslim world’s contribution to global governance. In F. Alicino (Ed.), Religion and governance (pp. 78-96). Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft.

Barzegar, A., & El Karhili, N. (2017). Islamic social finance and humanitarian action: An initial mapping. Geneva: Geneva Centre for Security Policy.

Benthall, J. (1997). The Red Cross and Red Crescent movement and Islamic societies, with special reference to Jordan. British Journal of Middle Eastern Studies, 24(2), 157-177.

Benthall, J. (2016). Islamic aid in a North-South context. In B. Alterman & C. Green (Eds.), Religious humanitarianism in global politics (pp. 67-84). Oxford: Oxford University Press.

Benthall, J. (2016). Islamic charities and Islamic humanism in troubled times. Manchester: Manchester University Press.

Bulliet, R. W. (2004). The case for Islamo-Christian civilization. New York: Columbia University Press.

Camilleri, J. A. (2001). Religion and culture in Asia Pacific: Violence or healing?. Melbourne: Vista Publications.

Chatty, D. (2010). Displacement and dispossession in the modern Middle East. Cambridge: Cambridge University Press.

Davison, R. (1963). Reform in the Ottoman Empire, 1856-1876. Princeton: Princeton University Press.

Dols, M. W. (1987). The origins of the Islamic hospital: Myth and reality. Bulletin of the History of Medicine, 61(3), 367-390.

Elmadmad, K. (2008). Asylum in Islam and modern refugee law. Refugee Survey Quarterly, 27(2), 51-63.

Etzioni, A. (2004). From empire to community: A new approach to international relations. New York: Palgrave Macmillan.

Falk, R. (2001). Religion and humane global governance. New York: Palgrave Macmillan.

Faruqui, N. (2001). Islam and water management: Overview and principles. In B. Faruqui, A. Biswas & M. Bino (Eds.), Water management in Islam (pp. 1-14). Tokyo: United Nations University Press.

Gallagher, N. E. (1983). Medicine and power in Tunisia, 1780-1900. Cambridge: Cambridge University Press.

Gülen, F. (2004). Toward a global civilization of love and tolerance. Somerset: The Light.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society. London: Routledge.

Hamidullah, M. (1953). The Muslim conduct of state. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Hamidullah, M. (1968). The first written constitution in the world. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Hanafi, H. (1980). Al-turath wa al-tajdid [Heritage and renewal]. Cairo: Maktabat al-Anglo al-Misriyyah.

Hellyer, H. A. (2009). Muslims of Europe: The ‘other’ Europeans. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Ibn Ashur, M. T. (2006). Treatise on Maqasid al-Shari’ah (M. El-Mesawi, Trans.). London: International Institute of Islamic Thought.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, M. (1995). Al-turuq al-hukmiyyah fi al-siyasah al-shar’iyyah [The legal methods in Islamic governance]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibrahim, A. (2012). The ummah and global challenges. The American Journal of Islamic Social Sciences, 29(3), 77-106.

Islamic Relief Worldwide. (2014). Islamic Relief Worldwide’s integrated sustainable development. Birmingham: Islamic Relief Worldwide.

Ismail, A. G., & Possumah, B. T. (2014). Waqf as alternative for disaster management. Humanomics, 30(2), 165-181.

Kalin, I. (2005). Islam and peace: A survey of the sources of peace in the Islamic tradition. Islamic Studies, 44(3), 327-362.

Kamali, M. H. (2002). The dignity of man: An Islamic perspective. Cambridge: Islamic Texts Society.

Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.

Kamali, M. H. (2008). The right to life, security, privacy and ownership in Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.

Keatinge, T. (2014). Uncharitable behavior: Counter-terrorist financing regulation restricts charity sector. London: Demos.

Kennedy, H. (2007). The great Arab conquests: How the spread of Islam changed the world we live in. London: Weidenfeld & Nicolson.

Kinealy, C. (2013). Charity and the Great Hunger in Ireland: The kindness of strangers. London: Bloomsbury.

Kuran, T. (2001). The provision of public goods under Islamic law: Origins, impact, and limitations of the waqf system. Law & Society Review, 35(4), 841-898.

Lingga, A. S. M. (2016). Role of third parties in Mindanao peace process. JISEAS: Journal of ASEAN Studies, 4(1), 20-33.

Lings, M. (1983). Muhammad: His life based on the earliest sources. London: Islamic Texts Society.

Mahmood, J. (2016). Faith-based humanitarian action. In J. Whittall & S. Schenkenberg (Eds.), Faith-based humanitarian action and principles (pp. 12-27). London: Overseas Development Institute.

Mahmud, I. (2010). Traditional conflict resolution in Somalia. African Journal on Conflict Resolution, 10(3), 87-110.

Malik, A. (2016). Food security and insecurity: A global perspective. New York: Nova Science Publishers.

Mandaville, P. (2001). Transnational Muslim politics: Reimagining the umma. London: Routledge.

Mazower, M. (2004). Salonica, city of ghosts: Christians, Muslims and Jews, 1430-1950. London: HarperCollins.

Menocal, M. R. (2002). The ornament of the world: How Muslims, Jews, and Christians created a culture of tolerance in medieval Spain. Boston: Back Bay Books.

Mohamed, A. S. (2001). Western versus Islamic human rights conceptions?: A critique of cultural essentialism in the discussion on human rights. Political Theory, 29(4), 599-614.

Moosa, E. (2015). What is a madrasa?. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Moore, L. V. (2018). Faith-sensitive humanitarian response: Working with religious groups. Forced Migration Review, 59, 60-62.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.

Nasr, S. H. (2010). Islamic life and thought. Chicago: Kazi Publications.

Petersen, M. J. (2012). International Muslim NGOs: ‘Added value’ or ‘fifth column’? In G. Clarke & M. Jennings (Eds.), Development, civil society and faith-based organizations: Bridging the sacred and the secular (pp. 142-159). London: Palgrave Macmillan.

Petersen, M. J. (2015). For humanity or for the umma?: Aid and Islam in transnational Muslim NGOs. London: Hurst & Company.

Pormann, P. E. (2017). Islamic hospitals in the time of al-Muqtadir. In J. Nawas (Ed.), Abbasid studies IV (pp. 337-366). Leuven: Peeters.

Pormann, P. E., & Savage-Smith, E. (2007). Medieval Islamic medicine. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Quataert, D. (2005). The Ottoman Empire, 1700-1922. Cambridge: Cambridge University Press.

Rahman, F. (1980). Major themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Ramadan, T. (2009). Radical reform: Islamic ethics and liberation. Oxford: Oxford University Press.

Rauf, I. F. (2015). Defining Islamic statehood: Measuring and indexing contemporary Muslim states. New York: Palgrave Macmillan.

Régnier, P. (2011). The emerging concept of humanitarian diplomacy: Identification of a community of practice and prospects for international recognition. International Review of the Red Cross, 93(884), 1211-1237.

Rida, M. R. (1931). Tarikh al-ustadh al-imam Muhammad ‘Abduh [History of the teacher Imam Muhammad Abduh]. Cairo: Matba’at al-Manar.

Robarts, A. (2016). Migration and disease in the Black Sea region: Ottoman-Russian relations in the late eighteenth and early nineteenth centuries. London: Bloomsbury.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The search for a new ummah. New York: Columbia University Press.

Sabra, A. (2000). Poverty and charity in medieval Islam: Mamluk Egypt, 1250-1517. Cambridge: Cambridge University Press.

Sachedina, A. (2009). Islamic biomedical ethics: Principles and application. Oxford: Oxford University Press.

Singer, A. (2008). Charity in Islamic societies. Cambridge: Cambridge University Press.

Uddin, N. (2019). The OIC, international humanitarian law and humanitarian diplomacy. In A. Emon & R. Ahmed (Eds.), The Oxford handbook of Islamic law (pp. 989-1012). Oxford: Oxford University Press.

Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.

Zaidan, A. K. (1986). Majmu’at buhuth fiqhiyyah [Collection of jurisprudential research]. Baghdad: Maktabat al-Quds.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect