Mendalami Al-Ahkam al-Sultaniyyah Karya Al-Mawardi

Oleh

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Hukum-Hukum Pemerintahan) merupakan karya monumental Imam Al-Mawardi (972-1058 M), seorang ulama, qadi, dan intelektual Muslim terkemuka dari era Abbasiyah. Judul lengkapnya adalah Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah yang dapat diartikan sebagai “Hukum-Hukum Pemerintahan dan Kekuasaan Keagamaan”. Buku ini menjadi salah satu rujukan klasik terpenting dalam pemikiran politik Islam dan fiqh siyasah (yurisprudensi politik Islam), dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teori politik dan administrasi pemerintahan dalam dunia Islam.

Karya ini ditulis pada masa kemunduran politik Abbasiyah, di mana kekuasaan Khalifah mulai tereduksi oleh kekuatan militer Bani Buwaihi dari kalangan Syi’ah. Sebagai ulama madzhab Syafi’i dan pejabat negara, Al-Mawardi melalui karyanya ini berupaya melegitimasi kekuasaan Khalifah Abbasiyah yang sedang melemah serta menyediakan kerangka teoretis administrasi pemerintahan Islam yang komprehensif. Meskipun ditulis dalam konteks politik abad ke-11, pemikirannya masih relevan dalam diskursus politik Islam kontemporer.

Al-Ahkam al-Sultaniyyah terdiri dari 20 bab yang membahas berbagai aspek tata negara dan pemerintahan dalam Islam, dimulai dari konsep fundamental imamah (kepemimpinan) hingga pengaturan administratif yang lebih spesifik. Berikut adalah pembahasan garis besar isi buku tersebut:

Bab 1: Kontrak Imamah (Kepemimpinan)

Al-Mawardi memulai pembahasan dengan menekankan urgensi institusi imamah sebagai penerus fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Ia mengutip Ijma’ (konsensus ulama) bahwa mendirikan imamah adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam berdasarkan rasionalitas dan syariat.

Mengenai dasar hukum imamah, Al-Mawardi merujuk pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 59: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” Menurutnya, ayat ini menjadi landasan kewajiban menaati pemimpin yang sah.

Al-Mawardi menetapkan tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam (khalifah): 1) adil dengan semua persyaratannya; 2) memiliki pengetahuan yang memadai untuk berijtihad; 3) sehat pancaindra; 4) tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi mobilitas; 5) memiliki visi politik yang baik untuk kemaslahatan rakyat; 6) memiliki keberanian untuk melindungi wilayah negara; dan 7) berasal dari keturunan Quraisy.

Selain itu, Al-Mawardi menguraikan dua metode pengangkatan imam: melalui pemilihan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi (dewan pemilih yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka) dan melalui penunjukan oleh imam sebelumnya. Ia juga membahas mekanisme pemilihan, prasyarat bagi para pemilih, dan prosedur bai’at (sumpah setia).

Bab 2: Pengangkatan Wazir (Menteri)

Bab kedua membahas institusi wazir atau kementerian sebagai tangan kanan khalifah. Al-Mawardi membagi jabatan wazir menjadi dua kategori:

  1. Wazir Tafwidh (Menteri Delegasi): memiliki kewenangan luas dalam administrasi dan pengambilan keputusan, hampir setara dengan khalifah, namun tetap di bawah pengawasannya.
  2. Wazir Tanfidz (Menteri Eksekutif): bertindak sebagai penghubung antara khalifah dan rakyat serta institusi pemerintah lainnya, bertugas melaksanakan kebijakan khalifah tanpa kewenangan membuat keputusan independen.

Al-Mawardi memaparkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing kategori wazir tersebut, hak dan kewajiban mereka, serta batasan-batasan kekuasaan mereka.

Bab 3: Pengangkatan Amir (Gubernur) Provinsi

Dalam bab ini, Al-Mawardi membahas pengaturan pemerintahan di tingkat provinsi. Ia mengklasifikasikan pengangkatan gubernur menjadi dua jenis:

  1. Imarah ‘Ala al-Salah (Gubernur dengan Otoritas Umum): memiliki kewenangan luas mencakup administrasi politik, militer, hukum, dan fiskal.
  2. Imarah ‘Ala al-Kharaj (Gubernur dengan Otoritas Terbatas): kewenangan terbatas pada urusan administratif dan fiskal.

Al-Mawardi menetapkan kualifikasi para gubernur, tugas dan tanggung jawab mereka, serta hubungan mereka dengan pemerintah pusat.

Bab 4: Pengangkatan Panglima Jihad (Amir al-Jihad)

Bab ini menguraikan organisasi militer, tanggung jawab panglima perang, strategi pertahanan, dan kebijakan perang. Al-Mawardi membahas kualifikasi seorang panglima, etika peperangan dalam Islam, pembagian harta rampasan perang (ghanimah), dan perlakuan terhadap tawanan perang. Ia juga mendiskusikan perjanjian damai dengan negara-negara non-Muslim dan status wilayah yang ditaklukkan.

Bab 5: Pengelolaan Keamanan Umum (Wilayat ‘ala Hurub al-Masalih)

Al-Mawardi membahas institusi kepolisian dan keamanan publik, termasuk pencegahan kejahatan, penegakan hukum, dan pengaturan moral publik. Ia menekankan pentingnya hisbah (pengawasan pasar dan moral) dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Bab 6: Peradilan (Wilayat al-Qada’)

Bab ini menguraikan sistem peradilan Islam, kualifikasi qadi (hakim), yurisdiksi pengadilan, prosedur pengadilan, dan pelaksanaan putusan. Al-Mawardi menjelaskan bahwa hakim harus memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum Islam, adil, dan berwibawa. Ia juga membahas hierarki peradilan dan mekanisme banding.

Bab 7: Mazalim (Peradilan Administratif)

Al-Mawardi membahas institusi mazalim, yaitu pengadilan khusus yang menangani kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah, sengketa administratif, dan keluhan masyarakat terhadap aparatur negara. Ia menjelaskan bahwa nazir al-mazalim (ketua pengadilan mazalim) memiliki kewenangan yang lebih luas daripada qadi biasa dan biasanya dijabat oleh khalifah sendiri atau pejabat tinggi yang ditunjuknya.

Bab 8: Niqabah (Administrasi Keturunan Bangsawan)

Bab ini membahas lembaga yang mengurus registrasi keturunan bangsawan, khususnya keturunan Nabi (sayyid dan syarif). Al-Mawardi memaparkan pentingnya menjaga nasab (silsilah keturunan) dalam konteks sosial-politik Islam.

Bab 9-20: Aspek Administratif dan Keuangan Negara

Bab-bab selanjutnya mengulas berbagai aspek administratif pemerintahan Islam, meliputi:

  • Pengangkatan imam shalat, pemimpin haji, dan administrator zakat
  • Pembagian harta fai’ (harta yang diperoleh tanpa perang) dan ghanimah
  • Penetapan jizyah (pajak bagi non-Muslim) dan kharaj (pajak tanah)
  • Pengelolaan baitul mal (perbendaharaan negara)
  • Iqta’ (pemberian tanah negara)
  • Ihya’ al-mawat (revitalisasi tanah mati/tidak bertuan)
  • Pengelolaan air, tambang, dan fasilitas umum
  • Regulasi pasar dan hisbah (pengawasan pasar)
  • Kebijakan ekonomi dan kesejahteraan sosial
  • Hukum pidana (hudud dan ta’zir)

Kerangka teoretis yang dibangun Al-Mawardi mencakup aspek teologis, yuridis, administratif, dan politik dalam satu sistem yang komprehensif. Ia mengintegrasikan praktik pemerintahan Islam historis dari masa Nabi Muhammad SAW, Khulafa’ al-Rasyidun, dan dinasti Umayyah-Abbasiyah dengan prinsip-prinsip syariah dan fiqh.

Karya Al-Mawardi menjadi signifikan karena merupakan formulasi sistematis pertama dari teori politik Islam yang mencakup konsep imamah, legitimasi kekuasaan, struktur pemerintahan, hierarki jabatan, dan berbagai aspek administrasi negara. Pemikirannya menjembatani prinsip-prinsip ideal Islam dengan realitas politik praktis pada zamannya.

ULASAN PARA PAKAR ISLAM

Kontekstualisasi Historis Karya Al-Mawardi

Para sarjana klasik maupun kontemporer sepakat bahwa untuk memahami signifikansi karya Al-Mawardi secara komprehensif, penting untuk mengontekstualisasikannya dalam realitas sosio-politik zamannya. Imam Al-Haramayn Al-Juwayni (1028-1085 M), seorang ulama terkemuka generasi pasca Al-Mawardi, dalam kitabnya Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zulam mengakui bahwa Al-Mawardi menulis karya tersebut sebagai respons terhadap krisis legitimasi yang dihadapi Khalifah Abbasiyah di tengah dominasi Bani Buwaihi.

Ibnu Khaldun (1332-1406 M), dalam Muqaddimah-nya, menggolongkan Al-Ahkam al-Sultaniyyah sebagai salah satu karya pionir dalam diskursus siyasah syar’iyyah. Menurutnya, “Al-Mawardi telah melakukan formulasi teoretis yang brilian dengan mengintegrasikan dimensi normatif syariah dengan realitas politik praktis. Karyanya menjadi jembatan antara idealisme politik Islam dan pragmatisme administratif” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, Bab III, Bagian 23).

Dalam konteks modern, Muhammad Hamidullah, sejarawan dan ahli hukum Islam Pakistan, menilai bahwa Al-Mawardi adalah teoretikus politik Islam pertama yang menyajikan kerangka konstitusional lengkap untuk negara Islam. Dalam karyanya The Muslim Conduct of State (1961), Hamidullah menyatakan: “Al-Mawardi adalah perintis dalam menyusun ‘konstitusi’ negara Islam secara sistematis yang mencakup seluruh aspek pemerintahan, dari kepala negara hingga pejabat lokal” (Hamidullah, 1961, p. 78).

Evaluasi Terhadap Konsep Imamah

Konsep imamah yang dikembangkan Al-Mawardi mendapat perhatian khusus dari para ulama dan sarjana politik Islam. Abu Ya’la al-Farra (990-1066 M), seorang ulama Hanbali sezaman dengan Al-Mawardi, menulis kitab dengan judul serupa, Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Meskipun memiliki kesamaan struktur, pendekatan Abu Ya’la lebih menekankan aspek tekstual dari sumber-sumber syariah, sementara Al-Mawardi lebih analitis dan fleksibel.

Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), dalam Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, mengembangkan lebih lanjut teori imamah Al-Mawardi, namun dengan penekanan yang lebih kuat pada dimensi teologisnya. Al-Ghazali menyatakan: “Teori imamah Al-Mawardi sangat bernilai dalam meletakkan kerangka yuridis bagi institusi khilafah, meskipun dimensi spiritualitasnya perlu diperdalam untuk menghadapi tantangan sosial-politik umat” (Al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Bab IV).

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), dalam Al-Siyasah al-Syar’iyyah, mengkritisi beberapa aspek teori Al-Mawardi, khususnya syarat Quraisy untuk jabatan khalifah. Menurutnya, “Persyaratan keturunan Quraisy harus dipahami dalam konteks maslahat, bukan sebagai prasyarat mutlak. Yang terpenting adalah kemampuan pemimpin menegakkan syariah dan mewujudkan keadilan” (Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, Bab I).

Dalam diskursus kontemporer, Ali Abd al-Raziq, intelektual Mesir, dalam karyanya Al-Islam wa Usul al-Hukm (1925), mengkritisi keras paradigma Al-Mawardi. Ia berpendapat bahwa teori khalifah Al-Mawardi lebih merupakan konstruksi politik untuk mempertahankan status quo daripada turunan autentik dari ajaran Islam. Namun, kritik al-Raziq ini mendapat bantahan dari Muhammad Rashid Rida dalam Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzma, yang membela relevansi institusional khilafah sebagaimana dirumuskan Al-Mawardi, meskipun membutuhkan beberapa adaptasi kontekstual.

Evaluasi Terhadap Struktur Pemerintahan

Organisasi administratif negara dalam pemikiran Al-Mawardi mendapat apresiasi dari banyak sarjana. Muhammad Asad, seorang pemikir Muslim berkebangsaan Austria, dalam The Principles of State and Government in Islam (1961), memuji kerangka sistematis yang dirumuskan Al-Mawardi: “Al-Mawardi berhasil merekonstruksi struktur pemerintahan Islam yang ideal berdasarkan sintesis brilian antara praktik historis Khulafa’ al-Rasyidin dan realitas administratif dinasti Abbasiyah” (Asad, 1961, p. 45).

Profesor Subhi Mahmassani, ahli hukum Lebanon, dalam karyanya Falsafat al-Tasyri’ fi al-Islam, menyoroti fleksibilitas pemikiran Al-Mawardi: “Kontribusi terbesar Al-Mawardi adalah kemampuannya menyediakan kerangka administratif yang cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan berbagai konteks politik, sekaligus tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariah” (Mahmassani, 1961, p. 134).

Wael B. Hallaq, ahli hukum Islam dari Universitas Columbia, dalam The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (2012), memberikan kritik tajam terhadap kerangka teoretis Al-Mawardi. Menurutnya, “Konstruksi negara ala Al-Mawardi sesungguhnya sudah mengadopsi logika kekuasaan yang cenderung mendistorsi paradigma governansi Islam yang sebenarnya lebih bersifat komunal dan etis-moral daripada institusional-birokratis” (Hallaq, 2012, p. 78).

Evaluasi Terhadap Konsep Hubungan Agama dan Negara

Salah satu aspek paling mendasar dari karya Al-Mawardi adalah konsepsinya tentang hubungan agama dan negara. Muhammad Iqbal, filosof dan penyair Pakistan, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930), menilai Al-Mawardi sebagai teoretikus yang berhasil menggariskan keseimbangan ideal antara otoritas politik dan religius: “Al-Mawardi menawarkan formula politik yang berupaya mengharmoniskan tuntutan spiritual Islam dengan kebutuhan praktis administrasi negara” (Iqbal, 1930, p. 154).

Sebaliknya, Abdelwahab El-Affendi, sarjana politik Islam dari Sudan, dalam Who Needs an Islamic State? (1991), mengkritik paradigma Al-Mawardi yang menurutnya terlalu berorientasi pada stabilitas politik dengan mengorbankan aspirasi transformatif Islam. El-Affendi menyatakan: “Teori politik Al-Mawardi lebih berfungsi sebagai justifikasi teologis untuk realitas politik yang sudah mengalami kemunduran daripada sebagai visi reformatif berbasis nilai-nilai otentik Islam” (El-Affendi, 1991, p. 67).

Sementara itu, Yusuf al-Qaradawi, ulama kontemporer, dalam Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, mengapresiasi kerangka Al-Mawardi sebagai ijtihad kontekstual yang berharga: “Al-Mawardi telah meletakkan fondasi konseptual untuk negara Islam yang tetap relevan hingga saat ini, meskipun memerlukan reinterpretasi sesuai konteks modern berdasarkan maqasid syariah” (Al-Qaradawi, 1997, p. 28).

Evaluasi Terhadap Konsep Legitimasi Kekuasaan

Perspektif Al-Mawardi tentang legitimasi kekuasaan telah mendapat berbagai tanggapan dari para pemikir Islam. Muhammad Abu Zahrah, ulama Mesir, dalam Al-‘Alaqat al-Dawliyyah fi al-Islam, menilai bahwa konsep legitimasi Al-Mawardi mencerminkan keseimbangan antara ideal normatif dan pragmatisme politik: “Al-Mawardi mengakui keabsahan kekuasaan de facto sambil tetap menetapkan standar moral-religius sebagai parameter evaluasinya” (Abu Zahrah, 1964, p. 92).

Hamid Enayat, sarjana politik Iran, dalam Modern Islamic Political Thought (1982), melihat kontradiksi dalam pemikiran Al-Mawardi: “Teori legitimasi Al-Mawardi mengalami ketegangan internal antara idealisme normatif syariah dan realisme politik pragmatis. Di satu sisi, ia menetapkan standar ketat bagi kepemimpinan Islam, namun di sisi lain memberikan justifikasi religius bagi pemerintahan yang de facto sudah jauh dari ideal tersebut” (Enayat, 1982, p. 112).

Noel J. Coulson, ahli hukum Islam dari Universitas London, dalam A History of Islamic Law (1964), menggarisbawahi signifikansi historis dari teori legitimasi Al-Mawardi: “Kontribusi Al-Mawardi yang terpenting adalah keberhasilannya merumuskan teori legitimasi yang cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan sosio-politik, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental hukum Islam” (Coulson, 1964, p. 83).

Evaluasi Terhadap Aspek Ekonomi dan Fiskal

Sistem ekonomi dan fiskal yang diuraikan Al-Mawardi juga mendapat perhatian dari para sarjana ekonomi Islam. Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonom Muslim India, dalam Recent Works on History of Economic Thought in Islam (1982), menilai bahwa pemikiran ekonomi Al-Mawardi sangat progresif untuk zamannya: “Analisis Al-Mawardi tentang sumber pendapatan negara, kebijakan perpajakan, dan distribusi kesejahteraan mencerminkan pemahaman mendalam tentang prinsip keadilan ekonomi dalam Islam” (Siddiqi, 1982, p. 45).

M. Umer Chapra, ekonom Pakistan, dalam Islam and the Economic Challenge (1992), mengapresiasi konsep intervensi negara ala Al-Mawardi: “Al-Mawardi telah merumuskan teori komprehensif tentang peran negara dalam mengatur kehidupan ekonomi, yang mencakup aspek regulasi pasar, perpajakan proporsional, dan penyediaan infrastruktur publik” (Chapra, 1992, p. 76).

Sementara itu, Ziauddin Sardar, intelektual Muslim Inggris, dalam Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (1985), menyoroti aspek etis dalam pemikiran ekonomi Al-Mawardi: “Keunggulan konsepsi ekonomi Al-Mawardi terletak pada integrasi sistematis antara efisiensi administratif dengan dimensi etika sosial Islam” (Sardar, 1985, p. 118).

Evaluasi Terhadap Konsep Hukum dan Peradilan

Sistem peradilan yang diuraikan Al-Mawardi mendapat apresiasi dari para ahli hukum Islam. Muhammad Hashim Kamali, ahli hukum Islam dari Malaysia, dalam Principles of Islamic Jurisprudence (1991), menilai bahwa konsep wilayat al-qada’ Al-Mawardi merupakan formulasi komprehensif pertama dari sistem yudisial Islam: “Al-Mawardi berhasil mengartikulasikan struktur hierarkis peradilan Islam yang mencakup aspek substansi hukum, prosedur, dan administrasi” (Kamali, 1991, p. 213).

Bernard Weiss, ahli hukum Islam dari Universitas Utah, dalam The Spirit of Islamic Law (1998), menghargai diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan Al-Mawardi: “Pemisahan yurisdiksi antara qada’ (peradilan umum) dan mazalim (peradilan administratif) dalam pemikiran Al-Mawardi mencerminkan sensitivitas terhadap kompleksitas persoalan hukum dalam masyarakat Muslim yang berkembang” (Weiss, 1998, p. 142).

Khaled Abou El Fadl, ahli hukum Islam dari UCLA, dalam Speaking in God’s Name (2001), mengkritisi beberapa aspek teori yudisial Al-Mawardi: “Meskipun sistematis, konsepsi peradilan Al-Mawardi terlalu menekankan dimensi prosedural dan administratif dengan mengorbankan aspek substantif keadilan yang seharusnya menjadi inti dari sistem hukum Islam” (Abou El Fadl, 2001, p. 97).

Evaluasi Komprehensif: Signifikansi dan Keterbatasan

Secara komprehensif, para sarjana kontemporer mengakui signifikansi sejarah karya Al-Mawardi sekaligus mengidentifikasi keterbatasannya. Patricia Crone, sejarawan Islam dari Princeton University, dalam Medieval Islamic Political Thought (2004), menyatakan: “Al-Ahkam al-Sultaniyyah merupakan karya pionir yang berhasil mensistematisasi teori politik Islam klasik. Meski demikian, karya ini juga mencerminkan dilema intelektual para ulama yang berupaya merekonsiliasi ideal normatif dengan realitas politik yang semakin jauh dari ideal tersebut” (Crone, 2004, p. 219).

Abdullahi Ahmed An-Na’im, ahli hukum Islam dari Emory University, dalam Islam and the Secular State (2008), melihat paradoks dalam pemikiran Al-Mawardi: “Al-Mawardi berupaya memberikan legitimasi religius terhadap institusi politik yang sesungguhnya sudah kehilangan substansi religiusnya. Ini mencerminkan tendensi akomodatif para ulama terhadap kekuasaan politik yang problematik dari perspektif reformasi Islam kontemporer” (An-Na’im, 2008, p. 57).

Sementara itu, Mohammed Ayoob, profesor hubungan internasional dari Michigan State University, dalam The Many Faces of Political Islam (2008), memberikan penilaian berimbang: “Terlepas dari konteks historisnya yang spesifik, karya Al-Mawardi tetap menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat dioperasionalkan dalam bentuk institusi politik. Pemikirannya menjadi bagian integral dari diskursus politik Islam yang terus berkembang hingga saat ini” (Ayoob, 2008, p. 32).

Tariq Ramadan, intelektual Muslim Swiss, dalam Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (2009), menyoroti ambivalensi warisan intelektual Al-Mawardi: “Di satu sisi, Al-Mawardi telah memberikan kontribusi monumental dalam artikulasi teori politik Islam. Di sisi lain, pendekatannya yang terlalu legalistik dan formalistik perlu dikritisi dalam upaya pengembangan etika politik Islam yang lebih transformatif” (Ramadan, 2009, p. 145).

Relevansi Pemikiran Al-Mawardi dalam Konteks Negara Modern

Dalam era nation-state modern, pemikiran Al-Mawardi telah menjadi rujukan penting bagi negara-negara Muslim yang berupaya mengartikulasikan konstitusi berbasis prinsip Islam. Malaysia, Pakistan, Iran, dan Arab Saudi, meskipun dengan cara berbeda, telah mengadopsi beberapa aspek pemikiran Al-Mawardi dalam struktur konstitusional mereka.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, filsuf Malaysia, dalam Islam and Secularism (1978), berpendapat bahwa konsep governansi Al-Mawardi dapat dikontekstualisasikan dalam kerangka negara modern: “Prinsip-prinsip dasar yang dirumuskan Al-Mawardi—seperti keadilan, musyawarah, dan akuntabilitas—tetap relevan sebagai parameter etis bagi negara modern, meskipun bentuk institusionalnya perlu direformulasi” (Al-Attas, 1978, p. 154).

Pemikiran Al-Mawardi tentang hierarki kekuasaan dan desentralisasi administratif memiliki resonansi dengan konsep modern tentang pembagian kekuasaan dan otonomi daerah. Louay Safi, pemikir politik Islam kontemporer, dalam The Challenge of Modernity (1994), menggarisbawahi fleksibilitas konseptual pemikiran Al-Mawardi: “Konsep wilayah (provinsi) dalam teori Al-Mawardi menunjukkan apresiasi terhadap keragaman lokal dan kebutuhan akan administrasi yang terdesentralisasi, prinsip yang tetap relevan dalam konteks negara-bangsa modern” (Safi, 1994, p. 89).

Implikasi Teoretis Pemikiran Al-Mawardi untuk Diskursus Politik Islam Kontemporer

Dalam diskursus politik Islam kontemporer, warisan intelektual Al-Mawardi telah diartikulasikan dalam berbagai cara. Kelompok tradisionalis cenderung memandang karya Al-Mawardi sebagai kerangka normatif yang tetap valid, sementara kalangan reformis berupaya mengkontekstualisasikan pemikirannya dalam kerangka demokrasi konstitusional.

Rachid Ghannouchi, pemikir politik Tunisia dan pendiri partai Ennahda, dalam Al-Hurriyat al-‘Ammah fi al-Dawlah al-Islamiyyah (1993), mengargumentasikan kompatibilitas antara prinsip-prinsip Al-Mawardi dengan nilai-nilai demokrasi: “Konsep bai’ah (sumpah setia) dan syura (musyawarah) dalam pemikiran Al-Mawardi dapat direkonsiliasikan dengan mekanisme pemilihan umum dan parlemen dalam sistem demokratis” (Ghannouchi, 1993, p. 112).

Sebaliknya, Abul A’la Maududi, pemikir politik Pakistan dan pendiri Jamaat-e-Islami, dalam Islamic Law and Constitution (1955), berpendapat bahwa pemikiran Al-Mawardi perlu direvitalisasi dalam bentuk yang lebih ideologis: “Konsep hakimiyah (kedaulatan Tuhan) harus menjadi landasan konstitusional negara Islam kontemporer, dengan reinterpretasi kritis terhadap warisan fiqh siyasi klasik, termasuk pemikiran Al-Mawardi” (Maududi, 1955, p. 76).

Analisis Konseptual Pemikiran Al-Mawardi: Model dan Kerangka

Untuk memahami pemikiran Al-Mawardi secara lebih sistematis, berikut disajikan model konseptual yang menggambarkan struktur teori politiknya:

DimensiKomponen UtamaPrinsip DasarManifestasi Institusional
Teologis-YuridisImamah/KhilafahKewajiban kolektif berdasarkan ijma’Institusi kepala negara sebagai penerus fungsi kenabian
KonstitusionalBai’ah dan Ahlul Halli wal ‘AqdiKontrak sosial-politik dan representasiMekanisme pengangkatan dan legitimasi pemimpin
AdministratifWizarah dan ImarahDelegasi kekuasaan dan hierarki administratifKementerian pusat dan pemerintahan provinsi
YudisialQada’ dan MazalimPenegakan hukum dan kontrol kekuasaanSistem peradilan umum dan administratif
FiskalKharaj, Jizyah, Zakat, Fai’Redistribusi kekayaan dan pembiayaan publikBaitul Mal dan sistem perpajakan
KeamananAmir al-Jihad dan SyurtahPertahanan eksternal dan ketertiban internalInstitusi militer dan kepolisian

Model ini menunjukkan bagaimana Al-Mawardi mengintegrasikan berbagai dimensi pemerintahan dalam satu kerangka teoretis yang koheren. Kerangka konseptual Al-Mawardi dapat divisualisasikan dalam bentuk hierarki berikut: A diagram of a family tree

AI-generated content may be incorrect.

Struktur hierarkis ini mencerminkan pendekatan sistematis Al-Mawardi terhadap organisasi kekuasaan negara. Keunggulan konseptual Al-Mawardi terletak pada kemampuannya mengintegrasikan nilai-nilai normatif Islam dengan kebutuhan praktis administrasi pemerintahan.

Analisis Komparatif: Al-Mawardi dan Pemikir Politik Islam Lainnya

Untuk menempatkan kontribusi Al-Mawardi dalam perspektif yang lebih luas, penting untuk membandingkan pemikirannya dengan teoretikus politik Islam lainnya.

AspekAl-MawardiAl-FarabiAl-GhazaliIbnu TaimiyahIbnu Khaldun
Sumber LegitimasiTekstual-Yuridis (Ijma’)Filosofis-MetafisikTeologis-MoralTekstual-EtisSosiologis-Historis
Konsep Pemimpin IdealFaqih dengan kapabilitas politikFilosof-RajaPemimpin ReligiusUlama dengan otoritas politikPemimpin dengan ‘asabiyyah
Struktur NegaraHierarkis-BirokratisOrganik-HierarkisTeokratis-FungsionalKomunal-NormatifSiklikal-Dinamis
Relasi Agama-NegaraIntegrasi InstitusionalSubordinasi FungsionalIntegrasi SubstansialIntegrasi NormatifIntegrasi Siklikal
MetodologiFiqh-NormatifFilosofis-RasionalTeologis-EtisTekstual-KontekstualEmpiris-Historis

Perbandingan ini menunjukkan bahwa Al-Mawardi, berbeda dengan Al-Farabi yang lebih filosofis atau Ibnu Khaldun yang lebih sosiologis, mengembangkan teori politik berbasis fiqh (yurisprudensi) yang menekankan aspek institusional dan administratif. Pendekatan Al-Mawardi lebih pragmatis dibandingkan idealisme Al-Farabi, namun lebih formalistik dibandingkan realisme Ibnu Khaldun.

Tafsir Al-Mawardi Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an Terkait Politik

Al-Mawardi, selain sebagai ahli politik, juga dikenal sebagai mufassir (ahli tafsir) melalui karyanya Al-Nukat wa al-‘Uyun. Penafsirannya terhadap ayat-ayat politik dalam Al-Qur’an memengaruhi konstruksi teori politiknya. Beberapa ayat kunci yang ia tafsirkan secara distingtif antara lain:

  1. QS. An-Nisa’ [4]: 59 tentang ketaatan kepada ulil amri (pemegang otoritas). Al-Mawardi menafsirkan ayat ini sebagai fondasi teologis bagi kewajiban menaati pemimpin yang sah, dengan syarat perintahnya tidak bertentangan dengan syariah. Ia menekankan bahwa ayat ini menegaskan legitimasi vertikal (dari Allah dan Rasul) dan horizontal (dari komunitas Muslim) bagi otoritas politik.
  2. QS. Al-Baqarah [2]: 30 tentang pengangkatan Adam sebagai khalifah. Al-Mawardi melihat ayat ini sebagai isyarat konseptual tentang institusi khilafah, meskipun konteksnya berbeda. Menurutnya, fungsi khalifah sebagai wakil Allah di bumi paralel dengan fungsi imam/khalifah dalam konteks politik, yaitu menegakkan keadilan dan mensejahterakan umat.
  3. QS. Ali ‘Imran [3]: 159 tentang musyawarah (syura). Al-Mawardi menafsirkan ayat ini sebagai landasan bagi proses konsultatif dalam pengambilan keputusan politik. Meskipun demikian, ia tidak mengembangkan konsep syura secara ekstensif sebagaimana pemikir politik Islam modern.

Analisis Penggunaan Hadis dalam Konstruksi Teori Politik Al-Mawardi

Al-Mawardi menggunakan berbagai hadis sebagai landasan normatif bagi teori politiknya. Beberapa hadis kunci yang ia jadikan referensi antara lain:

  1. Hadis tentang kepemimpinan Quraisy: “Para pemimpin adalah dari Quraisy” (HR. Bukhari). Al-Mawardi menggunakan hadis ini untuk menetapkan persyaratan nasab Quraisy bagi jabatan khalifah, meskipun interpretasi ini dikritik oleh pemikir modern sebagai kontekstual daripada universal.
  2. Hadis tentang bai’at: “Barangsiapa yang mati tanpa bai’at di lehernya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah” (HR. Muslim). Al-Mawardi menjadikan hadis ini sebagai basis legitimasi untuk kewajiban adanya imam dan pentingnya pengakuan komunal terhadap kepemimpinannya.
  3. Hadis tentang keadilan pemimpin: “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya adalah pemimpin yang adil” (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Mawardi menggunakan hadis ini sebagai landasan etis bagi kualifikasi dan perilaku pemimpin.

Kontribusi Al-Mawardi terhadap Teori Politik Islam: Inovasi dan Limitasi

Kontribusi Al-Mawardi terhadap teori politik Islam dapat diidentifikasi dalam beberapa aspek:

  1. Sistematisasi: Al-Mawardi adalah orang pertama yang menyusun teori politik Islam secara sistematis dan komprehensif. Ia mengorganisasi berbagai elemen politik Islam—dari kepemimpinan tertinggi hingga administrasi lokal—dalam satu kerangka teoretis yang koheren.
  2. Legalisasi: Al-Mawardi berhasil memformulasikan konsep politik Islam dalam kerangka yuridis yang operasional. Ia mentransformasi prinsip-prinsip politik yang tersebar dalam sumber-sumber Islam menjadi postulat hukum yang aplikatif.
  3. Institusionalisasi: Al-Mawardi merumuskan teori institusional yang menguraikan berbagai lembaga pemerintahan dengan fungsi, hierarki, dan hubungan yang jelas. Ia menjembatani gap antara teori politik abstrak dengan praktik administratif konkret.
  4. Pragmatisme politik: Al-Mawardi menunjukkan fleksibilitas intelektual dalam mengakomodasi realitas politik zamannya tanpa mengorbankan prinsip dasar. Ia menciptakan ruang teoretis untuk legitimasi kondisional terhadap kekuasaan de facto.

Di sisi lain, pemikiran Al-Mawardi juga memiliki beberapa keterbatasan:

  1. Keterbatasan kontekstual: Teori Al-Mawardi sangat terikat pada konteks sosio-politik Abbasiyah abad ke-11, sehingga beberapa aspeknya kurang relevan untuk konteks modern.
  2. Bias elit: Pemikiran Al-Mawardi cenderung elitis, dengan fokus pada kepentingan negara dan kelas penguasa, sementara partisipasi rakyat kurang mendapat perhatian.
  3. Keterbatasan epistemologis: Al-Mawardi tidak mengembangkan fondasi filosofis yang kokoh bagi teori politiknya, berbeda dengan Al-Farabi atau Ibnu Rusyd.
  4. Ketegangan internal: Teori Al-Mawardi mengandung ketegangan antara idealisme normatif dan pragmatisme politik, yang terkadang menghasilkan inkonsistensi teoretis.

Al-Mawardi dan Diskursus Kontemporer tentang Politik Islam dan Modernitas

Pemikiran Al-Mawardi telah menjadi rujukan dalam diskursus kontemporer tentang rekonsiliasi antara Islam dan modernitas politik. Posisi Al-Mawardi diinterpretasikan beragam oleh berbagai aliran pemikiran:

  1. Tradisionalis-Konservatif: Kelompok ini, seperti gerakan Khilafah dan beberapa ulama Wahabi, cenderung menerima kerangka Al-Mawardi secara literal sebagai model ideal pemerintahan Islam.
  2. Reformis-Modernis: Kelompok ini, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, mengapresiasi sistematika Al-Mawardi namun mengadvokasi reinterpretasi kontekstual terhadap karya-karyanya.
  3. Progresif-Liberal: Pemikir seperti Abdullahi An-Na’im dan Mohammed Arkoun cenderung kritis terhadap kerangka Al-Mawardi, melihatnya sebagai produk historis yang perlu didekonstruksi untuk menemukan nilai universal Islam.
  4. Islamis-Modernis: Pemikir seperti Yusuf al-Qaradawi mengadopsi pendekatan selektif terhadap Al-Mawardi, mengambil prinsip-prinsip umum dan meninggalkan detail teknis yang tidak relevan.

Secara keseluruhan, karya Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, tetap menjadi milestone penting dalam sejarah pemikiran politik Islam. Signifikansinya terletak bukan hanya pada konten spesifiknya, tetapi juga pada metode sistematisnya dan kemampuannya mengintegrasikan dimensi normatif dan praktis dari governansi Islam. Terlepas dari limitasi kontekstualnya, warisan intelektual Al-Mawardi terus menginspirasi refleksi kritis tentang relasi antara Islam dan politik dalam dunia kontemporer.

KESIMPULAN

Sebagai penutup ulasan komprehensif terhadap karya monumental Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, penting untuk merefleksikan signifikansi historis dan relevansi kontemporer dari pemikiran politik yang terkandung di dalamnya. Melalui tinjauan mendalam yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kontribusi Al-Mawardi dalam diskursus politik Islam bersifat fundamental dan transformatif.

Signifikansi Historis dan Kontribusi Konseptual

Al-Ahkam al-Sultaniyyah merepresentasikan titik kulminasi dari proses evolusi pemikiran politik Islam yang berlangsung selama empat abad pertama sejarah Islam. Al-Mawardi berhasil mengintegrasikan berbagai elemen dari tradisi politik Islam—praktik para sahabat Nabi, preseden dinasti Umayyah dan Abbasiyah, serta diskursus fiqh—ke dalam satu konstruksi teoretis yang koheren. Keberhasilannya terletak pada kemampuannya menyintesiskan dimensi normatif dan empiris, idealisme religius dan pragmatisme politik, dalam satu kerangka konseptual.

Konseptualisasi Al-Mawardi tentang imamah dan struktur pemerintahan telah membentuk leksikon politik Islam yang digunakan hingga saat ini. Terminologi seperti wilayah (provinsi), wazir (menteri), qadi (hakim), dan mazalim (peradilan administratif) yang ia sistematisasi telah menjadi bagian integral dari kosakata politik Islam. Sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam: “Al-Mawardi tidak hanya merumuskan teori politik, tetapi juga menciptakan bahasa politik Islam yang membingkai diskursus selama berabad-abad” (Iqbal, 1930, p. 157).

Kontekstualisasi dalam Realitas Politik Kontemporer

Dalam konteks politik kontemporer, pemikiran Al-Mawardi telah diinterpretasikan dan diaplikasikan dengan berbagai cara. Di negara-negara seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam yang masih mempertahankan sistem monarki Islam, konsep imamah Al-Mawardi sering dijadikan referensi untuk melegitimasi struktur kekuasaan. Di negara-negara dengan sistem parlementer seperti Malaysia dan Pakistan, elemen-elemen dari teori Al-Mawardi tentang Ahlul Halli wal ‘Aqdi direinterpretasi dalam kerangka representasi demokratis.

Namun, dalam konteks nation-state modern, relevansi pemikiran Al-Mawardi menghadapi tantangan signifikan. Fazlur Rahman, pemikir neomodernis Pakistan, dalam Islam (1979), mengamati: “Meskipun Al-Mawardi menyediakan kerangka konseptual yang komprehensif, teorinya didasarkan pada asumsi tentang universalitas politik Islam yang sulit direkonsiliasikan dengan realitas negara-bangsa modern dan pluralisme religius” (Rahman, 1979, p. 234).

Dialektika Tradisi dan Modernitas

Pemikiran Al-Mawardi berada dalam tegangan dialektis antara tradisi dan modernitas dalam diskursus politik Islam kontemporer. Di satu sisi, ia merepresentasikan ‘ortodoksi’ politik Sunni klasik yang menjadi sumber legitimasi bagi pendekatan tradisionalis. Di sisi lain, fleksibilitas metodologisnya—terutama penggunaan konsep maslahat (kepentingan publik)—menyediakan ruang interpretasi bagi pendekatan reformis.

Khaled Abou El Fadl, dalam And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (2001), mengemukakan bahwa “warisan intelektual Al-Mawardi mengandung potensi yang belum sepenuhnya dieksplorasi untuk mengembangkan teori konstitusionalisme Islam yang autentik namun responsif terhadap tantangan modernitas” (Abou El Fadl, 2001, p. 114).

Sementara itu, Abdullah Saeed, sarjana Islam Australia, dalam Islamic Thought: An Introduction (2006), mengemukakan pentingnya pendekatan kontekstual terhadap karya Al-Mawardi: “Alih-alih mencari aplikasi literal dari teori Al-Mawardi, diskursus politik Islam kontemporer perlu mengekstraksi prinsip-prinsip fundamental yang mendasari pemikirannya—seperti akuntabilitas penguasa, supremasi hukum, dan kesejahteraan publik—untuk dikontekstualisasikan dalam realitas modern” (Saeed, 2006, p. 128).

Refleksi Kritis dan Prospek Masa Depan

Sebagai penutup, penting untuk merefleksikan warisan intelektual Al-Mawardi dengan pendekatan kritis namun apresiatif. Al-Ahkam al-Sultaniyyah merepresentasikan pencapaian intelektual luar biasa dalam mengembangkan teori politik berbasis syariah yang komprehensif. Namun, karya ini juga merupakan produk dari konteks sosio-politik spesifik yang perlu dipahami secara kontekstual.

Masa depan studi tentang pemikiran Al-Mawardi terletak pada upaya rekonstruksi kritis yang mampu menghargai kontribusi historisnya sekaligus mengembangkan aspek-aspek yang relevan untuk konteks kontemporer. Sebagaimana dinyatakan oleh Mohammad Hashim Kamali dalam Principles of Islamic Jurisprudence (1991): “Tugas intelektual generasi Muslim saat ini adalah melakukan ijtihad kreatif terhadap warisan fiqh siyasi klasik, termasuk pemikiran Al-Mawardi, untuk merumuskan paradigma politik yang autentik sekaligus kontekstual” (Kamali, 1991, p. 245).

Pemikiran politik Al-Mawardi, dengan demikian, tidak seharusnya diperlakukan sebagai dokumen statis yang hanya memiliki nilai historis, melainkan sebagai sumber inspirasi dinamis yang terus memperkaya diskursus tentang Islam dan politik. Dalam menghadapi tantangan governansi modern—mulai dari globalisasi, multikulturalisme, hingga krisis lingkungan—tradisi pemikiran politik Islam yang direpresentasikan oleh Al-Mawardi perlu terus didialogkan dengan berbagai perspektif kontemporer untuk menghasilkan sintesis yang produktif.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer

Al-Mawardi, A. A. H. (1996). Al-Ahkam al-Sultaniyyah (The ordinances of government). (W. H. Wahba, Trans.). Reading: Garnet Publishing.

Al-Mawardi, A. A. H. (1994). Al-Nukat wa al-‘Uyun (Tafsir Al-Mawardi). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Mawardi, A. A. H. (1988). Adab al-Dunya wa al-Din (Ethics of the world and religion). Cairo: Dar al-Fikr.

Sumber Klasik dalam Bahasa Arab

Abu Ya’la, M. (1983). Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (1997). Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Moderation in belief). Cairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Juwayni, A. M. (1981). Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zulam (Relief of nations in darkness). Alexandria: Dar al-Da’wah.

Ibn Khaldun, A. (2004). Muqaddimah Ibn Khaldun (Ibn Khaldun’s Prolegomena). Damascus: Dar Ya’rub.

Ibn Taimiyah, A. (1997). Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah (The governance according to divine law in reforming the shepherd and the flock). Beirut: Dar Ibn Hazm.

Sumber Modern dalam Bahasa Arab

Abu Zahrah, M. (1964). Al-‘Alaqat al-Dawliyyah fi al-Islam (International relations in Islam). Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Al-Qaradawi, Y. (1997). Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam (On state jurisprudence in Islam). Cairo: Dar al-Shuruq.

Al-Raziq, A. A. (1925). Al-Islam wa Usul al-Hukm (Islam and the foundations of governance). Cairo: Matba’at Misr.

Ghannouchi, R. (1993). Al-Hurriyat al-‘Ammah fi al-Dawlah al-Islamiyyah (Public freedoms in the Islamic state). Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.

Rida, M. R. (1988). Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzma (Caliphate or the great leadership). Cairo: Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi.

Sumber dalam Bahasa Inggris

Abou El Fadl, K. (2001). And God knows the soldiers: The authoritative and authoritarian in Islamic discourses. Lanham: University Press of America.

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God’s name: Islamic law, authority and women. Oxford: Oneworld Publications.

Al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and secularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of Shari’a. Cambridge: Harvard University Press.

Asad, M. (1961). The principles of state and government in Islam. Berkeley: University of California Press.

Ayoob, M. (2008). The many faces of political Islam: Religion and politics in the Muslim world. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Black, A. (2001). The history of Islamic political thought: From the Prophet to the present. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: The Islamic Foundation.

Coulson, N. J. (1964). A history of Islamic law. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Crone, P. (2004). Medieval Islamic political thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

El-Affendi, A. (1991). Who needs an Islamic state? London: Grey Seal.

Enayat, H. (1982). Modern Islamic political thought. London: Macmillan.

Hallaq, W. B. (2012). The impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. New York: Columbia University Press.

Hamidullah, M. (1961). The Muslim conduct of state. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Kamali, M. H. (1991). Principles of Islamic jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.

Lambton, A. K. S. (1981). State and government in medieval Islam. Oxford: Oxford University Press.

Maududi, A. A. (1955). Islamic law and constitution. Lahore: Islamic Publications.

Rahman, F. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2009). Radical reform: Islamic ethics and liberation. Oxford: Oxford University Press.

Rosenthal, E. I. J. (1962). Political thought in medieval Islam. Cambridge: Cambridge University Press.

Saeed, A. (2006). Islamic thought: An introduction. London: Routledge.

Safi, L. (1994). The challenge of modernity: The quest for authenticity in the Arab world. Lanham: University Press of America.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of ideas to come. London: Mansell.

Siddiqi, M. N. (1982). Recent works on history of economic thought in Islam: A survey. Jeddah: International Center for Research in Islamic Economics.

Weiss, B. (1998). The spirit of Islamic law. Athens: University of Georgia Press.

Sumber dalam Bahasa Indonesia

Abdullah, A. (2004). Konsep politik Al-Mawardi. Jakarta: Logos.

Azra, A. (2006). Pergolakan politik Islam: Dari fundamentalisme, modernisme hingga post-modernisme. Jakarta: Paramadina.

Hasan, A. (2001). Teori politik Islam: Telaah kritis pemikiran Al-Mawardi tentang negara. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Kamaruzzaman. (2001). Relasi Islam dan negara: Perspektif modernis dan fundamentalis. Jakarta: Magelang Press.

Pulungan, J. S. (1999). Fiqh siyasah: Ajaran, sejarah, dan pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sjadzali, M. (1993). Islam dan tata negara: Ajaran, sejarah, dan pemikiran. Jakarta: UI Press.

Artikel Jurnal

Black, A. (2012). Al-Mawardi’s theory of the caliphate. In N. Calder, J. Mojaddedi, & A. Rippin (Eds.), Classical Islam: A sourcebook of religious literature (pp. 280-288). London: Routledge.

Cook, M. (2000). Commanding right and forbidding wrong in Islamic thought. Past & Present, 164(1), 3-47.

Feldman, N. (2008). The fall and rise of the Islamic state. Princeton Law and Public Affairs, 1(2), 1-22.

Hassan, M. K. (2011). The influence of Mawardi’s political thought on the politics of Muslim countries. Intellectual Discourse, 19(2), 245-272.

Lambton, A. K. S. (1978). The theory of kingship in the Naṣīḥat al-Mulūk of Ghazali. The Islamic Quarterly, 22(1), 21-36.

March, A. F. (2009). What is comparative political theory? The Review of Politics, 71(4), 531-565.

Rahmatiah, S. (2012). Pemikiran politik Al-Mawardi. Jurnal Ar-Risalah, 12(2), 379-394.

Syarif, M. I. (2016). Al-Mawardi dan konsep khilafah Islamiyyah: Relevansi sistem politik Islam klasik dan modern. Al-Fikr, 20(1), 157-176.

Syamsuddin, D. (1995). Usaha pencarian konsep negara dalam sejarah pemikiran politik Islam. Ulumul Qur’an, 4(2), 4-9.

Zaman, M. Q. (1997). The caliphs, the ulama, and the law: Defining the role and function of the caliph in the early Abbasid period. Islamic Law and Society, 4(1), 1-36.

Tinggalkan komentar

I’m Asep

Assalamu’alaikum !, selamat datang di pustaka pemikiran, analisis, artikel akademik, refleksi dan komentar

Let’s connect